Rabu, 18 Juni 2014

PERBEDAAN PENDIDIKAN INKLUSI, SEGREGASI DAN REGULER



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler) dalam pendidikan. Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui tiga macam lembaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama sehingga ada SLB untuk anak dengan hambatan penglihatan (Tunanetra), SLB untuk anak dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB untuk anak dengan hambatan berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak hambatan (fisik dan motorik (Tunadaksa), SLB untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku (Tunalaras), dan SLB untuk anak dengan hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan SLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus. 

Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra), itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah reguler yang keberatan menerima anak berkebutuhan khusus. Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten, padahal anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian dari mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di sekolah terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan diatas dapat berakibat pada kegagalan program wajib belajar. Untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah reguler (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun yang belum mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa ‘pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelaianan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusi. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan peraturan pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Dengan demikian pelayanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak lagi hanya di SLB tetapi terbuka di setiap satuan dan jenjang pendidikan baik sekolah luar biasa maupun sekolah reguler/umum.Dengan adanya kecenderungan kebijakan ini, maka tidak bisa tidak semua calon pendidik di sekolah umum wajib dibekali kompetensi pendidikan bagi ABK. Pembekalan ini perlu diwujudkan dalam Mata Kuliah Pendidikan Inklusif atau
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa konsep dari pendidikan inklusif?
2.      Apakah pengertian dari pendidikan segregasi?
3.      Apa yang dimaksud dengan pendidikan reguler?

C.    TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.      Melaksanakan tugas mata kuliah Pendidikan Inklusif
2.      Untuk memperoleh pengetahuan yang lebih tentang perbedaan pendidikan inklusi, segregasi, dan pendidikan reguler.
3.      Kami mengharapkan agar makalah ini dapat membantu dalam memahami perbedaan pendidikan inklusi, segregasi, dan pendidikan reguler.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.      KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF
1.    Pengertian
            Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980). Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa adanya  diskriminasi kepada siapapun.

2.    FALSAFAH PENDIDIKAN INKLUSIF
Secara umum falsafah inklusi adalah mewujudkan suatu kehidupan yang ramah tidak diskriminatif dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian inklusi tidak hanya dalam aspek pendidikan tetapi dalam segala aspek kehidupan. Inklusi berarti juga suatu cita-cita seperti halnya kehidupan adil dan makmur serta sejahtera yang harus dicapai dalam suatu kehidupan masyarakat. Falsafah pendidikan inklusif adalah upaya mewujudkan sekolah yang ramah dalam pembelajaran.
a)      Sekolah ramah adalah pendidikan yang menghargai hak dasar manusia
b)      Sekolah ramah adalah pendidikan yang memperhatikan kebutuhan individual
c)      Sekolah ramah berarti menerima keanekaragaman
d)     Sekolah ramah berarti tidak deskriminatif
e)      Sekolah ramah menghindari labelisasi
Falsafah pendidikan inklusi juga dapat bermakna :
a.         Pendidikan untuk semua. Setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak.
b.        Belajar hidup bersama dan bersosialisasi. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik.
c.         Integrasi pada lingkungan. Setiap anak berhak menyatu dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis.
d.        Penerimaan terhadap perbedaan. Setiap anak berhak dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi yang unik
Sekolah ramah menuntut perubahan banyak hal, di antaranya :
a)      Sekolah ramah menuntut perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak   semua komponen sekolah
b)      Kesiapan siswa menerima anak khusus
c)      Kesiapan guru menerima anak khusus
d)     Kesiapan orangtua menerima anak khusus
e)      Kesiapan anak khusus dan orangtua anak khusus menerima lingkungan yang tidak ekslusif
f)    Kesiapaninfrastruktur

3.      Implikasi manajerial pendidikan inklusif
Sekolah reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif akan berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya adalah:
a)      Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
b)      Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual.
c)      Guru di kelas reguler harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
d)     Guru pada sekolah inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
e)      Guru pada sekolah inklusif dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses pendidikan.

4.      Pro dan kontra pendidikan inklusif
Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai salah satu uapaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.
1)      Pro Pendidikan Inklusif
a)      Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
b)      Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular.
c)      Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau.
d)     SLB (terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang memisahkan anak dari kehidupan sosial yang nyata. Sedangkan sekolah inklusif lebih ‘menyatukan’ anak dengan kehidupan nyata.
e)      Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai.
f)       Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak ‘cacat’ yang dapat menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua tidak mau ke SLB.
g)      Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses edukasi kepada masyarakat agar menghargai adanya perbedaan.

2)      Kontra Pendidikan Inklusif
a)      Peraturan perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
b)      Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
c)      Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di sekolah reguler.
d)     Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang terbatas.
e)      Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti anak yang sejenis.

5.      Pendidikan Inklusif yang Moderat
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan inklusif, maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat. Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud adalah Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan Inklusi penuh.
Model moderat dikenal dengan model ‘Meanstreaming’.
Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam prakteknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus fleksibel pindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti : bentuk kelas reguler penuh, bentuk kelas reguler dengan cluster, bentuk kelas reguler dengan ’pull out’, bentuk kelas reguler dengan ‘cluster dan pull out’, bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian. bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
6.      Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”. Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.
Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak. Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.

7.      Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan :
a)      Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.
b)      Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar
c)      Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
d)     Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran
e)      Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
8.      Landasan Pendidikan Inklusi
1)      Landasan Filosofis
a)      Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka tunggal ika’. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
b)      Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (‘inklusif’).
c)      Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.
2)      LandasanYuridis
a)      UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31 : (1) berbunyi ‘Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.
b)      UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps. 48 ‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Ps. 49 ’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan’.
c)      UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ps. 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2) : Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’. ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun’. Pasal 12 ayat (1) ‘Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (1.b). Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara (1.e). Pasal 32 ayat (1 ) ‘Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa ‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah’. Pasal 45 ayat (1) ‘Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik’.
d)     Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Estándar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Stándar Nasional Pendidikan meliputi stándar isi, stándar proses, stándar kompetensi lulusan, stándar pendidik dan kependidikan, stándar sarana prasarana, stándar pengelolaan, stándar pembiayaan, dan stándar penilaian pendidikan. Dalam PP No. 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas : SDLB, SMPLB dan SMALB.
e)      Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif : menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, dan SMK.

3)      Landasan Empiris
a)      Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Rights),
b)      Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of the Child),
c)      Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990 (World Conference on Education for All),
d)     Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunities for persons with disabilities)
e)      Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (The Salamanca Statement on Inclusive Education),
f)       Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000 (The Dakar Commitment on Education for All), dan
g)      Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”,
h)        Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai:
1.        Sebuah pendekatan terhadap peningkatankualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;
2.        Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
3.        Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.
Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya
(1)    Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari semua kebijakan nasional
(2)    Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya
(3)    Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas
(4)    Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka
(5)    Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama menuju inklusi
(6)    Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta
(7)    Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak
(8)    Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus mencakup semua anak usia sekolah
(9)    Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif

9.      Kriteria calon sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif
1)      Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inlusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua)
2)      Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah
3)      Tersedia guru khusus/PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain)
4)      Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar
5)      Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan
6)      Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak
7)      Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan inklusi
8)      Sekolah tersebut telah terakreditasi

B.KONSEP  PENDIDIKAN SEGREGATIF
1. Hakikat Pendidikan segregatif
Sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
Sistem segregatif ini berlangsung sangat lama, bahkan telah ada sebelum Louis Braille lahir. Kemudian, di pertengahan abad 20an, orang mulai melakukan evaluasi terhadap sistem ini. Beberapa kelemahan yang terdapat pada sistem segregatif ini adalah Mendirikan sekolah luar biasa membutuhkan biaya yang sangat mahal, karena semuanya harus serba khusus; sekolahnya khusus/tersendiri, dengan fasilitas tersendiri, berikut guru-guru khusus, dan hanya menampung satu jenis kekhususan atau kecacatan. Misalnya, SLB-A, hanya menerima siswa tunanetra; SLB-B, hanya menerima siswa tunarungu; SLB-C, hanya menerima siswa dengan gangguan kecerdasan; SLB-D, hanya menerima siswa dengan kecacatan tangan dan kaki. Jumlahnya terbatas, hanya ada di kota-kota besar.

2. Fasilitas dan sarana Pendidikan segregatif
a.       Tersedia alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa. Sebagai contoh tunanetra, seperti buku-buku Braille, alat bantu hitung taktual, peta timbul, dll.
b.       Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari delapan orang sehingga guru dapat memberikan layanan individual kepada semua siswa.
c.       Lingkungan sosial ramah karena sebagian besar memiliki pemahaman yang tepat mengenai disability anak.
d.      Lingkungan fisik aksesibel karena pada umumnya dirancang dengan mempertimbangkan masalah mobilitas disability, dan kami mendapat latihan keterampilan orientasi dan mobilitas, baik dari instruktur O&M maupun tutor sesama disability.
e.       Dapat menemukan orang disability yang sudah berhasil yang dapat dijadikan sebagai model.
3.     Kategori Pendidikan Segregasi
Kategori kecacatan SLB itu di kelompokkan menjadi :
a.       SLB bagian A untuk anak tuna netra
b.       SLB bagian B untuk anak tuna rungu
c.       SLB bagian C untuk anak tuna Grahita
d.      SLB bagian D untuk anak tuna daksa
e.        SLB bagian E untuk anak tuna laras
f.        dan SLB bagian F untuk anak cacat ganda

4.  Bentuk-bentuk system pendidikan segregasi
a.       Sekolah Luar Biasa
b.       Sekolah Dasar Luar Biasa
c.       Kelas Jauh/Kelas Kunjung
d.      Sekolah Berasrama
e.        Hospital School

5. Keunggulan dan Kelemahan Sistem Pendidikan Segregasi
1) Keunggulan :
a.      Rasa ketenangan pada anak luar biasa
b.       Komunikasi yang mudah dan lancar
c.        Metode pembelajaran yang khusus sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak.
d.      Guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa
e.        Mudahnya kerjasama dengan multidisipliner.
f.        Sarana dan prasarana yang sesuai.
g.      Merasa diakui kesamaan haknya dengan anak normal terutama dalam memperoleh pendidikan
h.       Dapat mengembangakan bakat ,minta dan kemampuan secara optimal
i.         Lebih banyak mengenal kehidupan orang normal
j.         Mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi
k.       Harga diri anak luar biasa meningkat
l.         Dapat menumbuhkan motipasi dalam belajar
m.     Guru lebih mudah untuk merencanakan dan melakukan pembelajaran karena siswanya homogen
n.       Siswa tidak menjadi bahan ejekan dari siswa lain yang normal
2)  Kelemahan :
a.      Sosialisasi terbatas
b.      Penyelenggaraan pendidikan yang relative mahal
c.       Bebas bersaing
d.      Egoistik, menumbuhkan kesenjangan kualitas pendidikan.
e.       Efektif dan efisien untuk kepentingan individu
f.       Menumbuhkan disintegrasi
g.      Tidak terikat
h.       Mahal dan butuh fasilitas banyak Spesifik dan spesialis
i.         Memperlemah persatuan nasional
j.         Potensial untuk pengembangan otonomi

• Mengingat mahalnya SLB, pada umumnya Pemerintah hanya bisa mendirikan dalam jumlah yang terbatas, biasanya hanya di kota-kota besar. Akibatnya, siswa tunanetra yang mulai bersekolah dan tinggal di kota yang berbeda dengan lokasi SLB, harus meninggalkan atau berjauhan dari keluarga, dan tinggal di asrama.
• Kondisi terpisah dari keluarga ini tentu tidaklah ideal, baik bagi si anak tunanetra khususnya yang masih usia sangat muda, maupun bagi keluarga tersebut; orang tua tidak bisa memantau perkembangan anaknya secara intensif
• Siswa tunanetra hanya berteman dengan sesama tunanetra, ini berdampak pada:
1. Mereka tidak berada di dunia yang sebenarnya; pada kenyataannya, di masyarakat terdiri dari kelompok yang berragam-ragam, tidak hanya satu golongan
2. Sosialisasi menjadi kurang, dan ini berakibat siswa tidak atau kurang siap terjun ke masyarakat nantinya; merasa rendah diri dan kurang percaya diri.
3. Situasi di sekolah kurang kompetitif; biasanya jumlah murid di SLB hanya sedikit, dan siswa tidak terlalu bersemangat untuk ”bersaing secara sehat” untuk meraih prestasi sebaik mungkin.
• Bagi masyarakat, termasuk anak-anak/siswa-siswa yang tidak menyandang kecacatan, mereka tidak atau kurang terbiasa melihat, bertemu dan bergaul dengan siswa yang menyandang kecacatan.
• Akibatnya, siswa dan masyarakat yang tidak menyandang kecacatan kurang bisa memahami dan menghargai siswa dan orang-orang dengan kecacatan.
Mencermati banyaknya kelemahan yang ada pada sistem pendidikan segregatif, di paruh kedua abad 20 orang mulai membuka kesempatan bagi siswa tunanetra untuk menempuh pendidikan di sekolah umum. Sistem ini kemudian disebut sistem pendidikan integrasi, yaitu sistem pendidikan yang ”memberikan kesempatan” kepada siswa tunanetra dan siswa dengan kecacatan lain untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, asal mereka bisa menyesuaikan diri dengan sistem dan kurikulum yang ada.
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.

C.PENDIDIKAN REGULER
Pendidikan reguler merupakan pendidikan pada umumnya yang merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Unsur – unsur dalam pendidikan reguler antara lain:
1.      Peserta didik normal
2.      Kurikulum sama semua
3.      Tenaga guru tidak ada perbedaan
4.      Sarana dan prasarana seperti sekolah pada umumnya
5.      Lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal.
Tujuan pendidikan reguler ini antara lain adalah:
1.      Kurikulum dapat disamakan
2.      Tidak ada perbedaan sarana dan prasarana.
Bentuk kelas reguler penuh adalah bentuk kelas yang berisi anak normal penuh dengan kurikulum yang sama tanpa perbedaan.
Kelebihan pendidikan reguler adalah sebagai berikut :
1.      Pendidikan reguler kurikulum sama seluruhnya.
2.      Pendidikan reguler semuaa siswanya normal.
3.      Guru tidak mesti berlatar pendidikan khusus anak berkebutuhan khusus.
4.      Sarana dan prasarananya tidak memerlukan biaya yang relative besar karena semuanya seragam
Kelemahan pendidikan reguler adalah:
1.      Peserta didik yang memiliki kelainan tidak dapat mengikuti pendidikan seperti peserta didik yang normal.
2.      Sarana dan prasarana tidak memenuhi untuk peserta didik berkebutuhan khusus.
3.      Gurunya tidak memiliki keprofesionalan menghadapi peserta didik berkebutuhan khusus.
Peksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas reguler. Namun demikian. karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan (baik phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajar-mengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih. Seperti dijelaskan pada Mengenal Pendidikan Inklusif, penempatan anak luar biasa di sekolah reguler dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
1.      Kelas reguler (inklusi penuh)
2.      Kelas reguler dengan cluster
3.      Kelas reguler dengan ull out
4.      Kelas reguler dengan cluster dan pull out
5.      Kelas khusus dengan berhagai pengintegrasian
6.      Kelas khusus penuh.
Bentuk kelas reguler penuh yaitu anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
Bentuk kelas reguler dengan cluster yaitu anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
Bentuk kelas reguler dengan pull out yaitu anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out yaitu anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus.
Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian yaitu anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas regular.
Bentuk kelas khusus penuh di sekolah regular yaitu anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.





















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa adanya  diskriminasi kepada siapapun.
Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai salah satu uapaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.
 Sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik.
Pendidikan reguler merupakan pendidikan pada umumnya yang merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
B.     Saran
Setelah penulis menguraikan masalah tersebut banyak sekali kekurangannya. Untuk itu kami harapkan kepada bapak dosen khususnya dan kepada para rekan/ pembaca pada umumnya untuk meneliti dan mengkaji kembali hal-hal yang berhubungan dengan masalah ini, supaya para pembaca mendapat wawasan yang lebih luas, dan kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya untuk perbaikan kami dalam penyusunan makalah selanjutnya.






















DAFTAR PUSTAKA

1.      Abdul Salim Choiri, dkk. 2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Secara Inklusif. Surakarta: FKIP UNS
2.      J. David Smith. 2012. Sekolah Konsep dan Penerapan Pembelajaran Inklusif. Bandung: Penerbit Nuansa.

1 komentar: