Rabu, 04 Juni 2014

PENDIDIKAN PESANTREN



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kemajuan pendidikannya. Tetapi pendidikan di Indonesia sama sekali belum sepenuhnya tersentuh oleh tangan-tangan pemerintah. Output yang dikeluarkan pun tidak seperti apa yang telah menjadi tujuan pendidikan.
Di Indonesia terdapat tiga macam lembaga pendidikan, yaitu sekolah umum, madrasah dan pesantren. Antara madrasah dan sekolah umum tidak banyak perbedaannya. Akan tetapi, lembaga yang satunya yaitu pesantren, adalah lembaga yang jauh berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Pendidikan diselenggarakan bertujuan untuk  membentuk manusia yang memanusiakan manusia. Artinya, penyelenggaraan pendidikan harus diarahkan pada pembentukan perilaku yang baik. Karena itulah hampir seluruh lembaga pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia ini terdapat muatan materi tentang akhlakul karimah. Diharapkan output-output yang dihasilkan nantinya di samping berintelektual tinggi, juga mempunyai budi pekerti yang baik sehingga menjadi teladan bagi masyarakatnya.

Sebagai calon guru yang kelak akan terjun ke dunia pendidikan, dan selayaknya memahami secara keseluruhan aspek-aspek dalam pendidikan. Salah satunya pendidikan pesantren. Berikut akan disampaikan hal-hal terkait pendidikan pesantren.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka terdapat beberapa rumusan masalah, diantaranya yaitu:
1.    Apa yang dimaksud dengan pendidikan pesantren?
2.    Apa yang menjadi landasan pendidikan pesantren?
3.    Bagaimana sejarah pendidikan pesantren?
4.    Bagaimana karakteristik pendidikan pesantren?
5.    Apa saja unsur-unsur pendidikan pesantren?
6.    Apa tujuan pendidikan pesantren?
7.    Apa fungsi pendidikan pesantren?
8.    Bagaimana pola pendidikan pesantren?
9.    Bagaimana kurikulum dalam pendidikan pesantren?
10.    Bagaimana materi dalam pendidikan pesantren?
11.    Bagaimana prinsip pendidikan pesantren?
12.    Bagaimana strategi pendidikan pesantren?
13.    Apa kelemahan dan kelebihan pendidikan pesantren?

C.  Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.   Mengetahui hakikat pendidikan pesantren.
2.   Mengetahui landasan pendidikan pesantren.
3.   Mengetahui sejarah pendidikan pesantren.
4.   Mengetahui karakteristik pendidikan pesantren.
5.   Mengetahui unsur-unsur pendidikan pesantren.
6.   Mengetahui tujuan pendidikan pesantren.
7.   Mengetahui fungsi pendidikan pesantren.
8.   Mengetahui pola pendidikan pesantren.
9.   Mengetahui kurikulum dalam pendidikan pesantren.
10.    Mengetahui materi dalam pendidikan pesantren.
11.    Mengetahui prinsip pendidikan pesantren.
12.    Mengetahui strategi pendidikan pesantren.
13.    Mengetahui kelemahan dan kelebihan pendidikan pesantren

D.  Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini meliputi tiga bab. Bab I berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan makalah. Bab II merupakan isi dari makalah yaitu jawaban dari beberapa rumusan masalah dan studi kasus. Bab III berisi kesimpulan dan saran





























BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Pendidikan Pesantren
Pada dasarnya, pendidikan pesantren dirumuskan dari dua pengertian dasar yang terkandung dalam istilah pendidikan dan istilah pesantren. Kedua istilah itu disatukan dan arti keduanya menyatu dalam definisi pendidikan pesantren.
Pendidikan adalah usaha sadar, teratur dan sistematis yang dilakukan oleh orang dewasa yang diberi tanggung jawab untuk menanamkan akhlak yang baik dan nilai-nilai luhur, serta norma-norma susila kepada anak didik sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani untuk mencapai kedewasaan.
Sedangkan kata pesantren berasal dari akar kata “Santri”, yaitu istilah
yang digunakan bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama di lembaga
pendidikan Islam tradisional di Jawa. Kata “Santri” mendapat awalan “pe”
dan akhiran “an”, sehingga menjadi “Pesantren”, yang berarti tempat para
santri menuntut ilmu. Mengenai asal usul kata “Santri”, banyak pendapat tentangnya, menurut Zamakhsyari Dhofier, bahwa Profesor Johns berpendapat, istilah “Santri”, berasal dari bahasa Tamil, “Sastri” yang berarti guru mengaji,
sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa “Santri” berasal dari bahasa India
“Shastri” yang berarti orang yang tahu buku-buku suci atau buku-buku
agama. Robson berpendapat, kata “Santri ” berasal dari bahasa Tamil “Sattiri”
yang berarti orang tinggal dirumah miskin atau bangunan secara umum.
Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan khas Indonesia yang menjadi tempat para santri mendalami pendidikan agama Islam. Dari masa ke masa pesantren terus melakukan pembaharuan agar dapat tetap menunjukan eksistensinya di tengah gempuran global. Dalam berkehidupan sehari-hari, masyarakat pesantren berpedoman pada ajaran agama dengan menekankan pada aspek moral dalam berinteraksi dan bergaul. Sehingga sikap dan perilaku masyarakat pesantren akan terjaga dengan baik.

Menurut Mastuhu, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Sedangkan Abdullah (1995:3) menyatakan, bahwa pesantren merupakan pusat persemaian, pengalaman sekaligus penyebaran ilmu-ilmu keislaman. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam untuk mendalami dan menyebarkan ilmu-ilmu keislaman dan menekankan pada moral keagamaan sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam untuk mendalami dan menyebarkan ilmu-ilmu keislaman dan menekankan pada moral keagamaan sebagai pedoman hidup sehari-hari.

B.   Landasan Pendidikan Pesantren
Menurut Muthohar (2007:13) pesantren sebagai lembaga pendidikan, memiliki dasar yang cukup kuat untuk dikatakan sebagai lembaga pendidikan. Seperti yang  dikemukakannya bahwa “sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia, posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan sub sistem pendidikan nasional. Karena itu, pendidikan pesantren memiliki dasar yang cukup kuat, baik secara ideal, konstitusional maupun teologis. Landasan ideologis ini menjadi penting bagi pesantren, terkait eksistensinya sebagai lembaga pendidikan yang sah, menyejarah dan penunjuk arah bagi semua aktivitasnya”.
Secara umum ada 3 landasan yang digunakan pesantren dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pendidikan, yaitu dasar ideologis, konstitusional dan teologis. Ketiga dasar ini menjadi satu kesatuan yang utuh dalam memperkokoh struktur pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tentunya diakui oleh Negara. Lebih jelas Muthohar (2007:14) menjelaskan bahwa, setidaknya ada 3 landasan kelembagaan pesantren, yaitu:
1.       Dasar   ideal pendidikan pesantren adalah falsafah Negara Pancasila, yakni sila pertama yang berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini mengandung pengertian bahwa seluruh bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau tegasnya harus beragama.
2.       Dasar Konstitusional pendidikan pesantren adalah pasal 26 ayat 1 dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 1 disebutkan bahwa, Pendidikan Nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Selanjutnya pada pasal 2 dinyatakan, Satuan pendidikan formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
3.       Sedangkan
4.        Dasar yang dipakai adalah Al-Quran dan Hadist. Dasar Al-Quran sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nahl ayat 125: “Serulah manusia dengan jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik”.
Disamping itu, pendidikan pesantren didirikan atas dasar tafaqquhfi- din, yaitu kepentingan umat untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama, dasar pemikiran ini relevan dengan firman Allah S.W.T: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali padanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS. At-Taubah: 122). Ayat di atas menjiwai dan mendasari pendidikan pesantren, sehingga seluruh aktivitas keilmuan di dalam pesantren pada dasarnya ditujukan untuk mempertahankan dan menyebarkan agama Islam.
Selain ayat-ayat Al-Quran, dalam hadist Nabi juga banyak disebutkan landasan-landasan teologis yang mendasari aktivitas pesantren, misalnya Hadist riwayat Imam Bukhari, “sampaikanlah ajaranku kepada orang lain walaupun hanya sedikit”. (HR. Bukhari). Serta Hadist riwayat Abu Daud dan Nasa’i: “Kamu pelajarilah kitab Allah dan kamu ikutilah apa yang ada didalamnya”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Ayat Al-Qur’an dan Hadist di atas merupakan perintah agama dan sekaligus menjadi dasar kewajiban mencari ilmu pengetahuan dan mengajarkannya kepada orang lain walaupun hanya sedikit. Sehingga pada akhirnya, para agen pembaharu(agentofchange) yang sesungguhnya akan lahir dari dalam rahim pesantren. Karena sesuai dengan tujuan pesantren yaitu menciptakan kader ulama yang menjunjung tinggi agama namun tetap melek ilmu pengetahuan. Pada hakikatnya pesantren tidak akan bisa lepas dari dasar utamanya sebagai lembaga pendidikan agama Islam, yaitu dasar teologisnya. Sejalan dengan pendapat Muthohar (2007:16) bahwa: “ keberadaan pesantren tidak lepas dari motivasi teologis. Bagi kalangan pesantren, menjalankan ajaran Islam dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan adalah tugas sekaligus kewajiban yang harus diemban manusia untuk menjalankan fungsi kekhalifahannya di dunia untuk mencari ridha-Nya. Dengan demikian, pesantren memeranka dirinya sebagai model pendidikan yang‘alim secara intelektual dan cerdas secara spiritual.”

C.  Sejarah Pendidikan Pesantren
Sejarah berdirinya pesantren sering diidentikan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Salah satu pendapat mengemukakan, ketika para pedagang muslim dari Gujarat sampai ke negeri kita, mereka menjumpai lembaga-lembaga keagamaan mengajarkan agama Hindu. Kemudian setelah Islam tersebar luas ke penjuru Nusantara, bentuk lembaga keagamaan itu tetap berkembang dan isinya diubah dengan pengajaran agama Islam, yang kemudian disebut pesantren (Mochtar Maksum, 1999: 10).
Pondok pesantren pada masa penjajahan, mengalami tekanan yang amat berat. Hal ini terjadi karena pondok pesantren memberikan pengajaran kepada para santrinya, tidak hanya tentang bagaimana mereka disiapkan untuk menjadi alim ulama yang melek akan pengetahuan agama namun merekapun diajarkan tentang cinta tanah air dan menanamkan jiwa nasionalisme. Hal tersebut menjadi sebuah kekhawatiran dan bahkan menjadi sebuah ancaman bagi kolonial Belanda pada saat itu. Mereka tahu bahwa didalam pesantren para santri diajarkan tentang kekuatan yang sangat besar yang bersumber dari Al-Quran, yakni kekuatan spiritual. Kekuatan spiritual para kyai dan santri yang amat besar dianggap mengancam eksistensi colonial Belanda.
Sehingga sangat tidak heran apabila akhirnya ada seorang tokoh Belanda, Snouck Horgronje berusaha untuk menghancurkan pesantren yang ia anggap sebagai sebuah ancaman besar. Untuk lebih mengenal Islam, ia pergi ke Mekah dan Madinah untuk mempelajari bahasa Arab sehingga ia fasih dalam membaca dan menterjemahkan Alquran.
Sekembalinya dari Arab, ia merubah namnya menjadi Hafi Abdul Ghofar untuk kemudian menikahi seorang anak Bupati Jawa Barat. Semua masyarakat terpedaya dan menganggap bahwa ia adalah seorang muslim. Menurut Clifford Geertz (Mahpuddin Noor, 2006: 13 ), mengatakan bahwa: “Sekembalinya dari negeri Arab ke Indonesia, dengan memiliki kemampuan bahasa Arab serta memahami isi Al-Qur’an, ia melakukan langkah-langkah berikut:
1.       Mengawasi perjalanan pondok pesantren dengan ketat.
2.       Memupuk serta membina adat istiadat ( tahayul, bid’ah dan khurafat) hingga berkembang di tengah-tengah masyarakat.
3.       Mengelompokan serta memilah-milah umat Islam, terutama para kyai pimpinan pondok pesantren.
4.       Menjauhkan umat Islam dari kitab suci Al-Qur’an, dan yang dibolehkan mengartikan Al-Qur’an hanyalah kyai dan santri.”
Upaya lain kolonial Belanda, menawarkan bentuk pendidikan yang modern dalam performa sekolah, yang kemudian sekolah-sekolah colonial Belanda berkembang menyaingi keberadaan pondok pesantren. Namun demikian, pondok pesantren tidaklah surut dari permukaan, bahkan semakin berkembang. Apalagi pada saat tumbuhnya berbagai organisasi keagamaan yang berbasiskan pada masyarakat luas, sekaligus menjadi angin segar bagi pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren, karena organisasi tersebut mendukung eksistensi pondok pesantren. Mahpuddin Noor (2006: 15) mengatakan bahwa: “Pondok pesantren dengan charisma kyai sebagai figursentral, senantiasa diperhitungkan keberadaannya oleh pihak penguasa, dari mulai penjajahan kolonial Belanda hingga bangsa ini merdeka. Terutama oleh pihak penguasa dan para elit politik negeri ini. Sehingga, tak sedikit pondok pesantren yang disanjung, diberikan bantuan dana oleh pihak-pihak tersebut, untuk kepentingan politik, memobilisasi massa, termasuk keberhasilan program pembangunan yang dicanangkan oleh penguasa pada saat itu.”
Dalam perjalanan sejarahnya, pondok pesantren pernah besar dan jaya di masa lalu, bahkan hingga saat ini. Pesantren tumbuh dan berkembang bersama masyarakat Indonesia. Maka tidak heran, apabila pesantren bisA dikatakan sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia.

D.  Karakteristik Pendidikan Pesantren
Karakteristik atau ciri-ciri umum pondok pesantren adalah sebagai berikut:
1.    Adanya kiai
Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Kata Kyai mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.
Kyai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri tauladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa terbentuknya pola berfikir, sikap, jiwa serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan latar belakang kepribadian kyai.
2.    Adanya santri
Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun ada pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.
Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan mentaati peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
3.    Adanya masjid
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek ibadah lima waktu, khutbah dan shalat Jum’at dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Kedudukan masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW. tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam”.
4.    Adanya pondok atau asrama
Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan Kyai. Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan ke-Islaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan untuk kegiatan bagi para santri. Adanya pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang ada. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain biasanya berdekatan sehingga memudahkan untuk komunikasi antara Kyai dan santri, dan antara satu santri dengan santri yang lain.
5.    Pengajaran Kitab-kitab Klasik
Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap faham Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan faham pesantren yang tidak dapat dipiah-pisahkan.
Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.
Sedangkan ciri-ciri  khusus pendidikan pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi arab,hukum islam, tafsir Hadis, tafsir Al-Qur’an dan lain-lain.
Dalam penjelasan lain juga dijelaskan tentang ciri-ciri pesantren dan juga pendidikan yang ada didalamnya, maka ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
a.    Adanya hubungan akrab antar santri dengan kiainya.
b.    Adanya kepatuhan santri kepada kiai.
c.    Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren.
d.   Kemandirian sangat terasa dipesantren.
e.    Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren.
f.     Disiplin sangat dianjurkan.
g.    Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebagai akibat kebiasaan puasa sunat, zikir, dan i’tikaf, shalat tahajud dan lain-lain.
h.    Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi.
Ciri-ciri diatas menggambarkan pendidikan pesantren dalam bentuknya yang masih murni (tradisional). Adapun penampilan pendidikan pesantren sekarang yang lebih beragam merupakan akibat dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus, sehingga lembaga tersebut melakukan berbagai adopsi dan adaptasi sedemikian rupa. Tetapi pada masa sekarang ini, pondok pesantren kini mulai menampakan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang mumpuni, yaitu didalamnya didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal.
Dengan adanya tranformasi, baik kultur, sistem dan nilai yang ada di pondok pesantren, maka kini pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya:
1.    Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah).
2.    Pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab.
3.    Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat, kesenian yang islami.
Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.
E.  Unsur-Unsur Pendidikan Pesantren
Mastuhu (2007:17) mengelompokan unsur sistem pendidikan terdiri dari dua. Pertama, unsur organik, yaitu para pelaku pendidikan: pimpinan, guru, murid dan pengurus. Kedua, unsur an-organik, yaitu: tujuan, filsafat dan tata nilai, kurikulum dan sumber belajar, proses kegiatan belajar mengajar, penerimaan murid dan tenaga kependidikan, teknologi pendidikan, dana, sarana, evaluasi dan peraturan terkait lainnya di dalam mengelola sistem pendidikan.
Adapun para peneliti lain seperti Dawam Raharjo (1985) secara sederhana mengelompokan unsur-unsur pesantren menjadi tiga, yakni:
1.       Aktor atau pelaku, meliputi: kyai, ustadz, santri dan pengurus.
2.       Sarana perangkat keras, meliputi: masjid, rumah kyai, rumah dan asrama ustadz/guru, pondok atau asrama santri, sarana dan prasarana fisik lainnya.
3.       Sarana perangkat lunak, meliputi: tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, cara pengajaran, perpustakaan, pusat dokumentasi dan penerangan, keterampilan dan alat-alat pendidikan lainnya.

F.   Tujuan Pendidikan Pesantren
Tujuan pendidikan pesantren disampaikan oleh Mastuhu (2007:13) bahwa tujuan   pendidikan   pesantren   adalah   menciptakan   dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat dan berkhidmat kepada masyarakat, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama dan menegakkan Islam dan kejayaan umat, mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
Tujuan pendidikan pesantren secara umum adalah menciptakan dan menyiapkan para kader yang berkepribadian muslim yang selalu menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup sehari-hari namun tidak meninggalkan peran ilmu pengetahuan. Selain itu pesantren memiliki itikad untuk tidak hanya memberikan penjelasan-penjelasan dalam rangka memperkaya pengetahuan para santri, namun untuk meninggikan moral kehidupan bermasyarakat, menghargai harkat dan martabat sesama manusia, mengajarkan bagaimana cara berperilaku dan memiliki akhlak yang baik dan yang paling utama adalah mengajarkan pada santri untuk tetap hidup sederhana.

G. Fungsi Pendidikan Pesantren
Setiap lembaga tentu memiliki fungsinya masing-masing. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia, sudah barang tentu memiliki fungsinya tersendiri. Fungsi yang paling utama bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bergerak dalam hal pendidikan agama. Pesantren dan Islam tidak dapat dilepaskan dari paradigma masyarakat Indonesia dan itu sudah terpelihara sejak dahulu hingga saat ini. Menurut Ahmad Muthohar (2007:21) terdapat tiga fungsi pesantren. Sebagaimana dikatakan bahwa: “terdapat tiga fungsi pesantren, antara lain lembaga pendidikan, lembaga sosial dan penyiaran agama. Berangkat dari ketiga fungsi tersebut, pesantren memiliki integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitar dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum”. Hal ini menjadikan pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal dalam bidang moral keagamaan. Ketiga fungsi tersebut, merupakan satu kesatuan yang utuh. Namun, fungsi sebagai lembaga pendidikan menjadi ujung tombak kehidupan pesantren.

H.  Tipologi Pesantren
Seiring dengan perkembangan zaman, pesantren sudah barang tentu perlu melakukan perubahan sesuai dengan tuntutan zaman. Pesantren terus melakukan perubahan guna tetap eksis di tengah arus globalisasi. Perubahan bentuk pesantren bukan berarti pondok pesantren telah hilang ciri khasnya. Menurut Mahpuddin Noor (2006: 45), secara umum ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang di masyarakat, yaitu:
1.       Pondok pesantren Salafiah, yaitu menyelenggarakan pengajaran Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam, serta kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pesantren seperti ini biasa disebut pesantren tradisional.
2.       Pondok Pesantren khalafiah, yaitu pondok pesantren yang selain menyelenggarakan     kegiatan     kepesantrenan,     juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah dan madrasah). Pesantren ini biasa disebut sebagai pesantren modern.
Sejalan dengan pendapat tersebut Ghazali (2002: 15) mengatakan bahwa secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, meliputi:
1.       Pondok Pesantren Tradisional
Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang di tulis oleh ulama’ pada abad ke 15 dengan menggunakan bahasa arab. Pola pengajarannya dengan menerapakan sistem “halaqah” yang dilaksanakan di masjid atau surau.
2.       Pondok Pesantren Modern
Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena orietasi belajarannya cenderung mengadopsi seluruh system belajar secara klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama nampak pada bangunan kelas-kelas belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah.
3.       Pondok Pesantren Komprehensif
Sistem pesantren ini disebut komprehensif merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang modern.

I.     Pola Pendidikan Pesantren
Pola pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren erat kaitannya dengan tipologi pondok pesantren. Berangkat dari pemikiran dan kondisi pondok pesantren yang ada, maka ada beberapa metode pembelajaran pondok pesantren:
1.      Metode Sorogan
Metode sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitikberatkan pada pengembanagn perseorangan (individu) di bawah bimbingan seorang ustadz atau kiai. Metode ini diselenggarakan pada ruang tertentu di mana disitu tersedia tempat duduk seorang kiai atau ustadz, kemudian di depannya terdapat bangku pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap santri-santri lain, baik yang  mengaji kitab yang sma maupun berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajrakan oleh kiai atau ustadz kepada temannya sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran untuk dipanggil.
Metode pembelajaran ini termasuk sangat bermakna, karena santri akan merasakan hubungan yang khusus ketika berlangsung kegiatan pembacaaan kitab oleh dirinya sendiri di hadapan kiai atau ustadznya. Mereka tidak saja senantiasa dapat dibimbing dan diarahkan cara pembacaanya tetapi juga dapat diketahui dan dievaluasi perkembangan kemampuannya. Dalam situasi demikian, tercipta pula komunikasi yang baik antar santri dengan kiai atau ustadznya sehingga mereka dapat meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa santri maupun kiai atau ustadznya sendiri. Hal ini membawa pengaruh baik karena liai semakin tumbuh kharismanya, santri semakin simpati sehingga ia berusaha untuk selalu mencontoh perilaku gurunya.
2.      Metode Bandongan
Metode bandongan disebut juga dengan metode wetonan. Metode bendongan dilakukan oleh seorang kiai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri, untuk mendengarkan dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Seorang kiai atau ustadz dalam hal ini  membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harakat (gundul). Sementara itu santri dengan memegang kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhabithan harakat, pencacatan symbol-simbol kedudukan kata, arti-arti kata langsung dibawah kata yang dimaksud, dan keterangan-keterangan lain yang dianggap penting dan dapat membantu memahami teks. Posisi para santri pada pembelajaran dengan menggunakan metode ini adalah melingkari dan mengelilingi kiai atau ustadz sehingga membentuk halaqah (lingkaran).
Dalam penerjemahannya kiai atau ustadz dapat menggunakan berbagi bahasa yang menjadi bahasa utama para santrinya.
3.      Metode Musyawarah
Metode musyawarah atau dalam bahasa lainb bahtsul masa’il merupakan metode pembelajarn yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh seorang kiai atau ustadz atau mungkin juga santri senior  untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan pendapatnya. Dengan demikian, metode ini lebih menitikberatkan pada kemampuan perseorangan dan lam menganalisis dan memecahkan suatu persoalan dengan argument logika yang mengacu pada kitab-kitab tertentu. Musyawarah juga dilakuakan untuk membahas materi-materi tertentu dari sebuah kitab yang dianggap rumit  untuk memahaminya. Musyawarah pada bentuk kedua ini bisa digunakan oleh santrio tingkat menengah untuk membedah topic materi tertentu. Untuk melakukan pembelajaran dengan mengguanakn metode ini, kiai atau ustadz biasanya mempertimbangakan kondisi peserta, apakah awal, menengah atau tinggi selain juga topic atau persoalan (materi) yang dimusyawarahkan.
4.      Metode Pengajian Pasaran
Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (marathon) selama tenggang waktu tertentu. Tetapi umumnya pada bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari, atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang diaji. Pada kenyataanya, metode ini lebih miriop dengan metode bandongan, tetapi pada metode ini target utamanya adala “selesai”.
Pengajian pasaran banyak dilakukan di pesantren-pesantren tua di Jawa dan dilakukan oleh kiai-kiai senior di bidangnya.titik beratnya pada pembacaan, bukan pada pemahaman sebagaimana metode bandongan. Sekalipun dimungkinkan bagi para pemula untuk mengikuti pengajian ini, namun pada umumnya pesertanya terdiri dari mereka-mereka yang telah belajar atau membaca kitab tersebut sebelumnya. Kebanyakan pesertanya justru para kiai atau ustadz yang datang dari tempat-tempat lain yang sengaja datang untuk itu. Dengan kata lian, pengajian ini lebih banyak mengambil berkah atau ijazah dari kiai-kiai yang dianggap senior. Dalam perspektif lebih luas, pengajian pasaran ini dapat dmaknai sebagai proses pembentukan jaringan pengajaran kitab-kitab tertentu diantra pesantren –pesamntren yang ada.
5.      Metode Hapalan (Muhafadzah)
Metode hapalan ini adalah kegiatan belajar santri dengan cara menghapal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan kiai atau ustadzm parasantri diberi tugas untuk menghapal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu, hapalan yang dimilki santri ini kemudian dihafalkan di hadapan kiai taua ustadz secara periodic atau insindental tergantung kepada petunjuk gurunya tersebut.
6.      Metode Demonstrasi/Praktek Ibadah
Metode Demonstrasi/Praktek Ibadah adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan (mendemonstrasikan) suatu ketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan ustadz.
7.      Metode Rihlah Ilmiyah
Metode Rihlah Ilmiyah (study tour) adalah kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan melalui kegiatan kunjungan (perjalanan) menuju ke suatu tempat  tertentu dengan tujuan untuk mencari ilmu. Kegiatan kunjungan yang bersifat keilmuan ini dilakukan oleh para santri menuju ke suatu tempat untuk menyelidiki dan mempelajarai suatu hal dengan bimbingan oleh ustadz.
8.      Metode Muhawarah/Muhadatsah
Metode muhawarah adalah latihan bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pondok pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok pesantren. Para santri diwajibkan untuk bercakap-cakap baik dengan sesame santri maupun dengan para kiai atau ustadz dengan menggunakan bahasa Arab pada waktu-waktu tertentu untuk para santri pemula. Kepada mereka diberikan perbendaharan kata-kata bahasa Arab yang sering dipergunakan untuk dihapalkan sedikit demi sedikit sehingga mencapai target yang telah ditentukan untuk jangka waktu sekian, setelah para santri telah menguasai kosa kata bahasa Arab, kepada mereka diwajibkan untuk menggunakannya dalam percakapan-percakan sehari-hari. Pada pesantren metode latihan bercakap-cakap dengan bahasa Arab ini hanyalah pelajaran tambahan bukan pelajaran pokok.
9.      Metode Mudzakarah
Metode Mudzakarah atau dalam istilah lain bahtsul masa’il merupakan pertemuan ilmiah yang membahas masalah diniyah seperti ibadah aqidah dan masalah agama pada umumnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metode musyawarah. Hanya bedanya terletak pada pesertanya, pada Metode Mudzakarah pesertanya adalah para kiai atau para santrinya tingkat tinggi.
10.  Metode Riyadhah
Metode Riyadhah merupakan salah satu metode pembelajaran di pesantren yang menekankan pada olah batin untuk mencapai kesucian hati para santri dengan berbagai macam cara berdasarkan petunjuk dan bimbingan kiai. Pembelajaran dengan metode ini sendiri sesungguhnya tidak ditujukkan untuk penguasaan akan pengetahuan atau ilmu tertentu, tetapi sebagai sarana untuk pembentukan dan pembiasaan sikap serta mental santri agar dekat kepada Tuhan. Metode Riyadhah ini biasanya dipraktikan pada pesantren-pesantren yang sebagian kiainya memiliki kecenderungan dan perhatian yang cukup tinggi pada ajaran tasawuf atau tarekat.

J.    Kurikulum Pesantren
Kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkankan tujuan yang diidamkan. Dengan demikian, kurikulum melingkupi: tujuan, materi pelajaran, metode dan evaluasi. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga telah memuat hal-hal tersebut.
Istilah “kurikulum” dalam pendidikan pesantren dapat mengalami perluasan atau pengembangan makna, sejalan dengan dinamika pesantren di tengah-tengah proses transformasi masyarakat yang bergerak dari pola kehidupan tradisional menuju masyarakat modern (maju). Proses perkembangan ini telah membawa corak pendidikan pesantren yang semakin beragam dewasa ini. Dari sudut ini pemaknaan terhadap arti dan fungsi kurikulumnyapun menjadi turut beragam.
Pada dasarnya pesantren didirikan untuk kepentingan moral, akan tetapi dengan adanya kritikan-kritikan, banyak pihak yang mengharapkan pesantren juga mampu mengikuti perkembangan zaman. Orientasi pendidikan pesantren perlu diperluas, sehingga menuntut dilakukannya pembaharuan kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan zaman dan pembangunan bangsa. Melalui usaha-usaha pembaharuan kurikulum, pesantren diharapkan mampu untuk menemukan kembali identitas dirinya di tengah-tengah kehidupan masa kini. Agaknya, pengabdian pesantren menurut tuntutan berbagai kalangan tidak hanya eksis untuk menopang pembangunan bangsa dalam bidang moral, tetapi juga dalam bidang fisik material. Karena itu, kurikulum yang juga di pandang sebagai refleksi pemikiran pakar pendidikan di lembaganya dapat ditinjau kembali untuk disesuaikan menurut tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat. Amatlah wajar jika pesantren berada pada proses pencarian bentuk kurikulum ideal untuk mempertahankan kembali “jati dirinya” di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern ini.
Pemikiran kurikulum pesantren antara lain dicirikan melalui pemaduan antara kutub kiai dan santri. Kurikulum ini tidak hanya ditujukan untuk kepentingan kiai dalam mengembangkan aktivitas pengajaran, tetapi juga menekankan untuk kepentingan santri dalam aktivitas belajarnya. Dari segi lain, pemikiran kurikulum pesantren dalam kehidupan lingkungannya seperti “ikan dengan air” dalam arti; menyatu, harmonis, dan konsisten. Kurikulum tidak dimaknai sesuatu yang asing dalam konteks kehidupan lingkungannya seperti “air dengan minyak” dalam arti; tidak dapat menyatu, harmonis dan konsisten di dalamnya.
Melihat kepada makna kurikulum pesantren yang demikian, maka pada awalnya setiap kurikulum selalu terpadu dengan budaya dan kehidupan lingkungannya. Dimaksudkan dengan pengertian kurikulum di sini tidak hanya terbatas pada “written curriculum” tetapi juga yang bersifat “hidden curriculum”. Sebagai konsekuensinya, pihak pengembang dan pelaksana kurikulum harus bekerja secara ekstra untuk memadukan kembali kurikulum itu sesuai dengan konteks budaya dan kehidupan lingkungannya.
Dalam pasca modern ini tuntutan terhadap perluasan makna pendidikan pesantren semakin mendesak, sehingga ketidaksinambungan di dalam kurikulumnyapun semakin besar pula terjadi. Akan tetapi masalah ini dapat diantisipasi atas bantuan perubahan pemikiran terhadap kurikulum, ide-ide, serta praktek-praktek baru kurikulum yang dikembangkan sebagai sebuah sistem pendidikan pesantren hingga dapat beradaptasi untuk memperkuat tradisi dan nilai spiritual pesantren.

K. Materi Pembelajaran Pesantren
Pola pembelajaran dalam pesantren sangat beragam antara satu pesantren dengan pesantren lainnya., tetapi semuanya memiliki fungsi yang sama yaitu mendidik dan mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam sebagai upaya mewujudkan manusia yang tafaquh fi al-din. Walaupun demikian beberapa pesantren di Indonesia mengajarkan mata aji yang sama yang dikenal dengan ilmu-ilmu keislaman yang meliputi al-Qur’an (tajwid, tafsir dan ilmu tafsir), al-Hadist, Aqidah/Tauhid, Akhlak/Tasawuf, Fiqih dan Ushul Fiqh, bahasa arab(Nahwu, Sharaf, Mantiq dan Balaghah) serta Tarikh (Sejarah Islam).
Mata aji ilmu-ilmu ini diajarkan di pesantren melalui kitab-kitab standar yang disebut al-kutub al-qadimah, karena kitab-kitab tersebut dikarang lebih dari seratus tahun yang lalu. Ada juga yang menyebutkan al-kitab al-shafra atau kita kuning, karena biasanya kitab-kitab itu dicetak di kertas berwarna kuning. Ciri lain kitab yang diajarkan di pesantren adalah berhuruf Arab gundul (huruf Arab tanpa harakat atau syakal). Diyakini bahwa al-kutub al-qadimah itu jumlahnya sangat banyak, namun yang dimiliki oleh para kiai dan diajarkan di pesantren di Indonesia adalah kitab-kitab yang umumnya merupakan karya ulama-ulama madzab Syafi’i.
1.    Penjenjangan materi pengajian
Tidak seluruh kitab keIslaman diajarkan kepada santri. Kebanyakan sebagai pengkayaan bahan ajai hanya merupakan bacaaan ustadz dan kiai. Untuk para santri, kitab yang diajarkan disampaikan secara bertingkat, yakni tingkat pemula (awaliyyah), tingkat menengah (wustha), dan untuk tingkattinggi (‘aly). Tingkat ini juga ditentukan berdasarkan pola penyajian kitab itu sendiri yaitu pola matan, syarah, dan khaisyiyah.
a.    Matan adalah kitab yang meyajikan materi pokok awal baik dengan cara esai (natsr)maupun dengan sair (syi’ir).
b.    Syarah merupakan kitab ‘komentar’ dari kitab matan
c.    Khaisyiyah merupakan komentar dari komentar
2.    Mata aji pembelajaran di pesantren
Pembelajaran di pesantren terdiri dari sejumlah mata ajai, yang pada umumnya menggunakan sumber yang berbahasa Arab. Secara umum, tujuan pengajian dan kitab-kitab yang diajarkan berbeda satu sama lain tergantung pada jenis mata aji yang bersangkutan. Mata aji itu meliputi :
a.    Aqidah (Tauhid)
Aqidah atau tauhid bertujuan menanamkan keyakinan tentang ketauhidan Allah dan rukun iman yang lain kepada santri.
b.    Tajwid (Baca al-Qur’an)
Pengajaran baca Al-Qur’an yang ditekankan oada beberapa hal, seperti :
1)   Kemampuan mengenali dan membedakan huruf-huruf al-Qur’an (huruf hijaiyyah) secara benar.
2)   Kemampuan untuk mengucapkan/melafalkan kata-kata dalam al-Qur’an dengan fasih sesuai dengan makhraj (tempat keluarnya huruf-huruf hijaiyyah dari rongga mulut).
3)   Mengerti dan memahami hokum-hukum atau patokan-patokan pembecaan al-qur’an.
c.    Akhlak (Tasawuf)
Tujuan pembelajaran akhlak/tasawuf adalah membentuk santri agar memiliki kepribadian muslim yang berakhlaq karimah baik dalam hubungannya dengan Allah atau hablum minallah (hubungan vertical) maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia atau hablum minannas (hubungan horizontal) serta dalam hubungannya dengan alam sekitar atau makhluk lain.
d.   Bahasa Arab
Mata aji yang biasanya mendapat porsi cukup penting, sehingga selalu ada di setiap pesantren adalah ilmu “alat” yakni Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Kadangkala dimasukan ke dalamnya Manthiq (Logika). Tujuan mata aji ini adalah agar para santri mampu memahami al-Qur’an dan al-Hadists serta kitab-kitab berbahasa Arab.
e.    Fiqh
Materi pelajaran Fiqh atau syari’at Islam biasanya dibagi menjadi : ibadah ( ibadah dalam arti sempit), muamalat (tentang kerjasama antar manusia), munakahat (tentang pernikahan), dan jinayat (tentang pelanggaran dan pembunuhan). Pembelajarn materi ini terbagi pada tingkat permulaan, menengah dan tinggi. Ibadah biasanya diberikan pada tingkat permulaan, sedangkan mu’amalat diberikan pada tingkat menengah. Tingkat tinggi mempelajari masalah munakahat dan jinayat.


f.     Ushul Fiqh
Selain Fiqh, pesantren juga memberikan mata aji Ushul Fiqh. Ilmu ini berkaitan dengan dasar-dasar  dan metode untuk menarik sebuah hokum (istinbath). Fiqh pada tataran tertentu adalah produk, prosesnya dicakup dalam Ushul Fiqh.
g.    Al-Qur’an (Tafsir)
Secara garis besar tafsir terbagi menjadi 2 yaitu Tafsir bi al-ra’yi (tafsir dengan rasio) dan Tafsir bi al-ma’tsur (tafsir yang menitikberatkan pada pengguanaan ayat-ayat lain, hadits Nabi dan pendapat sahabat). Dalam pengajaran tafsir, penekanan utama deberikan pada :
1)   Kemampuan mengetahui kedudukan suatu kata dalam struktur kalimat (I’rab) serta mengetahui dan membedakan makna mufradat (pengertian kata-kata) ayat-ayat al-Qur’an baik ditinjau dari segi morfem (sharaf) maupun persamaan makna katanya (muradif).
2)   Asbabun nuzul, makkiyah-madaniyah serta nasikh dan mansukh suatu ayat.
3)   Kandungan utama ayat itu secara tekstual maupun kontekstual sehingga santri menemukan relevansi ayat itu dalam realitas kehidupan.
4)   Perbandingan penjelasan makna ayat-ayat al-Qur’an dengan kitab tafsir lain.
5)   Pada beberapa pesantren tertentu kitab tafsir yang dibaca ditekankan pada kitab tafsir yang bercorak hokum (tafsir ahkam).
h.    Ilmu Tafsir
Tidak banyak pesantren yang mengajarkan ilmu Tafsir, kecuali pada pesantren-pesantren yang memiliki kekhususan al-Qur’an. Ilmu ini bermanfaat untuk mengetahui tentang al-Qur’an dan sangat berguna sebagai alat bantu dalam menafsurkan ayat-ayat al-Qur’an.
i.      Hadist
Pengajian hadits pada tingkat awal biasanya bertujuan untuk memperkenalkan hadits secara tidak langsung, lebih ditonjolkan pada kandungan materinya sehingga yang diajarkan adalah hadits-hadits pendek. Konsentrasi pengajiannya terpusat pada matan dengan pembahasan yang sederhana, sesuai dengan kemampuan santri pada tingkat ini. Pada tingkat wustha perhatian kepada sanad hadits  mulai ditekankan, begitu juga terhadap rijal al-haditsnya dengan tetap memberikan perhatian pada kandungan matan. Pada tingkat ‘Aly, pengajian hadits benar-benar telah memasuki tahap lengkap, yang meliputi pengetahuan tentang sanad dan variasi sanadnya, sosok dan karakter perawinya, cara periwatannya serta matan dan variasinya, berikut asbab al-wurudnya dan materi kandungannya.
j.      Ilmu Hadists
Beberapa pesantern baru mengajarkan Ilmu Hadits pada tingkat menengah. Tujuan pengajian ilmu hadits di pesantren pada tingkat menengah dan tingkat tinggi adalah agar para santri mengetahui seluk beluk Hadits, dari mulai posisinya sebagai sumber hokum, sejarah penulisannya, kualitas dan jenis-jenisnya yang baik dilihat dari segi matan, sanad, atau keduanya, ktab-kitabnya, perawi-perawinya dan seterusnya. Pada tingkat tinggi, biasanya juga ditambah dengan ketrampilan takhrij al-Hadits, yaitu ketrampilan untuk menetapkan metode-metode yang ada. Dengan kemampuan takhrij ini diharapkan santri dapat melakukan kajian mandiri mengenai status dan kualitas hadits.
k.    Tarikh (Sejarah Islam)
Tujuan dari pembelajaran Tarikh adalah untuk mengenal secara kronologis pertumbuhan dan perkembangan umat Islam semenjak masa Rasullullah hingga masa kehidupan Turki Utsmani. Pada tingkat tinggi, materi biasanya dimulai sejak awal hingga masa temporer, namun tekanannya tidak terbatas pada fakta sejarah, namun menjangkau makna di balik fakta itu.


L.   Prinsip Pendidikan Pesantren
Prinsip-prinsip yang ada di dalam lingkungan pesantren merupakan ciri khas dari pesantren itu sendiri. Pesantren akan selalu memegang teguh prinsip-prinsip yang telah tumbuh didalam lingkungan pesantren. Menurut Mastuhu (2007: 21) pesantren memiliki beberapa prinsip, yaitu:
a.       Teosentris
b.       Sukarela dan mengabdi
c.       Kearifan
d.      Kesederhanaan
e.       Kolektivitas
f.        Mengatur kegiatan bersama
g.       Kebebasan terpimpin
h.       Mandiri
i.        Mengamalkan ajaran-ajaran Islam
j.        Pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi
k.       Tanpa ijazah
l.        Restu kyai
Namun saat ini ada beberapa perubahan dalam prinsip pesantren. Salah satunya adalah bahwa kebanyakan pesantren saat ini, terutama pesantren modern telah memberikan ijazah pada para santrinya yang telah lulus dalam pembelajaran selama nyantri. Hal itu dilakukan karena pesantren modern menyadari bahwa ijazah sangat diperlukan para santri di luar lingkungan pesantren, terutama sebagai syarat utama dalam hal mencari pekerjaan.

M. Strategi Pendidikan Pesantren
Strategi pengembangan pesantren antara lain:
1.    Peningkatan layanan pendidikan
2.    Perluasan dan pemerataan pendidikan
3.    Peningkatan mutu dan layanan pendidikan
4.    Pengembangan sistem dan manajemen pendidikan
5.    Pemberdayaan kelembagaan
Strategi pendidikan apa pun bentuknya, baik dalam frame pendidikan umum atau pendidikan pesantren merupakan sebuah idealisme. Suatu cita-cita luhur (idealisme) sangatlah sulit dicapai apabila tidak dikelola dengan strategi tertentu. Lembaga pendidikan pesantren memerlukan suatu strategi yang bermutu, supaya cermat memahami kebutuhan kelembagaan secara kekinian, dan mampu pula mengantisipasi kebutuhan lain yang strategis di masa depan. Lembaga pendidikan pesantren apabila mengabaikan hal tersebut, maka dimungkinkan akan terjadi kemandegan (stagnasi) tertentu, atau berada dalam kondisi “lâ yamûtu wa lâ yahya” (tidak hidup, tapi juga tidak mati). Salah satu strategi yang ditempuh adalah menggunakan metode SWOT (Strength–Weakness–Opportunities–Threat).
Sebagai upaya menghasilkan temuan yang realistis untuk ditindaklanjuti, di samping menerapkan metode SWOT dalam mengevaluasi kinerja lembaga pendidikan pesantren juga sangat dibutuhkan kejujuran para pengelola dan stakeholder. Dimensi kejujuran adalah sesuatu yang sangat mahal, sebab walaupun lembaga pendidikan pesantren dikenal sebagai lembaga berbasis ajaran Islam, belum tentu mental kejujuran dapat tumbuh berkembang secara baik dan merata. Metode SWOT bisa menjadi teropong dalam membedah secara transparan keberadaan lembaga apa adanya.

Segi Strength (Aspek Kekuatan/Kelebihan)
Lembaga pendidikan pesantren memiliki matra plus antara lain:
1.      Pandangan pesantren bahwa manusia dilahirkan menurut fithrah masing-masing, yang di dalamnya terdapat daya-daya positif (Ilâhiyyah) yang harus dikembangkan sekaligus juga mencegah timbulnya daya-daya negatif (syaythâniyyah).
2.      Pandangan bahwa tugas melaksanakan pendidikan merupakan ibadah pada Allah Swt, sehingga dalam menjalankan proses belajar-mengajar seyogyanya dilakukan secara ikhlas dan semata-mata hanya mengharap ridlâ (restu atau perkenan) dari Allah Swt.
3.      Hubungan yang baik dan saling menghormati antara murid dan guru, bahwa seorang murid tidak akan menjadi manusia yang baik dan pandai tanpa guru, sedangkan sang guru dalam melaksanakan tugasnya berprinsip sebagai hamba yang sedang mengemban amanat dari Allah SWT.
4.      Pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi bukan sebagai tempat mencari ijazah, kalau pun dalam pengabdian itu kemudian diperoleh selembar ijazah, itu tak lebih sebagai kenang-kenangan yang logis yang bukan menjadi target atau tujuan utama.
5.      Metode belajar model halaqah, sorogan, dan bandongan yang bermuatan kewajiban menghafal.
6.      Nilai-nilai pendidikan dengan sistem asrama
7.      Pandangan hidup jangka panjang dan menyeluruh, bahwa bagi siapa pun yang benar-benar beriman pada Allah Swt. akan selalu optimis dalam menjalani kehidupan yang terkadang amat misterius
Ketujuh matra plus pada pendidikan pesantren tidak dapat berkembang dan berdinamika secara baik dan berkesinambungan apabila tidak diapresiasi dalam kerangka strategis. Hal itu harus dinilai atau dipandang sebagai suatu kekuatan atau kelebihan yang perlu dipertahankan secara terencana dan sistematis, dan kalau perlu “dipromosikan”. Matra plus yang berbentuk tujuh nilai universal itu sebetulnya telah mampu mencetak sejumlah lulusan atau alumni dan diduga prosentase terbesarnya adalah telah mampu mencapai prestasi tertentu. Sejumlah alumni tersebut alangkah bagusnya jika dicatat secara rapi dan lengkap dengan curriculum vitae mereka. Catatan rapi itu dapat digunakan sebagai data untuk mengetahui grafik turun naiknya kualitas alumni. Angka-angka tersebut kelak menjadi aspek penting dalam “mempromosikan” kelebihan lembaga. Data alumni tersebut merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari penggunaan metode Strength.




Segi Weakness (Aspek Kelemahan)
Lembaga pesantren di samping memiliki tujuh macam aspek kekuatan atau kelebihan, juga memiliki enam aspek kelemahan dalam kategori matra-matra minus. Aspek kelemahan atau matra minus yakni:
1.      Pandangan bahwa ilmu adalah hal yang sudah mapan dan dapat diperoleh melalui barokah kiai.
2.      Pandangan yang tidak kritis yang menyatakan bahwa setiap yang diajarkan oleh kiai, ustadz dan kitab kuning diterima sebagai kebenaran final yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
3.      Pandangan bahwa kehidupan ukhrâwi (akhirat) paling penting, sedangkan kehidupan duniawi (dunia pra-akhirat) dipandang tidak (kurang) penting.
4.      Metode belajar dengan menghafal dan teori-teori pemikiran tradisional yang diterapkan untuk semua ilmu pengetahuan apa pun yang diajarkan di dalamnya.
5.      Kepatuhan mutlak kepada kiai, guru dan kehidupan kolektif (asrama) yang tidak diimbangi dengan kebebasan mengembangkan potensi jati diri (individualitas).
6.      Pandangan hidup fatalistis yang bersikap menyerahkan nasib diri kepada keadaan apa adanya.
Persoalannya adalah bagaimana metode yang terbaik untuk mengevaluasi keenam aspek itu. Sebab, jika salah memilih cara tidak tertutup kemungkinan ada pihak pengelola yang tersinggung, sehingga justru akan membuat problematika baru yang seharusnya tidak terjadi. Salah satu cara atau mekanisme mengevaluasi enam aspek kelemahan itu ialah melalui musyawarah lengkap (quorum) segenap kiai, para pengurus, pengelola, dan stakeholder yang mengacu kepada AD/ART lembaga pendidikan pesantren itu. Sebagian besar stakeholder seringkali tidak mengenal atau tidak mendapatkan informasi lengkap tentang detail-detail AD/ART lembaga, sehingga aturan main pengelolaan lembaga juga tidak berperan sebagai rambu-rambu normatif yang dipatuhi oleh semua pihak. Otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan atau kebijakan dalam musyawarah bukan orang perorang, tetapi suara aklamasi para stakeholder.

Segi Opportunities (Peluang/Kesempatan)
Lembaga pendidikan pesantren dengan menggunakan metode yang ketiga ini dapat mencatat sekian peluang atau kesempatan penting yang perlu digarap dan diwujudkan secara terencana, yaitu: Pertama, kewibawaan kiai sebagai figur pemimpin umat yang bertipe jujur dan ikhlas dapat dijadikan modal publikatif untuk meyakinkan semua pihak untuk menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan pesantren. Kedua, perilaku tidak bermoral yang sering terjadi di sekolah-sekolah umum di luar lembaga pendidikan pesantren merupakan momentum yang baik bagi lembaga ini untuk menawarkan konsepsi dan sistem pendidikan yang siap mencetak anak didik yang bermoral, religius, berpengetahuan luas, serta bermental percaya diri (confidence) dalam menjalani kehidupan yang majemuk dan kompetitif, sehingga mereka bisa terhindar dari tragedi menjadi seorang pengangguran.
Ketiga, temuan-temuan sains teknologi yang semakin canggih dan beraneka macam kegunaannya bagi pola kehidupan modern, lembaga pendidikan pesantren harus bisa memanfaatkan sebagai wahana atau instrumen meningkatkan
mutu dan kreativitas santri, guru, serta seluruh SDM-nya. Keempat, pemberdayaan kualitas SDM juga memerlukan kerjasama (networking) dengan lembaga lain yang bonafide, baik berbentuk beasiswa bagi santri berprestasi untuk berstudi S1, S2, atau S3 di luar negeri atau di dalam negeri, maupun berbentuk pelatihan-pelatihan penting yang insidental dan tidak periodik.

Segi Threat (Hambatan/Ancaman)
Beberapa sektor di luar lembaga pendidikan pesantren termasuk kategori sebagai hambatan, ancaman, atau tantangan yang memerlukan respons elegan, supaya secara kelembagaan tidak menimbulkan efek samping dalam upaya meningkatkan mutu lembaga itu sendiri. Beberapa sektor yang dimaksud, yaitu: Pertama, sektor sosial. Masyarakat yang terdidik prosentasenya diduga semakin besar karena semakin banyak yang tamat S1, tampaknya mulai cenderung mengubah model masyarakat paguyuban sebagai tradisi menuju model masyarakat patembayan. Struktur sosial umat dalam masyarakat paguyuban lebih membutuhkan model kepemimpinan kharismatik, bahkan yang paternalistik. Sebagian masyarakat paguyuban dalam memutuskan pilihan-pilihan hidupnya memang sangat tergantung kepada restu atau kebijakan pemimpin yang kharismatik. Hal itu berbeda dengan masyarakat patembayan, karena sikap kemandirian (independensi) semakin menguat yang ditopang dengan keluasan wawasan berpikir sebagai buah nyata dari penguasaan ilmu pengetahuan secara lebih mendalam.
Kedua, sektor kebudayaan. Lembaga pendidikan pesantren harus cermat dan responsif terhadap berbagai perubahan budaya yang sedang terjadi secara makro-internasional. Globalisasi peradaban dunia bagaikan pisau bermata dua yang perlu diperhatikan secara seksama, agar efek negatif dalam bentuk dekadensi moral dapat dibendung dan tidak leluasa memasuki kawasan lembaga dan masyarakat di sekitarnya. Sikap responsif tersebut akan lebih baik lagi kalau diformat dengan langkah inovatif bukan sekadar bersikap reaksioner semata.
Ketiga, sektor politik. Pendidikan pesantren secara institusional lebih baik bilamana tidak menjadi partisan partai politik, sebab jika para kiai dan pengelola berdiri di atas semua golongan dan semua aliran partai politik (bersikap netral atau non-partisan), maka akan lebih optimal dan didengar oleh semua pihak tatkala berdakwah kepada masyarakat.
Keempat, sektor ekonomi. Lembaga apa pun yang dikelola oleh siapa pun pasti memerlukan sejumlah dana operasional. Lembaga pendidikan pesantren demikian pula kalau tidak ditopang dengan dana yang cukup memadai pastilah sulit berkembang pesat. Kiai sebagai pemimpin harus kreatif mencari sektor pendanaan. Lembaga pesantren akan lebih bagus lagi jika memiliki unit usaha kerja yang bisa mendatangkan income rutin setiap bulan.

N.  Kelebihan dan Kelemahan Pendidikan Pesantren
1.    Kelebihan-kelebihan pesantren tradisional antara lain:
a.    Kemampuan menciptakan sikap hidup universal yang merata, dengan dilandasi oleh tata nilai religiusitas  tinggi yang terlepas dari acuan-acuan subkultural yang ada dalam susunan kehidupan diluar pesantren.
b.    Kemampuan memelihara subkulturnya. Hingga terus teraplikasikan dalam segala aspek kehidupan di sepanjang perjalanan.
2.    Kelemahan-kelemahan pesantren tradisional antara lain:
a.    Tidak adanya perancangan terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan, kalaupun ada hanya sangat terbatas, tidak meliputi hubungan antara berbagai sistem pendidikan yang akan dikembangkan dengan jenjangnya masing-masing.
b.    Tidak adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah di cerna dan dikuasai oleh santri.
c.    Tidak mempunyai standar khusus yang membedakan antara hal-hal yang diperlukan dalam pendidikan dan yang tidak diperlukan. Pedoman yang digunakan adalah mengajarkan penerapan hokum syara’ dalam kehidupan sehari-hari dengan mengabaikan nilai-nilai pendidikan, akibatnya tidak ada filsafat pendidikan yang jelas dan lengkap.












STUDI KASUS
Kasus teror dan terorisme di Indonesia menjadi isu hangat yang tak pernah sepi dibicarakan. Sejak kemunculan kasus peledakan bom Bali satu pada tahun 2002 dan bom Bali dua  pada tahun 2005. Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata kasus peledakan bom yang terjadi adalah kasus bom bunuh diri. Jika memperhatikan latar belakang para pelaku, sebagian besar merupakan alumni pondok pesantren yang sejatinya paham akan nilai-nilai luhur agama dan kitab suci. Demikian pula beberapa pelaku pengeboman Bali juga melibatkan mereka yang pernah belajar di pesantren. Di kalangan masyarakat mulai muncul asumsi yang mengatakan bahwa pesantren sebagai basis terorisme. 
Bagaimana upaya mengubah stigma pesantren sebagai gudang terorisme dan radikalisme?
1.      Meningkatkan prestasi santri pondok pesantren dalam bidang akademik maupun non akademik untuk mengharumkan nama pesantren.
2.      Menerapkan pendidikan multikulturalisme agar terbentuk watak santri yang menghargai perbedaan dan toleransi.
3.      Melibatkan kementrian luar negeri untuk mensosialisasikan kegiatan-kegiatan pesantren yang positif. Nantinya, para kementrian luar negeri ini mensosialisasikan kepada negaranya sehingga akan mengubah pandangan bahwa pesantren bukanlah merupakan gudang teroris.












BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.    pendidikan pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam untuk mendalami dan menyebarkan ilmu-ilmu keislaman dan menekankan pada moral keagamaan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Secara umum ada 3 landasan yang digunakan pesantren dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pendidikan, yaitu dasar ideologis, konstitusional dan teologis.
2.    Karakteristik atau ciri-ciri umum pondok pesantren adalah adanya kiai, adanya santri, adanya masjid, adanya pondok atau asrama, dan pengajaran Kitab-kitab Klasik. Sedangkan ciri-ciri  khusus pendidikan pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi arab,hukum islam, tafsir Hadis, tafsir Al-Qur’an dan lain-lain.
3.    unsur-unsur pesantren menjadi tiga, yakni:
a.     Aktor atau pelaku, meliputi: kyai, ustadz, santri dan pengurus.
b.    Sarana perangkat keras, meliputi: masjid, rumah kyai, rumah dan asrama ustadz/guru, pondok atau asrama santri, sarana dan prasarana fisik lainnya.
c.     Sarana perangkat lunak, meliputi: tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, cara pengajaran, perpustakaan, pusat dokumentasi dan penerangan, keterampilan dan alat-alat pendidikan lainnya.
4.    Tujuan pendidikan pesantren secara umum adalah menciptakan dan menyiapkan para kader yang berkepribadian muslim yang selalu menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup sehari-hari namun tidak meninggalkan peran ilmu pengetahuan. Selain itu pesantren memiliki itikad untuk tidak hanya memberikan penjelasan-penjelasan dalam rangka memperkaya pengetahuan para santri, namun untuk meninggikan moral kehidupan bermasyarakat, menghargai harkat dan martabat sesama manusia, mengajarkan bagaimana cara berperilaku dan memiliki akhlak yang baik dan yang paling utama adalah mengajarkan pada santri untuk tetap hidup sederhana.
5.    Secara umum, tipe pondok pesantren yang berkembang di masyarakat, yaitu pondok pesantren Salafiah/pesantren tradisional dan pondok pesantren khalafiah. Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, meliputi pondok pesantren tradisional, pondok pesantren moder, pondok pesantren komprehensif.
6.    Pola pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren erat kaitannya dengan tipologi pondok pesantren. Metode pembelajaran yang terdapat dalam pembelajaran di pondok pesantren adalah Metode Sorogan, Metode Bandongan, Metode Musyawarah, Metode Pengajian Pasaran, Metode Hapalan (Muhafadzah), Metode Demonstrasi/Praktek Ibadah, Metode Rihlah Ilmiyah, Metode Muhawarah/Muhadatsah, Metode Mudzakarah, dan Metode Riyadhah.
7.    Istilah “kurikulum” dalam pendidikan pesantren dapat mengalami perluasan atau pengembangan makna, sejalan dengan dinamika pesantren di tengah-tengah proses transformasi masyarakat yang bergerak dari pola kehidupan tradisional menuju masyarakat modern (maju).
8.    Pola pengajaran beberapa pesantren di Indonesia mengajarkan mata aji yang sama yang dikenal dengan ilmu-ilmu keislaman yang meliputi Aqidah (Tauhid), Tajwid (Baca al-Qur’an), Akhlak (Tasawuf), Bahasa Arab, Fiqh, Ushul Fiqh, Al-Qur’an (Tafsir), Ilmu Tafsir, Hadist, Ilmu Hadists, dan Tarikh (Sejarah Islam).
9.    Strategi pengembangan pesantren antara lain peningkatan layanan pendidikan, perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu dan layanan pendidikan, pengembangan sistem dan manajemen pendidikan, pemberdayaan kelembagaan. Strateginya adalah dengan menggunakan analisis SWOT.
10. Kelebihan-kelebihan pesantren tradisional yaitu kemampuan menciptakan sikap hidup universal yang merata, dengan dilandasi oleh tata nilai religiusitas  tinggi yang terlepas dari acuan-acuan subkultural yang ada dalam susunan kehidupan diluar pesantren dan kemampuan memelihara subkulturnya. Hingga terus teraplikasikan dalam segala aspek kehidupan di sepanjang perjalanan.
11. Kelemahan-kelemahan pesantren tradisional yaitu tidak adanya perancangan terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan, kalaupun ada hanya sangat terbatas, tidak meliputi hubungan antara berbagai sistem pendidikan yang akan dikembangkan dengan jenjangnya masing-masing, tidak adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah di cerna dan dikuasai oleh santri, dan tidak mempunyai standar khusus yang membedakan antara hal-hal yang diperlukan dalam pendidikan dan yang tidak diperlukan. Pedoman yang digunakan adalah mengajarkan penerapan hokum syara’ dalam kehidupan sehari-hari dengan mengabaikan nilai-nilai pendidikan, akibatnya tidak ada filsafat pendidikan yang jelas dan lengkap.

B.  Saran
Pesantren hendaknya lebih memperhatikan sistem kurikulumnya, sarana dan prasarana serta memberikan kebebasan para santri untuk mengembangkan talenta yang dimilikinya.
1.    Membuat kurikulum terpadu, gradual, sistematik, dan egaliter.
2.    Melengkapi sarana penunjang proses pembelajaran, seperti perpustakaan kitab-kitab klasik maupun kontemporer, majalah, sarana organisasi, sarana olah raga dan sebagainya.
3.    Memberi kebebasan kepada santri yang ingin mengembangkan talenta masing-masing, baik pemikiran, teknologi, ilmu pengetahuan maupun kewirauasahaan.





DAFTAR PUSTAKA

Naufal Ramzy. 2012. Prospek Dan Strategi Sistem Pendidikan Pesantren Pada Era Otonomi Daerah. KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012.

Nurhasanah Bakhtiar. 2009. Pola Pendidikan Pesantren: Studi Terhadap Pesantren se-Kota Pekanbaru. Diakses dari alamat http://uinsuska.info/tarbiyah/images/jurnal/2009/nurhasanah_pola.pdf  pada tanggal 27 Mei 2013.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Jakarta: PT. Imtima


File Lengkap Dapat Diunduh DI SINI


1 komentar:

  1. Untuk membantu me-manage ponpes, sekarang sdh ada Inovasi baru untuk pondok pesantren. Program atau Aplikasi Tata Usaha, Keuangan, Kesantrian, Tahfizh dan Manajemen terintegrasi yang digunakan di Ponpes, Boardingschool atau Sekolah Islam. Mendukung transaksi non-tunai, Virtual account, dan lainnya. Dijalankan secara Realtime, bekerja dan melihat laporan kapan saja dan dimana saja. Juga dilengkapi Aplikasi Bagi Orang Tua Untuk Mengetahui Perkembangan Anaknya. coba saja buka www.sipond.com

    BalasHapus