BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1
dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat
disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan
khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Ini menunjukkan bahwa
anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan
anak lainnya (reguler) dalam pendidikan. Selama ini, layanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui tiga macam lembaga
pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB),
dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua,
menampung anak dengan jenis kelainan yang sama sehingga ada SLB untuk anak
dengan hambatan penglihatan (Tunanetra), SLB untuk anak dengan hambatan
pendengaran (Tunarungu), SLB untuk anak dengan hambatan berpikir/kecerdasan
(Tunagrahita), SLB untuk anak hambatan (fisik dan motorik (Tunadaksa), SLB
untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku (Tunalaras), dan SLB untuk anak
dengan hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan SLB menampung berbagai jenis
anak berkebutuhan khusus.
Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah reguler
yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana
pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru
menampung anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra), itupun perkembangannya
kurang menggembirakan karena banyak sekolah reguler yang keberatan menerima
anak berkebutuhan khusus. Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota
Kabupaten, padahal anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh
daerah (kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian
dari mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak
disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan
disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut tidak bersedia menerima karena
merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat
diterima di sekolah terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus
akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.
Permasalahan diatas dapat berakibat pada kegagalan program wajib belajar. Untuk
mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan
perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah
reguler (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun yang
belum mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat
atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang
pendidikan khusus disebutkan bahwa ‘pendidikan khusus merupakan pendidikan
untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan
pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.Pasal inilah yang
memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelaianan
berupa penyelenggaraan pendidikan inklusi. Secara lebih operasional, hal ini
diperkuat dengan peraturan pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan
Layanan Khusus.
Dengan demikian pelayanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak lagi hanya di SLB tetapi terbuka di setiap satuan dan jenjang pendidikan baik sekolah luar biasa maupun sekolah reguler/umum.Dengan adanya kecenderungan kebijakan ini, maka tidak bisa tidak semua calon pendidik di sekolah umum wajib dibekali kompetensi pendidikan bagi ABK. Pembekalan ini perlu diwujudkan dalam Mata Kuliah Pendidikan Inklusif atau Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Dengan demikian pelayanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak lagi hanya di SLB tetapi terbuka di setiap satuan dan jenjang pendidikan baik sekolah luar biasa maupun sekolah reguler/umum.Dengan adanya kecenderungan kebijakan ini, maka tidak bisa tidak semua calon pendidik di sekolah umum wajib dibekali kompetensi pendidikan bagi ABK. Pembekalan ini perlu diwujudkan dalam Mata Kuliah Pendidikan Inklusif atau Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa konsep dari pendidikan inklusif?
2. Apakah pengertian dari pendidikan segregasi?
3. Apa yang dimaksud dengan pendidikan reguler?
C.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah:
1.
Melaksanakan tugas mata kuliah Pendidikan
Inklusif
2.
Untuk memperoleh pengetahuan yang
lebih tentang perbedaan pendidikan inklusi, segregasi, dan
pendidikan reguler.
3.
Kami mengharapkan agar makalah ini
dapat membantu dalam memahami perbedaan pendidikan inklusi,
segregasi, dan pendidikan reguler.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF
1. Pengertian
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980). Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa adanya diskriminasi kepada siapapun.
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980). Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa adanya diskriminasi kepada siapapun.
2. FALSAFAH
PENDIDIKAN INKLUSIF
Secara umum falsafah inklusi adalah mewujudkan suatu
kehidupan yang ramah tidak diskriminatif dalam segala aspek kehidupan
masyarakat. Dengan demikian inklusi tidak hanya dalam aspek pendidikan tetapi
dalam segala aspek kehidupan. Inklusi berarti juga suatu cita-cita seperti
halnya kehidupan adil dan makmur serta sejahtera yang harus dicapai dalam suatu
kehidupan masyarakat. Falsafah pendidikan inklusif adalah upaya mewujudkan
sekolah yang ramah dalam pembelajaran.
a) Sekolah
ramah adalah pendidikan yang menghargai hak dasar manusia
b) Sekolah
ramah adalah pendidikan yang memperhatikan kebutuhan individual
c) Sekolah
ramah berarti menerima keanekaragaman
d) Sekolah
ramah berarti tidak deskriminatif
e) Sekolah
ramah menghindari labelisasi
Falsafah pendidikan inklusi juga dapat bermakna :
a.
Pendidikan untuk semua. Setiap anak berhak untuk
mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak.
b.
Belajar hidup bersama dan bersosialisasi. Setiap anak
berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik.
c.
Integrasi pada lingkungan. Setiap anak berhak menyatu
dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis.
d.
Penerimaan terhadap perbedaan. Setiap anak berhak
dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan. Setiap anak
merupakan pribadi yang unik
Sekolah ramah menuntut perubahan
banyak hal, di antaranya :
a) Sekolah
ramah menuntut perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak semua komponen sekolah
b) Kesiapan
siswa menerima anak khusus
c) Kesiapan
guru menerima anak khusus
d) Kesiapan
orangtua menerima anak khusus
e) Kesiapan
anak khusus dan orangtua anak khusus menerima lingkungan yang tidak ekslusif
f) Kesiapaninfrastruktur
3.
Implikasi manajerial pendidikan inklusif
Sekolah reguler yang menerapkan program pendidikan
inklusif akan berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya
adalah:
a)
Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat,
ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
b)
Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang
heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat
individual.
c)
Guru di kelas reguler harus menerapkan pembelajaran
yang interaktif.
d)
Guru pada sekolah inklusif dituntut melakukan
kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi.
e)
Guru pada sekolah inklusif dituntut melibatkan
orangtua secara bermakna dalam proses pendidikan.
4.
Pro dan kontra pendidikan inklusif
Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh
dunia sebagai salah satu uapaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi
setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan yang
berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro dan kontra pendidikan
inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai negara yang ikut
dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara proaktif
terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah
dengan cara memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.
1)
Pro Pendidikan Inklusif
a)
Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan
satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
b)
Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding
dengan dengan sekolah regular.
c)
Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di
daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang
tidak terjangkau.
d)
SLB (terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang
memisahkan anak dari kehidupan sosial yang nyata. Sedangkan sekolah inklusif
lebih ‘menyatukan’ anak dengan kehidupan nyata.
e)
Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak
berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai.
f)
Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi
anak ‘cacat’ yang dapat menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua tidak mau
ke SLB.
g)
Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses
edukasi kepada masyarakat agar menghargai adanya perbedaan.
2)
Kontra Pendidikan Inklusif
a)
Peraturan perundangan memberikan kesempatan pendidikan
khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
b)
Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
c)
Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di
sekolah reguler.
d)
Banyak sekolah reguler yang belum siap
menyelenggarakan pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang
terbatas.
e)
Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena
diikuti anak yang sejenis.
5.
Pendidikan Inklusif yang Moderat
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari
pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan
khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan
berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana
prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada
sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak
sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik,
bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan
dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat
saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari
di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya
masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak
sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap,
sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa
diskriminasi.
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang
pendidikan inklusif, maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat.
Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud adalah Pendidikan inklusif yang
memadukan antara terpadu dan Inklusi penuh.
Model moderat dikenal dengan model ‘Meanstreaming’.
Filosofinya
tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam prakteknya anak berkebutuhan khusus
disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus fleksibel pindah dari satu bentuk
layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti : bentuk kelas reguler penuh,
bentuk kelas reguler dengan cluster, bentuk kelas reguler dengan ’pull out’,
bentuk kelas reguler dengan ‘cluster dan pull out’, bentuk kelas khusus dengan
berbagai pengintegrasian. bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
6.
Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada
mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark,
Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy
mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari
mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk
diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai
memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya
pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke
integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia
semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada
tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang
menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini
mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk
anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai. Sebagai
tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi
pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif
yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive
education”. Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang
pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi
nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju
pendidikan inklusif.
Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan
belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan
menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan
perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara
menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan
yang berkualitas dan layak. Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan
inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun
2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan
kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di
Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai
tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia,
menggunakan konsep pendidikan inklusif.
7.
Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan
inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan :
a)
Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua
anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak
sesuai dengan kebutuhannya.
b)
Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan
dasar
c)
Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan
menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
d)
Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran
e)
Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps.
32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat
pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU
No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak
yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan
aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
8.
Landasan Pendidikan Inklusi
1)
Landasan Filosofis
a)
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan
lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka tunggal ika’. Keragaman
dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan
kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
b)
Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain
ditegaskan bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan
seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3)
Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri (4) manusia
diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (‘inklusif’).
c)
Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan
bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak
kesehatan, hak pekerjaan.
2)
LandasanYuridis
a)
UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31 : (1) berbunyi ‘Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.
b)
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps. 48
‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun
untuk semua anak. Ps. 49 ’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orangtua wajib
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh
pendidikan’.
c)
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Ps. 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2) : Warganegara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan
layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2)
‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
tanpa diskriminasi’. ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun’. Pasal 12 ayat (1) ‘Setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan
pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (1.b). Setiap peserta
didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain
yang setara (1.e). Pasal 32 ayat (1 ) ‘Pendidikan khusus merupakan pendidikan
bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan layanan
khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau
terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan/atau mengalami bencana alam,
bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15
alinea terakhir dijelaskan bahwa ‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan
pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang
memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa
satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah’. Pasal 45
ayat (1) ‘Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan
prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan
kejiwaan peserta didik’.
d)
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang
Estándar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Stándar Nasional
Pendidikan meliputi stándar isi, stándar proses, stándar kompetensi lulusan,
stándar pendidik dan kependidikan, stándar sarana prasarana, stándar
pengelolaan, stándar pembiayaan, dan stándar penilaian pendidikan. Dalam PP No.
19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas :
SDLB, SMPLB dan SMALB.
e)
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.
380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif :
menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya
4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, dan SMK.
3)
Landasan Empiris
a)
Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of
Human Rights),
b)
Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of
the Child),
c)
Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990
(World Conference on Education for All),
d)
Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan
Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of
opportunities for persons with disabilities)
e)
Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994
(The Salamanca Statement on Inclusive Education),
f)
Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000
(The Dakar Commitment on Education for All), dan
g)
Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia
menuju pendidikan inklusif”,
h)
Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang
inklusif dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai:
1.
Sebuah pendekatan terhadap peningkatankualitas sekolah
secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk
semua’ adalah benar-benar untuk semua;
2.
Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh
pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat
tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk perkembangan usia dini
anak, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada
saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah
umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
3.
Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat
yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.
Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya
Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya
(1) Inklusi
seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari semua
kebijakan nasional
(2) Konsep
kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik,
maupun pencapaian akademik lainnya
(3) Sistem
asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan
di atas
(4) Orang dewasa
seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan
karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan
pandangan mereka
(5) Semua
kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama
menuju inklusi
(6) Demi
menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap
anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua
dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga
pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local,
orang tua, anak maupun sektor swasta
(7) Semua
pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah,
seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai
keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah
terhadap pembelajaran bagi semua anak
(8) Pemerintah
seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik
semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus
mencakup semua anak usia sekolah
(9) Program
pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi
guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah
hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik
tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah
(pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara
dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem
pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif
9.
Kriteria calon sekolah penyelenggara pendidikan
Inklusif
1)
Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program
pendidikan inlusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan
orang tua)
2)
Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan
sekolah
3)
Tersedia guru khusus/PLB (guru tetap sekolah atau guru
yang diperbantukan dari lembaga lain)
4)
Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar
5)
Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang
relevan
6)
Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh
semua anak
7)
Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang
pendidikan inklusi
8)
Sekolah tersebut telah terakreditasi
B.KONSEP PENDIDIKAN SEGREGATIF
1. Hakikat Pendidikan segregatif
Sistem pendidikan dimana
anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Penyelengggaraan
sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan
pendidikan untuk anak normal. Pendidikan segregasi adalah sekolah yang
memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia
bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar
Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak
tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D
(untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan
pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB.
Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan
terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum,
tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran
dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan
emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
Sistem segregatif ini
berlangsung sangat lama, bahkan telah ada sebelum Louis Braille lahir.
Kemudian, di pertengahan abad 20an, orang mulai melakukan evaluasi terhadap
sistem ini. Beberapa kelemahan yang terdapat pada sistem segregatif ini adalah Mendirikan
sekolah luar biasa membutuhkan biaya yang sangat mahal, karena semuanya harus
serba khusus; sekolahnya khusus/tersendiri, dengan fasilitas tersendiri,
berikut guru-guru khusus, dan hanya menampung satu jenis kekhususan atau
kecacatan. Misalnya, SLB-A, hanya menerima siswa tunanetra; SLB-B, hanya
menerima siswa tunarungu; SLB-C, hanya menerima siswa dengan gangguan
kecerdasan; SLB-D, hanya menerima siswa dengan kecacatan tangan dan kaki. Jumlahnya
terbatas, hanya ada di kota-kota besar.
2. Fasilitas dan
sarana Pendidikan segregatif
a.
Tersedia
alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa. Sebagai contoh
tunanetra, seperti buku-buku Braille, alat bantu hitung taktual, peta timbul,
dll.
b.
Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari
delapan orang sehingga guru dapat memberikan layanan individual kepada semua siswa.
c.
Lingkungan
sosial ramah karena sebagian besar memiliki pemahaman yang tepat mengenai
disability anak.
d.
Lingkungan fisik
aksesibel karena pada umumnya dirancang dengan mempertimbangkan masalah
mobilitas disability, dan kami mendapat latihan keterampilan orientasi dan
mobilitas, baik dari instruktur O&M maupun tutor sesama disability.
e.
Dapat menemukan
orang disability yang sudah berhasil yang dapat dijadikan sebagai model.
3. Kategori Pendidikan Segregasi
Kategori
kecacatan SLB itu di kelompokkan menjadi :
a.
SLB bagian A
untuk anak tuna netra
b.
SLB bagian B untuk anak tuna rungu
c.
SLB bagian C
untuk anak tuna Grahita
d.
SLB bagian D
untuk anak tuna daksa
e.
SLB bagian E untuk anak tuna laras
f.
dan SLB bagian F untuk anak cacat ganda
4. Bentuk-bentuk system pendidikan segregasi
a.
Sekolah Luar
Biasa
b.
Sekolah Dasar Luar Biasa
c.
Kelas Jauh/Kelas
Kunjung
d.
Sekolah
Berasrama
e. Hospital School
5. Keunggulan dan Kelemahan Sistem Pendidikan
Segregasi
1) Keunggulan :
a. Rasa ketenangan pada anak luar biasa
b. Komunikasi yang
mudah dan lancar
c. Metode
pembelajaran yang khusus sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak.
d. Guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa
e. Mudahnya kerjasama
dengan multidisipliner.
f. Sarana dan
prasarana yang sesuai.
g. Merasa diakui kesamaan haknya dengan anak normal
terutama dalam memperoleh pendidikan
h. Dapat
mengembangakan bakat ,minta dan kemampuan secara optimal
i.
Lebih banyak mengenal kehidupan orang normal
j.
Mempunyai kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan kejenjang yang lebih tinggi
k. Harga diri anak
luar biasa meningkat
l.
Dapat menumbuhkan motipasi dalam belajar
m. Guru lebih
mudah untuk merencanakan dan melakukan pembelajaran karena siswanya homogen
n. Siswa tidak
menjadi bahan ejekan dari siswa lain yang normal
2) Kelemahan :
a. Sosialisasi terbatas
b. Penyelenggaraan pendidikan yang relative mahal
c. Bebas bersaing
d. Egoistik, menumbuhkan kesenjangan kualitas pendidikan.
e. Efektif dan efisien untuk kepentingan individu
f. Menumbuhkan disintegrasi
g. Tidak terikat
h. Mahal dan butuh
fasilitas banyak Spesifik dan spesialis
i.
Memperlemah persatuan nasional
j.
Potensial untuk pengembangan otonomi
• Mengingat mahalnya SLB, pada umumnya Pemerintah hanya bisa mendirikan dalam jumlah yang terbatas, biasanya hanya di kota-kota besar. Akibatnya, siswa tunanetra yang mulai bersekolah dan tinggal di kota yang berbeda dengan lokasi SLB, harus meninggalkan atau berjauhan dari keluarga, dan tinggal di asrama.
• Kondisi terpisah dari keluarga ini tentu tidaklah ideal, baik bagi si anak tunanetra khususnya yang masih usia sangat muda, maupun bagi keluarga tersebut; orang tua tidak bisa memantau perkembangan anaknya secara intensif
• Siswa tunanetra hanya berteman dengan sesama tunanetra, ini berdampak pada:
1. Mereka tidak berada di dunia yang sebenarnya; pada kenyataannya, di masyarakat terdiri dari kelompok yang berragam-ragam, tidak hanya satu golongan
2. Sosialisasi menjadi kurang, dan ini berakibat siswa tidak atau kurang siap terjun ke masyarakat nantinya; merasa rendah diri dan kurang percaya diri.
3. Situasi di sekolah kurang kompetitif; biasanya jumlah murid di SLB hanya sedikit, dan siswa tidak terlalu bersemangat untuk ”bersaing secara sehat” untuk meraih prestasi sebaik mungkin.
• Bagi masyarakat, termasuk anak-anak/siswa-siswa yang tidak menyandang kecacatan, mereka tidak atau kurang terbiasa melihat, bertemu dan bergaul dengan siswa yang menyandang kecacatan.
• Akibatnya, siswa dan masyarakat yang tidak menyandang kecacatan kurang bisa memahami dan menghargai siswa dan orang-orang dengan kecacatan.
Mencermati banyaknya kelemahan yang ada pada sistem pendidikan segregatif, di paruh kedua abad 20 orang mulai membuka kesempatan bagi siswa tunanetra untuk menempuh pendidikan di sekolah umum. Sistem ini kemudian disebut sistem pendidikan integrasi, yaitu sistem pendidikan yang ”memberikan kesempatan” kepada siswa tunanetra dan siswa dengan kecacatan lain untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, asal mereka bisa menyesuaikan diri dengan sistem dan kurikulum yang ada.
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
• Mengingat mahalnya SLB, pada umumnya Pemerintah hanya bisa mendirikan dalam jumlah yang terbatas, biasanya hanya di kota-kota besar. Akibatnya, siswa tunanetra yang mulai bersekolah dan tinggal di kota yang berbeda dengan lokasi SLB, harus meninggalkan atau berjauhan dari keluarga, dan tinggal di asrama.
• Kondisi terpisah dari keluarga ini tentu tidaklah ideal, baik bagi si anak tunanetra khususnya yang masih usia sangat muda, maupun bagi keluarga tersebut; orang tua tidak bisa memantau perkembangan anaknya secara intensif
• Siswa tunanetra hanya berteman dengan sesama tunanetra, ini berdampak pada:
1. Mereka tidak berada di dunia yang sebenarnya; pada kenyataannya, di masyarakat terdiri dari kelompok yang berragam-ragam, tidak hanya satu golongan
2. Sosialisasi menjadi kurang, dan ini berakibat siswa tidak atau kurang siap terjun ke masyarakat nantinya; merasa rendah diri dan kurang percaya diri.
3. Situasi di sekolah kurang kompetitif; biasanya jumlah murid di SLB hanya sedikit, dan siswa tidak terlalu bersemangat untuk ”bersaing secara sehat” untuk meraih prestasi sebaik mungkin.
• Bagi masyarakat, termasuk anak-anak/siswa-siswa yang tidak menyandang kecacatan, mereka tidak atau kurang terbiasa melihat, bertemu dan bergaul dengan siswa yang menyandang kecacatan.
• Akibatnya, siswa dan masyarakat yang tidak menyandang kecacatan kurang bisa memahami dan menghargai siswa dan orang-orang dengan kecacatan.
Mencermati banyaknya kelemahan yang ada pada sistem pendidikan segregatif, di paruh kedua abad 20 orang mulai membuka kesempatan bagi siswa tunanetra untuk menempuh pendidikan di sekolah umum. Sistem ini kemudian disebut sistem pendidikan integrasi, yaitu sistem pendidikan yang ”memberikan kesempatan” kepada siswa tunanetra dan siswa dengan kecacatan lain untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, asal mereka bisa menyesuaikan diri dengan sistem dan kurikulum yang ada.
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
C.PENDIDIKAN
REGULER
Pendidikan reguler
merupakan pendidikan pada umumnya yang merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan spiritual,
keagamaan, pengendalian diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Unsur – unsur dalam pendidikan reguler
antara lain:
1.
Peserta didik normal
2.
Kurikulum sama semua
3.
Tenaga guru tidak ada perbedaan
4.
Sarana dan prasarana seperti sekolah pada
umumnya
5.
Lingkungan belajar dan proses
pembelajarannya dirancang untuk anak normal.
Tujuan pendidikan reguler ini antara
lain adalah:
1.
Kurikulum dapat disamakan
2.
Tidak ada perbedaan sarana dan
prasarana.
Bentuk kelas reguler penuh adalah bentuk
kelas yang berisi anak normal penuh dengan kurikulum yang sama tanpa perbedaan.
Kelebihan pendidikan reguler adalah
sebagai berikut :
1.
Pendidikan reguler kurikulum sama
seluruhnya.
2.
Pendidikan reguler semuaa siswanya
normal.
3.
Guru tidak mesti berlatar pendidikan
khusus anak berkebutuhan khusus.
4.
Sarana dan prasarananya tidak memerlukan
biaya yang relative besar karena semuanya seragam
Kelemahan pendidikan reguler adalah:
1.
Peserta didik yang memiliki kelainan
tidak dapat mengikuti pendidikan seperti peserta didik yang normal.
2.
Sarana dan prasarana tidak memenuhi
untuk peserta didik berkebutuhan khusus.
3.
Gurunya tidak memiliki keprofesionalan
menghadapi peserta didik berkebutuhan khusus.
Peksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara
umum sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas reguler. Namun
demikian. karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga
terdapat anak luar biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan (baik phisik,
intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dibanding dengan
anak normal, maka dalam kegiatan belajar-mengajar guru yang mengajar di kelas
inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus
mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya
disesuaikan dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih. Seperti
dijelaskan pada Mengenal Pendidikan Inklusif, penempatan anak luar biasa di
sekolah reguler dapat
dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
1. Kelas
reguler (inklusi penuh)
2. Kelas
reguler dengan cluster
3. Kelas
reguler dengan ull out
4. Kelas
reguler dengan cluster dan pull out
5. Kelas
khusus dengan berhagai pengintegrasian
6. Kelas
khusus penuh.
Bentuk kelas reguler penuh yaitu anak berkelainan belajar
bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan
kurikulum yang sama.
Bentuk kelas reguler dengan cluster yaitu anak
berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok
khusus.
Bentuk kelas reguler dengan pull out yaitu anak
berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam
waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar
dengan guru pembimbing khusus.
Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out
yaitu anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler
dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas
reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus.
Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian yaitu
anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam
bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas regular.
Bentuk
kelas khusus penuh di sekolah regular yaitu anak berkelainan belajar di dalam
kelas khusus pada sekolah reguler.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
pendidikan
inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan
anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah
reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan
pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya
kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan
kebutuhan individu peserta didik tanpa adanya
diskriminasi kepada siapapun.
Meskipun
pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai salah satu uapaya
mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap anak, namun perkembangan pendidikan
inklusif mengalami kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi
baru, pro dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan
masing-masing. Sebagai negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia,
Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap kecenderungan perkembangan
pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara memahami secara kritis
tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.
Sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan
anak normal. Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara
khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Pendidikan
segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem
persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan
pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta
didik.
Pendidikan
reguler merupakan pendidikan pada umumnya yang merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan
spiritual, keagamaan, pengendalian diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
B.
Saran
Setelah penulis menguraikan masalah
tersebut banyak sekali kekurangannya. Untuk itu kami harapkan kepada bapak
dosen khususnya dan kepada para rekan/ pembaca pada umumnya untuk meneliti dan
mengkaji kembali hal-hal yang berhubungan dengan masalah ini, supaya para
pembaca mendapat wawasan yang lebih luas, dan kami sangat mengharapkan kritik
dan sarannya untuk perbaikan kami dalam penyusunan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Salim
Choiri, dkk. 2009. Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus Secara Inklusif. Surakarta: FKIP UNS
2. J. David
Smith. 2012. Sekolah Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Inklusif. Bandung: Penerbit Nuansa.
austine88
BalasHapuslink austine88
link alternatif austine88
Bandar online slot dan togel
agen slot terlengkap
slot gacor
situs judi online
bandar togel
slot online terbaik
agen slot dan togel
situs togel dan slot
togel singapore
slot online terpercaya
agen slot
Pragmatic Play
Deposit pulsa
Deposit pulsa
livegames casino