BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi
dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan
pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah
dilakukan, antara lain memlalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi
guru, penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pendidikan, serta peningkatan
mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan
belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagaian sekolah, terutama di
kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu yang cukup menggembirakan. Namun, sebagian
lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya
ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan
secara merata.
Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan
pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational
production function yang tidak
dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan
berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan)
yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan
menghasilkan output yang dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang
diharapkan tidak terjadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan
pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input
pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses
pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga
sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan
birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan
kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan kemandirian,
motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk
peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang
tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi
masyarakat pada umumnya selama ini lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan
pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan
akuntabilitas). Berkaitan dengan akunfabilitas, sekolah tidak mempunyai beban
untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat,
khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan
dengan pendidikan.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu
dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya yang sekarang sedang
dikembangkan adalah reorientasi penyelenggaraan pendidikan, melalui manajemen
sekolah (School Based Management).
B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah yang menjadi landasan MBS ?
2. Bagaimanakah
konsep dasar manajemen berbasis sekolah ?
3. Bagaimanakah
latar belakang adanya MBS ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui landasan-landasan MBS
2.
Memahami konsep dasar manejemen berbasis
sekolah.
3.
Mengetahui latar belakang adanya MBS.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Landasan Manajemen Berbasis Sekolah
1.
Landasan
Filosofis
Landasan filosofis MBS secara
umum adalah cara hidup masyarakat. Maksudnya jika ingin reformasi pendidikan
itu sukses maka reformasi tersebut harus berakar pada cara dan kebiasaan hidup
warganya. Seandainya reformasi itu peduli terhadap cara dan kebiasaan warganya
maka reformasi tersebut akan mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan melalui proses mencerdaskan kehidupan bangsa dalam
konteks idiil negara kita merupakan tanggung jawab pemerintah, sedangkan
menurut praktisnya merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat
dan pemerintah. Tanggung jawab tersebut, dilandasi oleh peran secara
profesional.
Artinya, pelayanan pendidikan tidak dapat dihindarkan dari
batas-batas tanggung jawab
mengingat masing-masing mempunyai posisi dan keterbatasan. Keluarga dalam arti
biologis merupakan orang tua langsung (ibu dan bapak), mempunyai tugas dan
wewenang untuk melakukan pendidikan kepada anak – anaknya
di rumah tangga, dari mulai hal yang bersifat sederhana dan pribadi sampai pada
hal yang komplek dan bermasyarakat. Tugas dan wewenang ini, bersifat alamiah
dan mendasar untuk membangun individu yang bertanggung jawab. Akan tetapi
sebagai orang tua, terdapat berbagai keterbatasan dalam pelayanan pendidikan
yang bersifat normatif dan terukur, baik yang bersifat keilmuan maupun
keterampilan tertentu. Oleh sebab orang tua tidak dapat melayani kebutuhan
pendidikan anaknya, maka orang tua mempercayakan kepada sekolah baik yang
diselenggarakan oleh masyarakat (yayasan pendidikan) maupun pemerintah.
Konsekuensinya orang tua wajib
memberikan dukungan kepada sekolah sesuai dengan batas kemampuan dan
kesepakatan. Oleh sebab itu tujuan penyelanggaraan pelayanan pendidikan hanya
bisa dicapai apabila terjadinya sinerjik dan integrasi dukungan dari berbagai
sumber daya, untuk terjadinya sinerjik dan integrasi dukungan dari berbagai
sumber daya pendidikan, perlu adanya suatu badan yang bersifat independen
dengan asas keadilan dan kemanusiaan.
Landasan munculnya MBS yang
berasal dari kehidupan masyarakat (dalam modul UT) diantaranya:
a. Pendidikan
nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat yaitu nilai–nilai
kebersamaan yang bersumber dari nilai sosial budaya yang terdapat di lingkungan
keluarga dan masyarakat serta pada pendidikan agama.
MBS merupakan
salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk mengakomodasi pendidikan
nilai. Pendidikan kewarganegaraan dan agama sangat penting untuk
menumbuhkembangkan tanggung jawab bersama di dalam kehidupan suatu masyarakat
(baik secara lokal, nasional, regional, global). Nilai-nilai spiritual
diperlukan untuk menyempurnakan kesejahteraan manusia di dunia dan alam
sesudahnya sehingga kehidupan lebih bermakna. Nilai-nilai lokal tercermin dalam
nilai sosial budaya setempat yang diwujudkan dalam bentuk tata krama pergaulan,
model pakaian, dan seni. Nilai-nilai nasional berkaitan erat dengan penerapan
kaidah-kaidah sebagai warga Negara yang baik yang menjunjung tinggi kebangsaan.
Kedua nilai tersebut membentuk budi pekerti dan keperibadian yang kuat, hanya
dapat dikembangkan melalui manajemen yang berbasis sekolah dengan dukungan
masyarakat. Manajemen berbasis sekolah dengan dukungan masyarakat berupaya
memperkuat jati diri peserta didik dengan nilai sosial budaya setempat,
mensinergikannya dengan nilai-nilai kebangsaan serta nilai-nilai agama yang
dianut.
b. Kesepakatan-kesepakatan
yang diberlakukan dalam kehidupan masyarakat.
Maksudnya
adalah kesepakatan atas pranata sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan kata lain segala bentuk perubahan harus melibatkan masyarakat setempat
agar semuanya lancar sesuai harapan. Tuntutan penerapan MBS semakin nyata
seiring dengan perubahan karakteristik masyarakat. Perubahan dalam bidang
sosial, ekonomi, hukum, pertahanan, keamanan, secara nasional, regional, maupun
global, mendorong adanya perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
dimiliki siswa. Artinya telah terjadi perubahan kebutuhan siswa sebagai bekal
untuk terjun ke masyarakat luas dimasa mendatang dibandingkan dengan masa lalu.
Oleh karena itu, pelayanan terhadap siswa, program pengajaran, dan jasa yang
diberikan kepada siswa juga harus sesuai dengan tuntutan baru tersebut. Secara
umum perubahan lingkungan menuntut adanya pola kebiasaan dan tingkah laku baru
oleh semua pihak. Untuk menyesuaikan keadaan tersebut dibutuhkan adanya
reformasi dalam pendidikan, salah satunya dengan MBS.
2.
Landasan
Yuridis
Dasar
Hukum Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yaitu:
a. Dalam
Garis Besar Haluan Negara (GBHN), pemerintah mengupayakan keunggulan masyarakat
bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Hal ini diharapkan dapat dijadikan
landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan
berkelanjutan, baik secara makro, meso maupun mikro. Aspek makro erat kaitannya
dengan desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah, aspek meso
berkaitan dengan kebijakan daerah provinsi sampai tingkat kabupaten sedangkan
aspek mikro melibatkan sekolah yaitu seluruh sektor dan lembaga pendidikan yang
paling bawah serta terdepan dalam pelaksanaannya.
b. Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun
2000-2004 pada bab VII tentang bagian program pembangunan bidang pendidikan
khususnya sasaran terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah
dan masyarakat (school/ community based
management)”.
c. Peraturan
Pemerintah Nomor 25 tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.
d. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya yang terkait
dengan MBS adalah Bab XIV, Pasal 51, Ayat (1), ”pengelolaan satuan
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/ madrasah.”
e. Kepmendiknas
nomor 087 tahun 2004 tentang standar akreditasi sekolah, khususnya tentang
manajemen berbasis sekolah.
f. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (khususnya
yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3); “Badan hukum pendidikan
bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis
sekolah/ madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi
perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi”.
B. Konsep Dasar MBS
1.
Pengertian
Manajemen berbasis sekolah atau School Based Management merupakan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan
melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah yang
dilakukan secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah.
2.
Konsep dasar
Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen
Berbasis Sekolah merupakan manajemen yang bernuansa otonomi, kemandirian dan
demokratis.
a. Otonomi
Merupakan
kewenangan sekolah dalam mengatur dan mengurus kepentingan sekolah dalam
mencapai tujuan sekolah untuk menciptakan mutu pendidikan yang baik.
b. Kemandirian
Merupakan
langkah dalam pengambilan keputusan. Dalam mengelola sumber daya yang ada,
mengambil kebijakan, memilih strategi dan metode dalam memecahkan persoalan
tidak tergantung pada birokrasi yang sentralistik sehingga mampu menyesuaikan
dengan kondisi lingkungan dan dapat memanfaatkan peluang-peluang yang ada.
c. Demokratif
Merupakan
keseluruhan elemen-elemen sekolah yang dilibatkan dalam menetapkan, menyusun,
melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan untuk mencapai tujuan sekolah demi terciptanya
mutu pendidikan yang akan memungkinkan tercapainya pengambilan kebijakan yang
mendapat dukungan dari seluruh elemen-elemen sekolah.
Ada beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam memahami Konsep Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) diantaranya adalah:
a. Pengkajian
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terutama yang menyangkut kekuatan
desentralisasi, kekuasaan atau kewenangan di tingkat sekolah, dalam system
keputusan harus dikaitkan dengan program dan kemampuan dalam peningkatan
kinerja sekolah.
b. Penelitian
tentang program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berkenaan dengan
desentralisasi kekuasaan dan program peningkatan partisipasi (local stake holders). Pendelegasian
otoritas pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pemberdayaan sekolah,
perlu dibangun dengan efektifitas programnya.
c.
Strategi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) harus lebih
menekankan kepada elemen manajemen partisipatif. Kemampuan, informasi dan
imbalan yang memadai merupakan elemen-elemen yang sangat menentukan efektifitas
program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam meningkatkan kinerja sekolah.
3.
Esensi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Esensi dari MBS adalah otonomi dan pengambilan
keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat
diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam mengatur dan
mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan dengan peraturan
perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk
mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan
pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara
pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif,
kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaftif dan
antisipatif, kemampuan bersinergi danm berkaborasi, dan kemampuan memenuhi
kebutuhan sendiri.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu
cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan
demokratik, di mana warga sekolah (guru, karyawan, siswa,orang tua, tokoh
masyarakat) dkjorong untuk terlibatsecara langsung dalam proses
pengambilankeputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan
sekolah.
Pengambilan keputusan partisipasi berangkat dari
asumsi bahwa jika seseorang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan
tersebut, sehingga yang bersangkutan akan merasa memiliki keputusan tersebut,
sehingga yang bersangkutan akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya
untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya makin besar tingkat partisipasi,
makin besar pula rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula
rasa tanggung jawab, dan makin besar rasa tanggung jawab makin besar pula
dedikasinya.
Dengan pola MBS, sekolah memiliki kewenangan
(kemandirian) yang lebih besar dalam mengelola manajemennya sendiri.
Kemandirian tersebut di antaranya meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu,
penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan
melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga mmiliki
kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang brekepentingan dengan
sekolah. Di sinilah letak ciri khas MBS.
Berdasarkan konsep dasar yang telah diuraikan di
atas, maka perlu dilakukan penyesuaian dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan-masa
depan yang lebih bernuansa otonomi yang demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen dari yang lama menuju yang baru
tersebut, dewasa ini secara konseptual maupun praktik tertera dalam MBS.
Perubahan dimensi pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola yang
baru menuju MBS dapat
digambarkan sebagai berikut:
Pola lama
|
Menuju
|
Pola baru
|
- Subordinasi
|
——>
|
- Otonomi
|
- Pengambilan keputusan terpusat
|
——>
|
- Pengambilan keputusan partisipasi
|
- Ruang gerak kaku
|
——>
|
- Ruang gerak luwes
|
- Pendekatan birokratik
|
——>
|
- Pendekatan Profesional
|
- Sentralistik
|
——>
|
- Desentralistik
|
- Diatur
|
——>
|
- Motivasi diri
|
- Overregulasi
|
——>
|
- Deregulasi
|
- Mengontrol
|
——>
|
- Mempengaruhi
|
- Mengarahkan
|
——>
|
- Memfasilitasi
|
- Menghindar Resiko
|
——>
|
- Mengelola resiko
|
- Gunakan uang semuanya
|
——>
|
- Gunakan seefisien mungkin
|
- Individu yang cerdas
|
——>
|
- Informasi terbagi
|
- Informasi terpribadi
|
——>
|
- Pemberdayaan
|
- Pendelegasian
|
——>
|
- Organisasi datar
|
- Organisasi hirarkis
|
Mengacu pada dimensi-dimensi tersebut, sekolah
memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya. Pengambilan
keputusan akan dilakukan secara partisipatif dengan mengikutsertakan peran
masyarakat sebesar-besarnya. Selanjutnya, melalui penerapan MBS akan nampak karakteristik lainnya dari profil sekolah
mandiri, di antaranya sebagai berikut:
a.
Pengelolaan
sekolah akan lebih desentralistik
b.
Perubahan
sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal dari pada diatur oleh luar
sekolah.
c.
Regulasi
pendidkan menjadi lebih sederhana.
d.
Peranan para
pengawas bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi, dari mengarahkan menjadi memfasilitasi
dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko.
e.
Akan
mengalami peningkatan manajemen.
f.
Dalam
bekerja, akan menggunakan team work.
g.
Pengelolaan
informasi akan lebih mengarah ke semua kelompok kepentingan sekolah.
h.
Manajemen
sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih
datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.
4.
Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk
memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan,
keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan
kemandiriannya, maka:
a.
Sekolah
sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman bagi dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lainnya. Dengan demikian sekolah dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia
untuk memajukan lembaganya.
b.
Sekolah
lebih mengetahui sumber daya yang dimilikinya dan input pendidikan yang akan
dikembangkan serta didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
c.
Sekolah
dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada
pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga
sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan.
d.
Sekolah
dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan
mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta
didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.
e.
Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
f.
Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada masyarakat.
g.
Meningkatkan persaingan yang sehat antar sekolah
tentang mutu pendidikan yang ingin dicapai.
Dengan demikian, secara bertahap akan terbentuk
sekolah yang memiliki kemandirian tinggi. Secara umum, sekolah yang mandiri
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Tingkat
kemandirian tinggi sehingga tingkat ketergantungan menjadi rendah.
b.
Bersifat
adaptif dan antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif,
gigih, berani mengambil resiko).
c.
Bertanggung
jawab terhadap input manajemen dan sumber dayanya.
d.
Memiliki
kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja.
e.
Komitmen
yang tinggi pada dirinya.
f.
Prestasi
merupakan acuan bagi penilaiannya.
Selanjutnya dilihat dari sumber daya manusia
sekolah yang mandiri memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Pekerjaan
adalah miliknya
b.
Bertanggung
jawab
c.
Memiliki
kontribusi terhadap pekerjaannya
d.
Mengetahui
posisi dirinya dan memiliki kontrol terhadap pekerjaannya
e.
Pekerjaan
merupakan bagian hidupnya.
Dalam upaya menuju sekolah mandiri, terlebih
dahulu kita perlu menciptakan sekolah yang efektif. Ciri sekolah yang efektif
adalah sebagai berikut:
a.
Visi dan
misi yang jelas dan target mutu yang harus sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan secara lokal.
b.
Sekolah
memiliki output yang selalu meningkat setiap tahun.
c.
Lingkungan
sekolah aman, tertib, dan menyenangkan bagi warga sekolah.
d.
Seluruh
personil sekolah memiliki visi, misi, dan harapan yang tinggi untuk berprestasi
secara optimal.
e.
Sekolah
memiliki sistem evaluasi yang kontinyu dan komprehensif terhadap berbagai aspek
akademik dan non akademik.
5.
Faktor- faktor
yang di perhatikan
Manajemen
Berbasis Sekolah (School Based Management)
adalah bentuk alternative sekolah dari program desentralisasi dalam bidang
pendidikan. Faktor terpenting dalam penentu kinerja sekolah yaitu kurikulum. Tujuan
kurikulum yang akan dicapai dalam jangka panjang dari kurikulum yang dirancang
berdasar MBS yaitu:
a. Penguasaan
ketrampilan dasar dan proses fundamental
b. Pengembangan
intelektual
c. Pendidikan karir
& pendidikan vokasional
d. Pemahaman
interpersonal
e. Moral &
karakter etika
f.
Keadaan emosional dan fisik
g. Kreativitas
& ekspresi estetika
h. Perwujudan
diri.
i.
Proses belajar mengajar yang relevan
C. Alasan Mengapa Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS)
Pertimbangan mengapa diadakan MBS, yaitu:
1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi
pada keluaran atau hasil pendidikan
terlalu memusatkan pada masukan dan kurang memperhatikan proses pendidikan.
2. Penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini
menyebabkan tingginya ketergantungan
kepada keputusan birokrasi dan seringkali
kebijakan pusat terlalu umum dan
kurang menyentuh atau kurang sesuai
dengan situasi dan kondisi sekolah
setempat. Di samping itu segala
sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan
penyelenggara sekolah kehilangan
kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk
mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran
pendidikan menjadi kurang termotivasi.
3. Peran serta masyarakat terutama orangtua siswa
dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal
peranserta mereka sangat penting di dalam proses pendidikan antara lain
pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas.
Ada beragam
alasan diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menurut Depdiknas (2007), sebagai berikut:
1. Dengan
pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih
insiatif/ kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
2. Dengan
pemberian fleksibilitas/ keluwesan-keluwesan yang lebih besar kepada sekolah
untuk mengelola sumber dayanya, maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam
mengadakan dan memanfaatkan sumber daya sekolah secara optimal untuk
meningkatkan mutu sekolah.
3. Sekolah
lebih mengetahui kelemahan, kekuatan, peluang, dan ancaman bagi dirinya
sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk
memajukan sekolahnya.
4. Sekolah
lebih mengetahui kebutuhannya, khususnya input pendidikan yang akan
dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
5. Pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan
sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi
sekolahnya.
6. Penggunaan
sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat
setempat.
7. Keterlibatan
semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah
menciptakan transparansi dan akuntabilitas sekolah.
8. Sekolah
dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada
pemerintah, orang tua, peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga dia
akan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan.
9. Sekolah
dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain dalam
peningkatan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif yang didukung oleh
orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan pemerintah daerah setempat.
10.
Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi
masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat.
Alasan-alasan diterapkannya MBS yang diungkapkan oleh Mulyasa (2009) antara lain:
1. Adanya
berbagai program pendidikan yang pengelolaannya terlalu kaku dan
sentralistik sehingga tidak memberikan dampak positif.
2. Sekolah lebih mengetahui kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya.
3. Sekolah lebih mengetahui
kebutuhannya.
4. Keterlibatan warga sekolah dan
masyarakat dalam pengambilan keputusan.
5. Angka
partisipasi pendidikan nasional maupun kualitas pendidikan tetap menurun.
Maka muncullah pemikiran
ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk
mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas yang disebut manajemen
berbasis sekolah (MBS).
1. MBS
di Indonesia yang menggunakan model MPMBS muncul karena alasan:
a. Sekolah
lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman bagi dirinya sehingga
sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk
memajukan sekolahnya.
b. Sekolah
lebih mengetahui kebutuhannya.Keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam
pengambilan keputusan dapat menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
2. Menurut
Bank Dunia, alasan diterapkannya MBS:
a. Alasan
ekonomis
b. Politis
c. Profesional
d. Efisiensi
administrasi
e. Finansial
f. Prestasi
siswa
g. Akuntabilitas
h. Evektivitas
sekolah
Menurut Suryo Subroto, 2010 dalam
http://edukasi.kompasiana.com menyatakan tentang
alasan diterapkannya MBS, bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang
pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota (Pasal 1
Ayat 2). Untuk dapat melaksanakan kewajiban ini secara bertanggung jawab dan
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi penduduk daerah yang
bersangkutan, maka diperlukan strategi pengelolaan pendidikan yang tepat dan mengedepankan
kerja sama yang lebih dikenal dengan istilah collaborative schoolmanagement yang
selanjutnya menjadi model pengelolaan sekolah yang dinamakan school based
management atau manajemen berbasis sekolah (MBS)
Berdasarkan uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa alasan diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah
adalah karena adanya berbagai program pendidikan yang pengelolaannya terlalu
kaku dan sentralistik, pendidikan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang
wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota, dan untuk dapat melaksanakan
kewajiban ini, maka diperlukan strategi pengelolaan pendidikan yang tepat dan
mengedepankan kerja sama, sekolah mempunyai otonomi atau wewenang untuk
merencanakan, mengatur, mengambil keputusan, melaksanakan dan bertanggung jawab
atas segala kegiatan yang ada di sekolah dan lingkungan sekolah dengan
keterlibatan warga sekolah serta masyarakat sekitar sehingga sasaran mutu
pendidikan yang telah direncanakan dapat tercapai, pada dasarnya sekolahlah
yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman, serta kebutuhannya
termasuk dalam hal finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, keefektifan
sekolah, keefisienan administrasi, profesionalitas, politis dan keekonomian.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem
manajemen pendidikan yang sentralistis telah terbukti tidak membawa kemajuan
yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Bahkan dalam
kasus-kasus tertehtu, manajemen yang sentralistis telah menyebabkan terjadinya
pemandulan kreatifitas pada satuan pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang
pendidikan. Untuk mengatasi terjadinya stagnasi di bidang pendidikan ini
diperlukan adanya paradigma baru dibidang pendidikan.
Seiring
dengan bergulirnya era dtonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi
paradigma pendidikan menuju ke arah desentralisasi pengelolaan pendidikan.
Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai
otonomi pendidikan melaJui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah
(MBS. MBS bukan sekedar mengubah penedekatan pengelolaan sekolah dari yang
sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS diyakini akan
muncul kemandirian sekolah.
Melalui
penerapan MBS, kepedulian masyarakat untuk ikut serta mengontrol dan menjaga
kualitas layanan pendidikan akan lebih terbuka untuk dibangkitkan. Dengan
demikian kemandirian sekolah akan diikuti oleh daya kompetisi yang tinggi akan
akuntabilitas publik yang memadai.
Dasar hukum
yang melandasi adanya Managemen Berbasis Sekolah meliputi landasan secara
filosofis dan landasan yuridis. Landasan
filosofis MBS secara umum adalah cara hidup masyarakat. Maksudnya jika ingin
reformasi pendidikan itu sukses maka reformasi tersebut harus berakar pada cara
dan kebiasaan hidup warganya. Seandainya reformasi itu peduli terhadap cara dan
kebiasaan warganya maka reformasi tersebut akan mendapat dukungan dari segenap
lapisan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan melalui proses mencerdaskan
kehidupan bangsa dalam konteks idiil negara kita merupakan tanggung jawab
pemerintah, sedangkan menurut praktisnya merupakan tanggung jawab bersama
antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Tanggung jawab tersebut, dilandasi
oleh peran secara profesional.
Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) pemerintah mengupayakan keunggulan masyarakat bangsa
dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 pada bab VII tentang
bagian program pembangunan bidang pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya yang terkait
dengan MBS adalah Bab XIV, Pasal 51, Ayat (1), Kepmendiknas nomor 087 tahun
2004 tentang standar akreditasi sekolah, khususnya tentang manajemen berbasis
sekolah. Dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (khususnya
yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3).
Berdasarkan uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa alasan diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah
adalah karena adanya berbagai program pendidikan yang pengelolaannya terlalu
kaku dan sentralistik, pendidikan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang
wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota, dan untuk dapat melaksanakan
kewajiban ini, maka diperlukan strategi pengelolaan pendidikan yang tepat dan
mengedepankan kerja sama, sekolah mempunyai otonomi atau wewenang untuk
merencanakan, mengatur, mengambil keputusan, melaksanakan dan bertanggung jawab
atas segala kegiatan yang ada di sekolah dan lingkungan sekolah dengan
keterlibatan warga sekolah serta masyarakat sekitar sehingga sasaran mutu
pendidikan yang telah direncanakan dapat tercapai, pada dasarnya sekolahlah yang
lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman, serta kebutuhannya
termasuk dalam hal finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, keefektifan
sekolah, keefisienan administrasi, profesionalitas, politis dan keekonomian.
B. Saran
Manajemen sekolah sangat
berpengaruh terhadap keefektifan kurikulum karena dengan pengelolaan yang baik
akan menghasilkan hasil yang baik pula
(mutu pendidikan akan lebih meningkat).
PERTANYAAN DAN JAWABAN
1.
Ahmad
Fahmi
Esensi MBS yaitu sekolah mandiri. Tetapi tidak semua
sekolah mandiri. Apakah MBS masih bisa diterapkan mengingat banyak sekolah yang
hanya copy paste saja?
Justru
hal itu terjadi karena mungkin tidak diberlakukannya MBS pada sekolah itu,
ataupun lemahnya managemen dalm sekolah tersebut, sehingga lemahnya kontrol
yang mengontrol kinerja guru dalam
menjalankan tugasnya, baik dari pihak kepala sekolah, komite sekolah, teman
sejawatnya maupun masyarakat dan wali
murid. Dengan lemahnya kontrol pengawasan atau regulasi dari pemerintah dan
lingkungan sekolah. Jadi justru akan baik jika MBS yang ketat dan dikelola
dengan baik akan memberikan hasil managemen yang optimal dalam segala aspek.
2.
Ani
Yuliani
Tentang nuansa MBS salah satunya sekolah mandiri.
Bentuk Kemandirian seperti apa?
Kemandirian MBS meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan mutu,
pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu.
Di samping itu, sekolah juga memiliki kemandirian dalam menggali partisipasi
kelompok yang brekepentingan dengan sekolah.
3.
Endro
Prasetyo
Bentuk partisipasi masyarakat apa saja yang bisa
diberikan kepada sekolah?
Partisipasi masyarakat bukan hanya sekedar dana tetapi
masyarakat juga mendukung dalam pelaksanaan program-program yang dibuat sekolah
dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi.
4.
Didit
Wisnu P
Komponen apa yang paling berpengaruh dalam pelaksanaan
MBS?
Komponen yang berpengaruh dalam pelaksanaan MBS:
a.
Professional
kepala sekolah dan guru
b.
Administrasi
c.
Tokoh
masyarakat
d.
Wali
siswa
e.
Siswa
f.
Dunia
industri
g.
alumni
DAFTAR
PUSTAKA
Laeli Fajriah. 2011. Yuk, Belajar Manajemen Berbasis Sekolah. Diakses dari http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/23/yuk-belajar-manajemen-berbasis-sekolah-1-350888.html. pada tanggal 15 Maret
2013
Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Umaedi,
dkk. 2008. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta:
Universitas Terbuka.
ini yg saya butuhkan....mksh
BalasHapusBudayakan footnote dan endnote dalam merangkai artikel pendidikan!!-_-
BalasHapusTerima Kasih
BalasHapuspermasalahannya, apakah MBS yg diartikan sebagai kemandirian dari beberapa aspek tetap tidak memberikan keluesan. salah satu aspeknya apakah dgn MBS rancangan KURIKULUM atau standar isi pendidikan bisa di terapkan? mengingat UN/US masih tersentralisasi. tks. tangggapannya mohon ke meachmad2@gmail.com
BalasHapusPanjang dn lebar tapi kerennn.....minimal kita tau kisi 2 tulisan sebelum main kopas2 aja
BalasHapussyukroon
BalasHapus