BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh
kemajuan pendidikannya. Tetapi pendidikan di Indonesia sama sekali belum
sepenuhnya tersentuh oleh tangan-tangan pemerintah. Output yang
dikeluarkan pun tidak seperti apa yang telah menjadi tujuan pendidikan.
Di Indonesia terdapat tiga macam lembaga
pendidikan, yaitu sekolah umum, madrasah dan pesantren. Antara madrasah dan
sekolah umum tidak banyak perbedaannya. Akan tetapi, lembaga yang satunya yaitu
pesantren, adalah lembaga yang jauh berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan
lainnya.
Pendidikan diselenggarakan bertujuan
untuk membentuk manusia yang memanusiakan manusia. Artinya,
penyelenggaraan pendidikan harus diarahkan pada pembentukan perilaku yang baik.
Karena itulah hampir seluruh lembaga pendidikan yang diselenggarakan di
Indonesia ini terdapat muatan materi tentang akhlakul karimah. Diharapkan output-output yang dihasilkan nantinya
di samping berintelektual tinggi, juga mempunyai budi pekerti yang baik
sehingga menjadi teladan
bagi masyarakatnya.
Sebagai calon guru yang kelak
akan terjun ke dunia pendidikan, dan selayaknya memahami secara keseluruhan aspek-aspek dalam
pendidikan. Salah satunya pendidikan pesantren. Berikut akan disampaikan
hal-hal terkait pendidikan pesantren.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka
terdapat beberapa rumusan masalah, diantaranya yaitu:
1.
Apa yang dimaksud dengan
pendidikan pesantren?
2.
Apa yang menjadi
landasan pendidikan pesantren?
3.
Bagaimana sejarah
pendidikan pesantren?
4.
Bagaimana
karakteristik pendidikan pesantren?
5.
Apa saja
unsur-unsur pendidikan pesantren?
6.
Apa tujuan
pendidikan pesantren?
7.
Apa fungsi
pendidikan pesantren?
8.
Bagaimana pola
pendidikan pesantren?
9.
Bagaimana kurikulum
dalam pendidikan pesantren?
10.
Bagaimana materi
dalam pendidikan pesantren?
11.
Bagaimana prinsip
pendidikan pesantren?
12.
Bagaimana strategi
pendidikan pesantren?
13.
Apa kelemahan dan
kelebihan pendidikan pesantren?
C.
Tujuan
Penulisan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui hakikat pendidikan pesantren.
2. Mengetahui landasan pendidikan pesantren.
3. Mengetahui sejarah pendidikan pesantren.
4. Mengetahui karakteristik pendidikan pesantren.
5. Mengetahui unsur-unsur pendidikan pesantren.
6. Mengetahui tujuan pendidikan pesantren.
7. Mengetahui fungsi pendidikan pesantren.
8. Mengetahui pola pendidikan pesantren.
9. Mengetahui kurikulum dalam pendidikan pesantren.
10. Mengetahui materi dalam pendidikan pesantren.
11. Mengetahui prinsip pendidikan pesantren.
12. Mengetahui strategi pendidikan pesantren.
13. Mengetahui kelemahan dan kelebihan pendidikan pesantren
D.
Sistematika
Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini meliputi tiga bab. Bab
I berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penulisan dan
sistematika penulisan makalah. Bab II merupakan isi dari makalah yaitu jawaban dari beberapa rumusan masalah dan studi
kasus.
Bab III berisi kesimpulan dan saran
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Pesantren
Pada dasarnya, pendidikan pesantren dirumuskan dari
dua pengertian dasar
yang terkandung dalam istilah “pendidikan” dan istilah “pesantren”. Kedua istilah itu disatukan
dan arti keduanya menyatu dalam definisi pendidikan pesantren.
Pendidikan adalah usaha sadar,
teratur dan sistematis yang dilakukan oleh orang dewasa yang diberi tanggung
jawab untuk menanamkan akhlak yang baik dan nilai-nilai luhur, serta
norma-norma susila kepada anak didik sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani untuk mencapai kedewasaan.
Sedangkan kata pesantren
berasal dari akar kata “Santri”, yaitu istilah
yang digunakan bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama di lembaga
pendidikan Islam tradisional di Jawa. Kata “Santri” mendapat awalan “pe”
dan akhiran “an”, sehingga menjadi “Pesantren”, yang berarti tempat para
santri menuntut ilmu. Mengenai asal usul kata “Santri”, banyak pendapat tentangnya, menurut Zamakhsyari Dhofier, bahwa Profesor Johns berpendapat, istilah “Santri”, berasal dari bahasa Tamil, “Sastri” yang berarti guru mengaji,
sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa “Santri” berasal dari bahasa India
“Shastri” yang berarti orang yang tahu buku-buku suci atau buku-buku
agama. Robson berpendapat, kata “Santri ” berasal dari bahasa Tamil “Sattiri”
yang berarti orang tinggal dirumah miskin atau bangunan secara umum.
yang digunakan bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama di lembaga
pendidikan Islam tradisional di Jawa. Kata “Santri” mendapat awalan “pe”
dan akhiran “an”, sehingga menjadi “Pesantren”, yang berarti tempat para
santri menuntut ilmu. Mengenai asal usul kata “Santri”, banyak pendapat tentangnya, menurut Zamakhsyari Dhofier, bahwa Profesor Johns berpendapat, istilah “Santri”, berasal dari bahasa Tamil, “Sastri” yang berarti guru mengaji,
sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa “Santri” berasal dari bahasa India
“Shastri” yang berarti orang yang tahu buku-buku suci atau buku-buku
agama. Robson berpendapat, kata “Santri ” berasal dari bahasa Tamil “Sattiri”
yang berarti orang tinggal dirumah miskin atau bangunan secara umum.
Pesantren merupakan
sebuah lembaga pendidikan khas Indonesia yang menjadi tempat para santri mendalami pendidikan agama Islam. Dari masa ke masa pesantren terus melakukan pembaharuan agar
dapat tetap menunjukan eksistensinya di tengah gempuran global. Dalam berkehidupan sehari-hari, masyarakat
pesantren berpedoman pada ajaran agama dengan menekankan pada aspek moral dalam berinteraksi dan bergaul. Sehingga sikap dan perilaku
masyarakat pesantren akan terjaga dengan baik.
Menurut Mastuhu, pesantren
merupakan lembaga pendidikan
Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan
menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Sedangkan Abdullah (1995:3) menyatakan, bahwa pesantren merupakan pusat persemaian, pengalaman
sekaligus penyebaran ilmu-ilmu keislaman. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam untuk mendalami dan menyebarkan ilmu-ilmu keislaman
dan menekankan pada moral keagamaan sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
untuk mendalami dan menyebarkan ilmu-ilmu keislaman dan menekankan pada moral keagamaan sebagai pedoman hidup
sehari-hari.
B.
Landasan Pendidikan Pesantren
Menurut Muthohar
(2007:13) pesantren sebagai lembaga pendidikan, memiliki dasar yang cukup kuat untuk dikatakan
sebagai lembaga pendidikan. Seperti yang dikemukakannya bahwa “sebagai lembaga pendidikan Islam khas
Indonesia, posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan sub sistem pendidikan nasional. Karena itu, pendidikan pesantren
memiliki dasar yang cukup kuat, baik secara ideal, konstitusional maupun teologis. Landasan ideologis ini menjadi penting bagi pesantren,
terkait eksistensinya sebagai lembaga pendidikan yang sah, menyejarah dan penunjuk arah bagi semua aktivitasnya”.
Secara umum ada 3
landasan yang digunakan pesantren dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga
pendidikan, yaitu dasar ideologis, konstitusional dan teologis. Ketiga dasar ini menjadi satu kesatuan yang utuh dalam memperkokoh struktur pesantren sebagai
sebuah lembaga pendidikan yang tentunya diakui oleh Negara. Lebih jelas Muthohar (2007:14) menjelaskan
bahwa, setidaknya ada 3 landasan kelembagaan pesantren, yaitu:
1. Dasar ideal
pendidikan pesantren adalah falsafah Negara Pancasila, yakni sila pertama yang berbunyi:
Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini mengandung pengertian bahwa seluruh
bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau tegasnya harus beragama.
2. Dasar Konstitusional pendidikan pesantren
adalah pasal 26 ayat 1 dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 1 disebutkan
bahwa, Pendidikan Nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi
sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Selanjutnya pada pasal 2 dinyatakan, Satuan pendidikan formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
3. Sedangkan
4. Dasar
yang dipakai adalah Al-Quran dan Hadist. Dasar Al-Quran sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nahl ayat 125:
“Serulah manusia dengan jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik”.
Disamping itu,
pendidikan pesantren didirikan atas dasar tafaqquhfi- din, yaitu kepentingan umat untuk memperdalam ilmu
pengetahuan agama, dasar pemikiran ini relevan dengan firman Allah S.W.T: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu
pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali padanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya”. (QS. At-Taubah: 122). Ayat di atas menjiwai dan mendasari pendidikan pesantren, sehingga seluruh aktivitas keilmuan di dalam pesantren
pada dasarnya ditujukan untuk mempertahankan dan menyebarkan agama Islam.
Selain ayat-ayat
Al-Quran, dalam hadist Nabi juga banyak disebutkan landasan-landasan teologis yang mendasari aktivitas pesantren, misalnya Hadist
riwayat Imam Bukhari, “sampaikanlah ajaranku kepada orang lain walaupun hanya sedikit”. (HR. Bukhari). Serta Hadist riwayat Abu Daud dan Nasa’i: “Kamu pelajarilah kitab Allah dan kamu ikutilah
apa yang ada didalamnya”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Ayat Al-Qur’an dan
Hadist di atas merupakan perintah agama dan sekaligus menjadi dasar kewajiban mencari ilmu
pengetahuan dan mengajarkannya kepada orang lain walaupun hanya sedikit. Sehingga pada akhirnya, para agen pembaharu(agentofchange)
yang sesungguhnya akan lahir dari dalam rahim pesantren. Karena sesuai dengan tujuan pesantren
yaitu menciptakan kader ulama yang menjunjung tinggi agama namun tetap melek ilmu pengetahuan. Pada hakikatnya pesantren tidak akan bisa lepas
dari dasar utamanya sebagai lembaga pendidikan agama Islam, yaitu dasar teologisnya. Sejalan dengan pendapat Muthohar (2007:16) bahwa: “ keberadaan pesantren tidak lepas dari
motivasi teologis. Bagi kalangan pesantren, menjalankan ajaran Islam dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan adalah tugas sekaligus
kewajiban yang harus diemban manusia untuk menjalankan fungsi kekhalifahannya di dunia untuk mencari ridha-Nya. Dengan demikian,
pesantren memeranka dirinya sebagai model pendidikan yang‘alim secara intelektual dan cerdas secara spiritual.”
C.
Sejarah
Pendidikan Pesantren
Sejarah berdirinya
pesantren sering diidentikan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Salah satu
pendapat mengemukakan, ketika para pedagang muslim dari Gujarat sampai ke negeri kita, mereka menjumpai lembaga-lembaga keagamaan mengajarkan agama
Hindu. Kemudian setelah Islam tersebar luas ke penjuru Nusantara, bentuk lembaga keagamaan itu
tetap berkembang dan isinya diubah dengan pengajaran agama Islam, yang kemudian disebut pesantren (Mochtar Maksum, 1999: 10).
Pondok pesantren pada
masa penjajahan, mengalami tekanan yang amat berat. Hal ini terjadi karena pondok
pesantren memberikan pengajaran kepada para santrinya, tidak hanya tentang bagaimana mereka disiapkan
untuk menjadi alim ulama yang melek akan pengetahuan agama namun merekapun diajarkan tentang cinta tanah air dan
menanamkan jiwa nasionalisme. Hal tersebut menjadi sebuah kekhawatiran dan bahkan menjadi sebuah ancaman bagi kolonial Belanda pada saat
itu. Mereka tahu bahwa didalam pesantren para santri diajarkan tentang kekuatan yang sangat besar yang bersumber dari Al-Quran, yakni kekuatan
spiritual. Kekuatan spiritual para kyai dan santri yang amat besar dianggap mengancam eksistensi colonial Belanda.
Sehingga sangat tidak
heran apabila akhirnya ada seorang tokoh Belanda, Snouck Horgronje berusaha untuk menghancurkan
pesantren yang ia anggap sebagai sebuah ancaman besar. Untuk lebih mengenal Islam, ia pergi ke Mekah dan Madinah untuk mempelajari bahasa
Arab sehingga ia fasih dalam membaca dan menterjemahkan Alquran.
Sekembalinya dari
Arab, ia merubah namnya menjadi Hafi Abdul Ghofar untuk kemudian menikahi seorang anak
Bupati Jawa Barat. Semua masyarakat terpedaya dan menganggap bahwa ia adalah seorang muslim. Menurut Clifford Geertz (Mahpuddin
Noor, 2006: 13 ), mengatakan bahwa: “Sekembalinya dari negeri Arab ke Indonesia,
dengan memiliki kemampuan bahasa Arab serta memahami isi Al-Qur’an, ia melakukan langkah-langkah berikut:
1. Mengawasi perjalanan pondok pesantren dengan
ketat.
2. Memupuk serta membina adat istiadat ( tahayul,
bid’ah dan khurafat) hingga berkembang di tengah-tengah masyarakat.
3. Mengelompokan serta memilah-milah umat Islam,
terutama para kyai
pimpinan pondok pesantren.
4. Menjauhkan umat Islam dari kitab suci
Al-Qur’an, dan yang dibolehkan mengartikan Al-Qur’an hanyalah kyai dan santri.”
Upaya lain kolonial
Belanda, menawarkan bentuk pendidikan yang modern dalam performa sekolah, yang kemudian
sekolah-sekolah colonial Belanda berkembang menyaingi keberadaan pondok pesantren. Namun demikian, pondok pesantren tidaklah surut dari
permukaan, bahkan semakin berkembang. Apalagi pada saat tumbuhnya berbagai organisasi keagamaan yang berbasiskan pada masyarakat luas,
sekaligus menjadi angin segar bagi pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren,
karena organisasi tersebut mendukung eksistensi pondok pesantren. Mahpuddin Noor (2006: 15) mengatakan bahwa: “Pondok pesantren dengan charisma kyai sebagai figursentral, senantiasa diperhitungkan keberadaannya oleh pihak penguasa, dari mulai penjajahan kolonial Belanda hingga bangsa
ini merdeka. Terutama
oleh pihak penguasa dan para elit politik negeri ini. Sehingga, tak sedikit pondok pesantren yang
disanjung, diberikan bantuan dana oleh pihak-pihak tersebut, untuk kepentingan politik, memobilisasi massa, termasuk keberhasilan
program pembangunan yang dicanangkan oleh penguasa pada saat itu.”
Dalam perjalanan
sejarahnya, pondok pesantren pernah besar dan jaya di masa lalu, bahkan hingga saat ini. Pesantren
tumbuh dan berkembang bersama masyarakat Indonesia. Maka tidak heran, apabila pesantren bisA dikatakan sebagai lembaga pendidikan Islam khas
Indonesia.
D. Karakteristik Pendidikan
Pesantren
Karakteristik
atau ciri-ciri umum pondok pesantren adalah sebagai
berikut:
1.
Adanya kiai
Istilah
Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Kata Kyai
mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan
kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar
Kyai juga diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris
dan tombak. Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai
dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim
terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan
memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.
Kyai
berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan pesantren, sekaligus
sebagai pemimpin pesantren. Dalam kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak
tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri tauladan dan sekaligus pemegang
kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin
mengatakan bahwa peran kyai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman,
bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan
beramal dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan
masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa terbentuknya pola
berfikir, sikap, jiwa serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan
latar belakang kepribadian kyai.
2.
Adanya santri
Santri
merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren.
Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah
disediakan, namun ada pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah
disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang
telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.
Dalam
menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri
keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama antara santri
yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan mentaati peraturan yang ditetapkan
di dalam pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi
sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
3.
Adanya masjid
Masjid
merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap
sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam
praktek ibadah lima waktu, khutbah dan shalat Jum’at dan pengajaran kitab-kitab
Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Kedudukan
masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan
manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata
lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid
Quba’ didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW. tetap terpancar
dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan
Islam”.
4.
Adanya pondok atau asrama
Sebuah
pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di
mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau
lebih guru yang lebih dikenal dengan Kyai. Dengan istilah pondok pesantren
dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan ke-Islaman yang melembaga di
Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan untuk
kegiatan bagi para santri. Adanya pondok ini banyak menunjang segala kegiatan
yang ada. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain
biasanya berdekatan sehingga memudahkan untuk komunikasi antara Kyai dan
santri, dan antara satu santri dengan santri yang lain.
5.
Pengajaran
Kitab-kitab Klasik
Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab
klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu
mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap faham Islam tradisional. Karena
itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan faham
pesantren yang tidak dapat dipiah-pisahkan.
Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren
lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum
diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi
dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna
kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab
Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.
Sedangkan ciri-ciri khusus pendidikan pesantren
adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu
sintaksis Arab, morfologi arab,hukum islam, tafsir Hadis, tafsir Al-Qur’an dan
lain-lain.
Dalam penjelasan lain juga dijelaskan tentang
ciri-ciri pesantren dan juga pendidikan yang ada didalamnya, maka ciri-cirinya
adalah sebagai berikut:
a.
Adanya hubungan akrab antar santri
dengan kiainya.
b.
Adanya kepatuhan santri kepada kiai.
c.
Hidup hemat dan sederhana
benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren.
d.
Kemandirian sangat terasa
dipesantren.
e.
Jiwa tolong-menolong dan suasana
persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren.
f.
Disiplin sangat dianjurkan.
g.
Keprihatinan untuk mencapai tujuan
mulia. Hal ini sebagai akibat kebiasaan puasa sunat, zikir, dan i’tikaf, shalat
tahajud dan lain-lain.
h.
Pemberian ijazah, yaitu pencantuman
nama dalam satu daftar rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada
santri-santri yang berprestasi.
Ciri-ciri diatas menggambarkan pendidikan pesantren
dalam bentuknya yang masih murni (tradisional). Adapun penampilan pendidikan
pesantren sekarang yang lebih beragam merupakan akibat dinamika dan kemajuan
zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus, sehingga lembaga
tersebut melakukan berbagai adopsi dan adaptasi sedemikian rupa. Tetapi pada
masa sekarang ini, pondok pesantren kini mulai menampakan eksistensinya sebagai
lembaga pendidikan islam yang mumpuni, yaitu didalamnya didirikan sekolah, baik
formal maupun nonformal.
Dengan adanya tranformasi, baik kultur, sistem dan
nilai yang ada di pondok pesantren, maka kini pondok pesantren yang dikenal
dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern).
Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada
pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur
pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya:
1.
Perubahan sistem pengajaran dari
perseorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal
dengan istilah madrasah (sekolah).
2.
Pemberian pengetahuan umum disamping
masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab.
3.
Bertambahnya komponen pendidikan
pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
masyarakat, kesenian yang islami.
Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah)
sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu
yang nilainya sama dengan ijazah negeri.
E.
Unsur-Unsur
Pendidikan Pesantren
Mastuhu (2007:17)
mengelompokan unsur sistem pendidikan terdiri dari dua. Pertama, unsur organik, yaitu para
pelaku pendidikan: pimpinan, guru, murid dan pengurus. Kedua, unsur an-organik, yaitu: tujuan, filsafat
dan tata
nilai, kurikulum dan sumber belajar, proses kegiatan belajar mengajar, penerimaan murid dan tenaga kependidikan,
teknologi pendidikan, dana, sarana, evaluasi dan peraturan terkait lainnya di dalam mengelola sistem pendidikan.
Adapun para peneliti
lain seperti Dawam Raharjo (1985) secara sederhana mengelompokan unsur-unsur pesantren
menjadi tiga, yakni:
1. Aktor atau pelaku, meliputi: kyai, ustadz,
santri dan pengurus.
2. Sarana perangkat keras, meliputi: masjid, rumah
kyai, rumah dan asrama ustadz/guru, pondok atau asrama santri, sarana
dan prasarana
fisik lainnya.
3. Sarana perangkat lunak, meliputi: tujuan,
kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, cara pengajaran, perpustakaan, pusat dokumentasi dan penerangan, keterampilan dan
alat-alat pendidikan lainnya.
F.
Tujuan
Pendidikan Pesantren
Tujuan pendidikan
pesantren disampaikan oleh Mastuhu (2007:13) bahwa tujuan
pendidikan pesantren adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu
kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat dan berkhidmat kepada masyarakat, mampu berdiri
sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama dan menegakkan Islam dan kejayaan umat, mencintai ilmu dalam rangka
mengembangkan kepribadian Indonesia.
Tujuan pendidikan
pesantren secara umum adalah menciptakan dan menyiapkan para kader yang berkepribadian
muslim yang selalu menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup sehari-hari namun tidak meninggalkan peran ilmu pengetahuan. Selain itu pesantren memiliki itikad untuk
tidak hanya memberikan penjelasan-penjelasan dalam rangka memperkaya pengetahuan para santri, namun untuk meninggikan moral kehidupan
bermasyarakat, menghargai harkat dan martabat sesama manusia, mengajarkan bagaimana cara berperilaku dan memiliki akhlak yang baik dan
yang paling utama adalah mengajarkan pada santri untuk tetap hidup sederhana.
G.
Fungsi
Pendidikan Pesantren
Setiap lembaga tentu
memiliki fungsinya masing-masing. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia, sudah barang tentu memiliki fungsinya tersendiri.
Fungsi yang paling utama bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bergerak dalam hal pendidikan agama. Pesantren dan Islam
tidak dapat dilepaskan dari paradigma masyarakat Indonesia dan itu sudah terpelihara sejak dahulu hingga saat ini. Menurut Ahmad Muthohar (2007:21) terdapat tiga
fungsi pesantren. Sebagaimana dikatakan bahwa: “terdapat tiga fungsi pesantren, antara lain
lembaga pendidikan, lembaga sosial dan penyiaran agama. Berangkat dari ketiga fungsi tersebut, pesantren memiliki
integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitar dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum”. Hal ini menjadikan pesantren sebagai komunitas
khusus yang ideal dalam bidang moral keagamaan. Ketiga fungsi tersebut, merupakan satu kesatuan yang utuh. Namun,
fungsi sebagai lembaga pendidikan menjadi ujung tombak kehidupan pesantren.
H.
Tipologi
Pesantren
Seiring dengan
perkembangan zaman, pesantren sudah barang tentu perlu melakukan perubahan sesuai dengan
tuntutan zaman. Pesantren terus melakukan perubahan guna tetap eksis di tengah arus globalisasi. Perubahan bentuk pesantren bukan berarti pondok pesantren
telah hilang ciri khasnya. Menurut Mahpuddin Noor (2006: 45), secara umum ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang di masyarakat,
yaitu:
1. Pondok pesantren Salafiah, yaitu
menyelenggarakan pengajaran Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam, serta kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung
sejak awal pertumbuhannya. Pesantren seperti ini biasa disebut pesantren tradisional.
2. Pondok Pesantren khalafiah, yaitu pondok
pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal
(sekolah dan madrasah). Pesantren ini biasa disebut sebagai pesantren modern.
Sejalan dengan
pendapat tersebut Ghazali (2002: 15) mengatakan bahwa secara faktual ada beberapa tipe pondok
pesantren yang berkembang dalam masyarakat, meliputi:
1. Pondok Pesantren Tradisional
Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan
bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang di tulis oleh ulama’ pada abad ke 15 dengan menggunakan bahasa arab.
Pola pengajarannya dengan menerapakan sistem “halaqah” yang dilaksanakan di masjid atau surau.
2. Pondok Pesantren Modern
Pondok pesantren ini merupakan pengembangan
tipe pesantren karena orietasi belajarannya cenderung mengadopsi seluruh system belajar secara klasik dan meninggalkan sistem
belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama nampak pada bangunan kelas-kelas belajar baik dalam bentuk
madrasah maupun sekolah.
3. Pondok Pesantren Komprehensif
Sistem pesantren ini disebut komprehensif
merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang
tradisional dan yang modern.
I.
Pola Pendidikan
Pesantren
Pola pendidikan dan
pengajaran di pondok pesantren erat kaitannya dengan tipologi pondok pesantren. Berangkat dari pemikiran dan kondisi pondok pesantren yang ada, maka ada beberapa metode pembelajaran pondok pesantren:
1. Metode
Sorogan
Metode
sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih
menitikberatkan pada pengembanagn perseorangan (individu) di bawah bimbingan
seorang ustadz atau kiai. Metode ini diselenggarakan pada ruang tertentu di
mana disitu tersedia tempat duduk seorang kiai atau ustadz, kemudian di depannya
terdapat bangku pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap
santri-santri lain, baik yang mengaji
kitab yang sma maupun berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang
diajrakan oleh kiai atau ustadz kepada temannya sekaligus mempersiapkan diri
menunggu giliran untuk dipanggil.
Metode
pembelajaran ini termasuk sangat bermakna, karena santri akan merasakan
hubungan yang khusus ketika berlangsung kegiatan pembacaaan kitab oleh dirinya
sendiri di hadapan kiai atau ustadznya. Mereka tidak saja senantiasa dapat
dibimbing dan diarahkan cara pembacaanya tetapi juga dapat diketahui dan
dievaluasi perkembangan kemampuannya. Dalam situasi demikian, tercipta pula
komunikasi yang baik antar santri dengan kiai atau ustadznya sehingga mereka
dapat meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa santri maupun kiai atau
ustadznya sendiri. Hal ini membawa pengaruh baik karena liai semakin tumbuh
kharismanya, santri semakin simpati sehingga ia berusaha untuk selalu mencontoh
perilaku gurunya.
2. Metode
Bandongan
Metode
bandongan disebut juga dengan metode wetonan. Metode bendongan dilakukan oleh
seorang kiai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri, untuk
mendengarkan dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Seorang kiai
atau ustadz dalam hal ini membaca,
menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas teks-teks kitab berbahasa
Arab tanpa harakat (gundul). Sementara itu santri dengan memegang kitab yang
sama, masing-masing melakukan pendhabithan harakat, pencacatan symbol-simbol
kedudukan kata, arti-arti kata langsung dibawah kata yang dimaksud, dan
keterangan-keterangan lain yang dianggap penting dan dapat membantu memahami
teks. Posisi para santri pada pembelajaran dengan menggunakan metode ini adalah
melingkari dan mengelilingi kiai atau ustadz sehingga membentuk halaqah
(lingkaran).
Dalam
penerjemahannya kiai atau ustadz dapat
menggunakan berbagi bahasa yang menjadi bahasa utama para santrinya.
3. Metode
Musyawarah
Metode
musyawarah atau dalam bahasa lainb bahtsul
masa’il merupakan metode pembelajarn yang lebih mirip dengan metode diskusi
atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh
seorang kiai atau ustadz atau mungkin juga santri senior untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan
yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para santri dengan
bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan pendapatnya. Dengan demikian, metode
ini lebih menitikberatkan pada kemampuan perseorangan dan lam menganalisis dan
memecahkan suatu persoalan dengan argument logika yang mengacu pada kitab-kitab
tertentu. Musyawarah juga dilakuakan untuk membahas materi-materi tertentu dari
sebuah kitab yang dianggap rumit untuk
memahaminya. Musyawarah pada bentuk kedua ini bisa digunakan oleh santrio
tingkat menengah untuk membedah topic materi tertentu. Untuk melakukan
pembelajaran dengan mengguanakn metode ini, kiai atau ustadz biasanya
mempertimbangakan kondisi peserta, apakah awal, menengah atau tinggi selain
juga topic atau persoalan (materi) yang dimusyawarahkan.
4. Metode
Pengajian Pasaran
Metode
pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi
(kitab) tertentu pada seorang ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri
dalam kegiatan yang terus menerus (marathon) selama tenggang waktu tertentu.
Tetapi umumnya pada bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari, atau
terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang diaji. Pada
kenyataanya, metode ini lebih miriop dengan metode bandongan, tetapi pada
metode ini target utamanya adala “selesai”.
Pengajian
pasaran banyak dilakukan di pesantren-pesantren tua di Jawa dan dilakukan oleh
kiai-kiai senior di bidangnya.titik beratnya pada pembacaan, bukan pada
pemahaman sebagaimana metode bandongan. Sekalipun dimungkinkan bagi para pemula
untuk mengikuti pengajian ini, namun pada umumnya pesertanya terdiri dari
mereka-mereka yang telah belajar atau membaca kitab tersebut sebelumnya.
Kebanyakan pesertanya justru para kiai atau ustadz yang datang dari tempat-tempat
lain yang sengaja datang untuk itu. Dengan kata lian, pengajian ini lebih
banyak mengambil berkah atau ijazah dari kiai-kiai yang dianggap senior. Dalam
perspektif lebih luas, pengajian pasaran ini dapat dmaknai sebagai proses
pembentukan jaringan pengajaran kitab-kitab tertentu diantra pesantren
–pesamntren yang ada.
5. Metode
Hapalan (Muhafadzah)
Metode
hapalan ini adalah kegiatan belajar santri dengan cara menghapal suatu teks
tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan kiai atau ustadzm parasantri diberi
tugas untuk menghapal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu, hapalan yang
dimilki santri ini kemudian dihafalkan di hadapan kiai taua ustadz secara
periodic atau insindental tergantung kepada petunjuk gurunya tersebut.
6. Metode
Demonstrasi/Praktek Ibadah
Metode
Demonstrasi/Praktek Ibadah adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan
memperagakan (mendemonstrasikan) suatu ketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah
tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan
bimbingan ustadz.
7. Metode
Rihlah Ilmiyah
Metode
Rihlah Ilmiyah (study tour) adalah kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan
melalui kegiatan kunjungan (perjalanan) menuju ke suatu tempat tertentu dengan tujuan untuk mencari ilmu.
Kegiatan kunjungan yang bersifat keilmuan ini dilakukan oleh para santri menuju
ke suatu tempat untuk menyelidiki dan mempelajarai suatu hal dengan bimbingan
oleh ustadz.
8. Metode
Muhawarah/Muhadatsah
Metode
muhawarah adalah latihan
bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pondok pesantren kepada
para santri selama mereka tinggal di pondok pesantren. Para santri diwajibkan
untuk bercakap-cakap baik dengan sesame santri maupun dengan para kiai atau
ustadz dengan menggunakan bahasa Arab pada waktu-waktu tertentu untuk para
santri pemula. Kepada mereka diberikan perbendaharan kata-kata bahasa Arab yang
sering dipergunakan untuk dihapalkan sedikit demi sedikit sehingga mencapai
target yang telah ditentukan untuk jangka waktu sekian, setelah para santri
telah menguasai kosa kata bahasa Arab, kepada mereka diwajibkan untuk
menggunakannya dalam percakapan-percakan sehari-hari. Pada pesantren metode
latihan bercakap-cakap dengan bahasa Arab ini hanyalah pelajaran tambahan bukan
pelajaran pokok.
9. Metode
Mudzakarah
Metode
Mudzakarah atau dalam istilah lain bahtsul
masa’il merupakan pertemuan ilmiah yang membahas masalah diniyah seperti
ibadah aqidah dan masalah agama pada umumnya. Metode ini sesungguhnya tidak
jauh berbeda dengan metode musyawarah. Hanya bedanya terletak pada pesertanya,
pada Metode Mudzakarah pesertanya adalah para kiai atau para santrinya tingkat
tinggi.
10. Metode
Riyadhah
Metode
Riyadhah merupakan salah satu metode pembelajaran
di pesantren yang menekankan pada olah batin untuk mencapai kesucian hati para
santri dengan berbagai macam cara berdasarkan petunjuk dan bimbingan kiai.
Pembelajaran dengan metode ini sendiri sesungguhnya tidak ditujukkan untuk
penguasaan akan pengetahuan atau ilmu tertentu, tetapi sebagai sarana untuk
pembentukan dan pembiasaan sikap serta mental santri agar dekat kepada Tuhan. Metode
Riyadhah ini biasanya dipraktikan pada pesantren-pesantren yang sebagian
kiainya memiliki kecenderungan dan perhatian yang cukup tinggi pada ajaran
tasawuf atau tarekat.
J.
Kurikulum
Pesantren
Kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan
lembaga pendidikan dalam mewujudkankan tujuan yang diidamkan. Dengan demikian, kurikulum melingkupi: tujuan, materi pelajaran,
metode dan evaluasi. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga telah memuat hal-hal tersebut.
Istilah “kurikulum” dalam pendidikan
pesantren dapat mengalami perluasan atau pengembangan makna, sejalan dengan
dinamika pesantren di tengah-tengah proses transformasi masyarakat yang
bergerak dari pola kehidupan tradisional menuju masyarakat modern (maju). Proses
perkembangan ini telah membawa corak pendidikan pesantren yang semakin beragam
dewasa ini. Dari sudut ini pemaknaan terhadap arti dan fungsi kurikulumnyapun
menjadi turut beragam.
Pada dasarnya pesantren didirikan untuk
kepentingan moral, akan tetapi dengan adanya kritikan-kritikan, banyak pihak
yang mengharapkan pesantren juga mampu mengikuti perkembangan zaman. Orientasi
pendidikan pesantren perlu diperluas, sehingga menuntut dilakukannya
pembaharuan kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan zaman dan pembangunan
bangsa. Melalui usaha-usaha pembaharuan kurikulum, pesantren diharapkan mampu
untuk menemukan kembali identitas dirinya di tengah-tengah kehidupan masa kini.
Agaknya, pengabdian pesantren menurut tuntutan berbagai kalangan tidak hanya
eksis untuk menopang pembangunan bangsa dalam bidang moral, tetapi juga dalam
bidang fisik material. Karena itu, kurikulum yang juga di pandang sebagai
refleksi pemikiran pakar pendidikan di lembaganya dapat ditinjau kembali untuk
disesuaikan menurut tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat. Amatlah wajar jika
pesantren berada pada proses pencarian bentuk kurikulum ideal untuk
mempertahankan kembali “jati dirinya” di tengah-tengah kehidupan masyarakat
modern ini.
Pemikiran
kurikulum pesantren antara lain dicirikan melalui pemaduan antara kutub kiai
dan santri. Kurikulum ini tidak hanya ditujukan untuk kepentingan kiai dalam
mengembangkan aktivitas pengajaran, tetapi juga menekankan untuk kepentingan
santri dalam aktivitas belajarnya. Dari segi lain, pemikiran kurikulum
pesantren dalam kehidupan lingkungannya seperti “ikan dengan air” dalam arti;
menyatu, harmonis, dan konsisten. Kurikulum tidak dimaknai sesuatu yang asing
dalam konteks kehidupan lingkungannya seperti “air dengan minyak” dalam arti;
tidak dapat menyatu, harmonis dan konsisten di dalamnya.
Melihat kepada makna kurikulum pesantren
yang demikian, maka pada awalnya setiap kurikulum selalu terpadu dengan budaya
dan kehidupan lingkungannya. Dimaksudkan dengan pengertian kurikulum di sini
tidak hanya terbatas pada “written
curriculum” tetapi juga yang bersifat “hidden
curriculum”. Sebagai konsekuensinya, pihak pengembang dan pelaksana
kurikulum harus bekerja secara ekstra untuk memadukan kembali kurikulum itu
sesuai dengan konteks budaya dan kehidupan lingkungannya.
Dalam pasca modern ini tuntutan terhadap
perluasan makna pendidikan pesantren semakin mendesak, sehingga
ketidaksinambungan di dalam kurikulumnyapun semakin besar pula terjadi. Akan
tetapi masalah ini dapat diantisipasi atas bantuan perubahan pemikiran terhadap
kurikulum, ide-ide, serta praktek-praktek baru kurikulum yang dikembangkan
sebagai sebuah sistem pendidikan pesantren hingga dapat beradaptasi untuk
memperkuat tradisi dan nilai spiritual pesantren.
K.
Materi
Pembelajaran Pesantren
Pola
pembelajaran dalam pesantren sangat beragam antara satu pesantren dengan
pesantren lainnya., tetapi
semuanya memiliki fungsi yang sama yaitu mendidik dan mengajarkan ilmu-ilmu
agama Islam sebagai upaya mewujudkan manusia yang tafaquh fi al-din. Walaupun demikian beberapa pesantren di
Indonesia mengajarkan mata aji yang sama yang dikenal dengan ilmu-ilmu
keislaman yang meliputi al-Qur’an (tajwid, tafsir dan ilmu tafsir), al-Hadist,
Aqidah/Tauhid, Akhlak/Tasawuf, Fiqih dan Ushul Fiqh, bahasa arab(Nahwu, Sharaf,
Mantiq dan Balaghah) serta Tarikh (Sejarah Islam).
Mata
aji ilmu-ilmu ini diajarkan di pesantren melalui kitab-kitab standar yang
disebut al-kutub al-qadimah, karena
kitab-kitab tersebut dikarang lebih dari seratus tahun yang lalu. Ada juga yang
menyebutkan al-kitab al-shafra atau
kita kuning, karena biasanya kitab-kitab itu dicetak di kertas berwarna kuning.
Ciri lain kitab yang diajarkan di pesantren adalah berhuruf Arab gundul (huruf
Arab tanpa harakat atau syakal). Diyakini bahwa al-kutub al-qadimah itu jumlahnya sangat
banyak, namun yang dimiliki oleh para kiai dan diajarkan di pesantren di
Indonesia adalah kitab-kitab yang umumnya merupakan karya ulama-ulama madzab
Syafi’i.
1. Penjenjangan
materi pengajian
Tidak seluruh kitab
keIslaman diajarkan kepada santri. Kebanyakan sebagai pengkayaan bahan ajai
hanya merupakan bacaaan ustadz dan kiai. Untuk para santri, kitab yang
diajarkan disampaikan secara bertingkat, yakni tingkat pemula (awaliyyah), tingkat menengah (wustha), dan untuk tingkattinggi (‘aly).
Tingkat ini juga ditentukan berdasarkan pola penyajian kitab itu sendiri yaitu
pola matan, syarah, dan khaisyiyah.
a. Matan
adalah kitab yang meyajikan materi pokok awal baik dengan cara esai (natsr)maupun dengan sair (syi’ir).
b. Syarah merupakan
kitab ‘komentar’ dari kitab matan
c.
Khaisyiyah
merupakan komentar dari komentar
2. Mata
aji pembelajaran di pesantren
Pembelajaran di
pesantren terdiri dari sejumlah mata ajai, yang pada umumnya menggunakan sumber
yang berbahasa Arab. Secara umum, tujuan pengajian dan kitab-kitab yang
diajarkan berbeda satu sama lain tergantung pada jenis mata aji yang
bersangkutan. Mata aji itu meliputi :
a. Aqidah
(Tauhid)
Aqidah
atau tauhid bertujuan menanamkan keyakinan tentang ketauhidan Allah dan rukun
iman yang lain kepada santri.
b. Tajwid
(Baca al-Qur’an)
Pengajaran
baca Al-Qur’an yang ditekankan oada beberapa hal, seperti :
1) Kemampuan
mengenali dan membedakan huruf-huruf al-Qur’an (huruf hijaiyyah) secara benar.
2) Kemampuan
untuk mengucapkan/melafalkan kata-kata dalam al-Qur’an dengan fasih sesuai
dengan makhraj (tempat keluarnya
huruf-huruf hijaiyyah dari rongga
mulut).
3) Mengerti
dan memahami hokum-hukum atau patokan-patokan pembecaan al-qur’an.
c. Akhlak (Tasawuf)
Tujuan pembelajaran akhlak/tasawuf
adalah membentuk santri agar memiliki kepribadian muslim yang berakhlaq karimah baik dalam hubungannya dengan Allah atau hablum minallah (hubungan vertical)
maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia atau hablum minannas (hubungan horizontal) serta dalam hubungannya
dengan alam sekitar atau makhluk lain.
d. Bahasa
Arab
Mata aji yang biasanya mendapat porsi
cukup penting, sehingga selalu ada di setiap pesantren adalah ilmu “alat” yakni
Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Kadangkala dimasukan ke dalamnya Manthiq (Logika).
Tujuan mata aji ini adalah agar para santri mampu memahami al-Qur’an dan
al-Hadists serta kitab-kitab berbahasa Arab.
e. Fiqh
Materi pelajaran Fiqh atau syari’at
Islam biasanya dibagi menjadi : ibadah (
ibadah dalam arti sempit), muamalat (tentang
kerjasama antar manusia), munakahat (tentang
pernikahan), dan jinayat (tentang
pelanggaran dan pembunuhan). Pembelajarn materi ini terbagi pada tingkat
permulaan, menengah dan tinggi. Ibadah
biasanya diberikan pada tingkat permulaan, sedangkan mu’amalat diberikan pada tingkat menengah. Tingkat tinggi mempelajari
masalah munakahat dan jinayat.
f. Ushul
Fiqh
Selain Fiqh, pesantren juga memberikan
mata aji Ushul Fiqh. Ilmu ini berkaitan dengan dasar-dasar dan metode untuk menarik sebuah hokum (istinbath). Fiqh pada tataran tertentu
adalah produk, prosesnya dicakup dalam Ushul Fiqh.
g. Al-Qur’an
(Tafsir)
Secara garis besar tafsir terbagi
menjadi 2 yaitu Tafsir bi al-ra’yi (tafsir dengan rasio) dan Tafsir bi
al-ma’tsur (tafsir yang menitikberatkan pada pengguanaan ayat-ayat lain, hadits
Nabi dan pendapat sahabat). Dalam pengajaran tafsir, penekanan utama deberikan
pada :
1) Kemampuan
mengetahui kedudukan suatu kata dalam struktur kalimat (I’rab) serta mengetahui
dan membedakan makna mufradat (pengertian kata-kata) ayat-ayat al-Qur’an baik
ditinjau dari segi morfem (sharaf) maupun persamaan makna katanya (muradif).
2) Asbabun
nuzul, makkiyah-madaniyah serta nasikh dan mansukh suatu ayat.
3) Kandungan
utama ayat itu secara tekstual maupun kontekstual sehingga santri menemukan
relevansi ayat itu dalam realitas kehidupan.
4) Perbandingan
penjelasan makna ayat-ayat al-Qur’an dengan kitab tafsir lain.
5) Pada
beberapa pesantren tertentu kitab tafsir yang dibaca ditekankan pada kitab
tafsir yang bercorak hokum (tafsir ahkam).
h. Ilmu
Tafsir
Tidak banyak pesantren yang mengajarkan
ilmu Tafsir, kecuali pada pesantren-pesantren yang memiliki kekhususan
al-Qur’an. Ilmu ini bermanfaat untuk mengetahui tentang al-Qur’an dan sangat
berguna sebagai alat bantu dalam menafsurkan ayat-ayat al-Qur’an.
i. Hadist
Pengajian hadits pada tingkat awal biasanya
bertujuan untuk memperkenalkan hadits secara tidak langsung, lebih ditonjolkan
pada kandungan materinya sehingga yang diajarkan adalah hadits-hadits pendek.
Konsentrasi pengajiannya terpusat pada matan dengan pembahasan yang sederhana,
sesuai dengan kemampuan santri pada tingkat ini. Pada tingkat wustha perhatian kepada sanad
hadits mulai ditekankan, begitu juga
terhadap rijal al-haditsnya dengan
tetap memberikan perhatian pada kandungan matan. Pada tingkat ‘Aly, pengajian hadits benar-benar telah
memasuki tahap lengkap, yang meliputi pengetahuan tentang sanad dan variasi
sanadnya, sosok dan karakter perawinya, cara periwatannya serta matan dan
variasinya, berikut asbab al-wurudnya
dan materi kandungannya.
j. Ilmu
Hadists
Beberapa pesantern baru mengajarkan Ilmu
Hadits pada tingkat menengah. Tujuan pengajian ilmu hadits di pesantren pada
tingkat menengah dan tingkat tinggi adalah agar para santri mengetahui seluk
beluk Hadits, dari mulai posisinya sebagai sumber hokum, sejarah penulisannya,
kualitas dan jenis-jenisnya yang baik dilihat dari segi matan, sanad, atau
keduanya, ktab-kitabnya, perawi-perawinya dan seterusnya. Pada tingkat tinggi,
biasanya juga ditambah dengan ketrampilan takhrij
al-Hadits, yaitu ketrampilan untuk menetapkan metode-metode yang ada.
Dengan kemampuan takhrij ini
diharapkan santri dapat melakukan kajian mandiri mengenai status dan kualitas
hadits.
k. Tarikh
(Sejarah Islam)
Tujuan dari pembelajaran Tarikh adalah untuk mengenal secara
kronologis pertumbuhan dan perkembangan umat Islam semenjak masa Rasullullah
hingga masa kehidupan Turki Utsmani. Pada tingkat tinggi, materi biasanya
dimulai sejak awal hingga masa temporer, namun tekanannya tidak terbatas pada
fakta sejarah, namun menjangkau makna di balik fakta itu.
L. Prinsip Pendidikan Pesantren
Prinsip-prinsip yang
ada di dalam lingkungan pesantren merupakan ciri khas dari pesantren itu sendiri. Pesantren akan selalu memegang teguh prinsip-prinsip yang
telah tumbuh didalam lingkungan pesantren. Menurut Mastuhu (2007: 21) pesantren memiliki beberapa prinsip, yaitu:
a. Teosentris
b. Sukarela dan mengabdi
c. Kearifan
d. Kesederhanaan
e. Kolektivitas
f.
Mengatur kegiatan bersama
g. Kebebasan terpimpin
h. Mandiri
i.
Mengamalkan ajaran-ajaran Islam
j.
Pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi
k. Tanpa ijazah
l.
Restu kyai
Namun saat ini ada
beberapa perubahan dalam prinsip pesantren. Salah satunya adalah bahwa kebanyakan pesantren saat ini, terutama pesantren modern telah memberikan
ijazah pada para santrinya yang telah lulus dalam pembelajaran selama nyantri. Hal itu dilakukan karena pesantren modern menyadari
bahwa ijazah sangat diperlukan para santri di luar lingkungan pesantren, terutama sebagai syarat utama dalam hal mencari pekerjaan.
M. Strategi Pendidikan Pesantren
Strategi pengembangan pesantren antara lain:
1.
Peningkatan layanan pendidikan
2.
Perluasan dan
pemerataan pendidikan
3.
Peningkatan mutu dan
layanan pendidikan
4.
Pengembangan sistem
dan manajemen pendidikan
5.
Pemberdayaan
kelembagaan
Strategi pendidikan apa pun bentuknya, baik dalam frame pendidikan umum
atau pendidikan pesantren merupakan sebuah idealisme. Suatu cita-cita luhur
(idealisme) sangatlah sulit dicapai apabila tidak dikelola dengan strategi
tertentu. Lembaga pendidikan pesantren memerlukan suatu strategi yang bermutu,
supaya cermat memahami kebutuhan kelembagaan secara kekinian, dan mampu pula mengantisipasi
kebutuhan lain yang strategis di masa depan. Lembaga pendidikan pesantren
apabila mengabaikan hal tersebut, maka dimungkinkan akan terjadi kemandegan (stagnasi)
tertentu, atau berada dalam kondisi “lâ yamûtu wa lâ yahya” (tidak hidup,
tapi juga tidak mati). Salah satu strategi yang ditempuh adalah menggunakan
metode SWOT (Strength–Weakness–Opportunities–Threat).
Sebagai upaya menghasilkan temuan yang realistis untuk ditindaklanjuti, di
samping menerapkan metode SWOT dalam mengevaluasi kinerja lembaga
pendidikan pesantren juga sangat dibutuhkan kejujuran para pengelola dan stakeholder.
Dimensi kejujuran adalah sesuatu yang sangat mahal, sebab walaupun lembaga
pendidikan pesantren dikenal sebagai lembaga berbasis ajaran Islam, belum tentu
mental kejujuran dapat tumbuh berkembang secara baik dan merata. Metode SWOT
bisa menjadi teropong dalam membedah secara transparan keberadaan lembaga
apa adanya.
Segi Strength (Aspek Kekuatan/Kelebihan)
Lembaga pendidikan pesantren memiliki matra plus antara lain:
1.
Pandangan pesantren
bahwa manusia dilahirkan menurut fithrah masing-masing, yang di dalamnya
terdapat daya-daya positif (Ilâhiyyah) yang harus dikembangkan sekaligus
juga mencegah timbulnya daya-daya negatif (syaythâniyyah).
2.
Pandangan bahwa tugas
melaksanakan pendidikan merupakan ibadah pada Allah Swt, sehingga dalam
menjalankan proses belajar-mengajar seyogyanya dilakukan secara ikhlas dan
semata-mata hanya mengharap ridlâ (restu atau perkenan) dari Allah Swt.
3.
Hubungan yang baik dan
saling menghormati antara murid dan guru, bahwa seorang murid tidak akan menjadi
manusia yang baik dan pandai tanpa guru, sedangkan sang guru dalam melaksanakan
tugasnya berprinsip sebagai hamba yang sedang mengemban amanat dari Allah SWT.
4.
Pesantren adalah
tempat mencari ilmu dan mengabdi bukan sebagai tempat mencari ijazah, kalau pun
dalam pengabdian itu kemudian diperoleh selembar ijazah, itu tak lebih sebagai
kenang-kenangan yang logis yang bukan menjadi target atau tujuan utama.
5.
Metode belajar model halaqah,
sorogan, dan bandongan yang bermuatan kewajiban menghafal.
6.
Nilai-nilai pendidikan
dengan sistem asrama
7.
Pandangan hidup jangka
panjang dan menyeluruh, bahwa bagi siapa pun yang benar-benar beriman pada
Allah Swt. akan selalu optimis dalam menjalani kehidupan yang terkadang amat
misterius
Ketujuh matra plus pada
pendidikan pesantren tidak dapat berkembang dan berdinamika secara baik dan
berkesinambungan apabila tidak diapresiasi dalam kerangka strategis. Hal itu
harus dinilai atau dipandang sebagai suatu kekuatan atau kelebihan yang perlu
dipertahankan secara terencana dan sistematis, dan kalau perlu “dipromosikan”. Matra
plus yang berbentuk tujuh nilai universal itu sebetulnya telah mampu
mencetak sejumlah lulusan atau alumni dan diduga prosentase terbesarnya adalah
telah mampu mencapai prestasi tertentu. Sejumlah alumni tersebut alangkah
bagusnya jika dicatat secara rapi dan lengkap dengan curriculum vitae mereka.
Catatan rapi itu dapat digunakan sebagai data untuk mengetahui grafik turun
naiknya kualitas alumni. Angka-angka tersebut kelak menjadi aspek penting dalam
“mempromosikan” kelebihan lembaga. Data alumni tersebut merupakan salah satu
produk yang dihasilkan dari penggunaan metode Strength.
Segi Weakness (Aspek Kelemahan)
Lembaga pesantren di samping memiliki tujuh macam aspek kekuatan atau
kelebihan, juga memiliki enam aspek kelemahan dalam kategori matra-matra
minus. Aspek kelemahan atau matra minus yakni:
1.
Pandangan bahwa ilmu
adalah hal yang sudah mapan dan dapat diperoleh melalui barokah kiai.
2.
Pandangan yang tidak
kritis yang menyatakan bahwa setiap yang diajarkan oleh kiai, ustadz dan kitab
kuning diterima sebagai kebenaran final yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
3.
Pandangan bahwa
kehidupan ukhrâwi (akhirat) paling penting, sedangkan kehidupan duniawi
(dunia pra-akhirat) dipandang tidak (kurang) penting.
4.
Metode belajar dengan
menghafal dan teori-teori pemikiran tradisional yang diterapkan untuk semua
ilmu pengetahuan apa pun yang diajarkan di dalamnya.
5.
Kepatuhan mutlak
kepada kiai, guru dan kehidupan kolektif (asrama) yang tidak diimbangi dengan
kebebasan mengembangkan potensi jati diri (individualitas).
6.
Pandangan hidup fatalistis
yang bersikap menyerahkan nasib diri kepada keadaan apa adanya.
Persoalannya adalah bagaimana metode yang terbaik untuk mengevaluasi keenam aspek itu. Sebab, jika salah memilih
cara tidak tertutup kemungkinan ada pihak pengelola yang tersinggung, sehingga
justru akan membuat problematika baru yang seharusnya tidak terjadi. Salah satu
cara atau mekanisme mengevaluasi enam aspek kelemahan itu ialah melalui musyawarah
lengkap (quorum) segenap kiai, para pengurus, pengelola, dan stakeholder
yang mengacu kepada AD/ART lembaga pendidikan pesantren itu. Sebagian besar
stakeholder seringkali tidak mengenal atau tidak mendapatkan informasi
lengkap tentang detail-detail AD/ART lembaga, sehingga aturan main pengelolaan
lembaga juga tidak berperan sebagai rambu-rambu normatif yang dipatuhi oleh
semua pihak. Otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan atau kebijakan dalam
musyawarah bukan orang perorang, tetapi
suara aklamasi para stakeholder.
Segi Opportunities (Peluang/Kesempatan)
Lembaga pendidikan pesantren dengan menggunakan metode yang ketiga ini
dapat mencatat sekian peluang atau kesempatan penting yang perlu digarap dan
diwujudkan secara terencana, yaitu: Pertama, kewibawaan kiai sebagai
figur pemimpin umat yang bertipe jujur dan ikhlas dapat dijadikan modal
publikatif untuk meyakinkan semua pihak untuk menyekolahkan anaknya ke lembaga
pendidikan pesantren. Kedua, perilaku tidak bermoral yang sering terjadi
di sekolah-sekolah umum di luar lembaga pendidikan pesantren merupakan momentum
yang baik bagi lembaga ini untuk menawarkan konsepsi dan sistem pendidikan yang
siap mencetak anak didik yang bermoral, religius, berpengetahuan luas, serta bermental
percaya diri (confidence) dalam menjalani kehidupan yang majemuk dan kompetitif,
sehingga mereka bisa terhindar dari tragedi menjadi seorang pengangguran.
Ketiga, temuan-temuan sains teknologi
yang semakin canggih dan beraneka macam kegunaannya bagi pola kehidupan modern,
lembaga pendidikan pesantren harus bisa memanfaatkan sebagai wahana atau
instrumen meningkatkan
mutu dan kreativitas santri, guru, serta seluruh SDM-nya. Keempat, pemberdayaan
kualitas SDM juga memerlukan kerjasama (networking) dengan lembaga lain
yang bonafide, baik berbentuk beasiswa bagi santri berprestasi untuk
berstudi S1, S2, atau S3 di luar negeri atau di dalam negeri, maupun berbentuk
pelatihan-pelatihan penting yang insidental dan tidak periodik.
Segi Threat (Hambatan/Ancaman)
Beberapa sektor di luar lembaga pendidikan pesantren termasuk kategori sebagai
hambatan, ancaman, atau tantangan yang memerlukan respons elegan, supaya secara
kelembagaan tidak menimbulkan efek samping dalam upaya meningkatkan mutu
lembaga itu sendiri. Beberapa sektor yang dimaksud, yaitu: Pertama, sektor
sosial. Masyarakat yang terdidik prosentasenya diduga semakin besar karena
semakin banyak yang tamat S1, tampaknya mulai cenderung mengubah model
masyarakat paguyuban sebagai tradisi menuju model masyarakat patembayan.
Struktur sosial umat dalam masyarakat paguyuban lebih membutuhkan model
kepemimpinan kharismatik, bahkan yang paternalistik. Sebagian masyarakat paguyuban
dalam memutuskan pilihan-pilihan hidupnya memang sangat tergantung kepada
restu atau kebijakan pemimpin yang kharismatik. Hal itu berbeda dengan masyarakat
patembayan, karena sikap kemandirian (independensi) semakin
menguat yang ditopang dengan keluasan wawasan berpikir sebagai buah nyata dari
penguasaan ilmu pengetahuan secara lebih mendalam.
Kedua, sektor kebudayaan. Lembaga
pendidikan pesantren harus cermat dan responsif terhadap berbagai perubahan
budaya yang sedang terjadi secara makro-internasional. Globalisasi peradaban
dunia bagaikan pisau bermata dua yang perlu diperhatikan secara seksama, agar
efek negatif dalam bentuk dekadensi moral dapat dibendung dan tidak leluasa
memasuki kawasan lembaga dan masyarakat di sekitarnya. Sikap responsif tersebut
akan lebih baik lagi kalau diformat dengan langkah inovatif bukan sekadar
bersikap reaksioner semata.
Ketiga, sektor politik.
Pendidikan pesantren secara institusional lebih baik bilamana tidak menjadi
partisan partai politik, sebab jika para kiai dan pengelola berdiri di atas
semua golongan dan semua aliran partai politik (bersikap netral atau
non-partisan), maka akan lebih optimal dan didengar oleh semua pihak tatkala
berdakwah kepada masyarakat.
Keempat, sektor ekonomi. Lembaga
apa pun yang dikelola oleh siapa pun pasti memerlukan sejumlah dana operasional.
Lembaga pendidikan pesantren demikian pula kalau tidak ditopang dengan dana
yang cukup memadai pastilah sulit berkembang pesat. Kiai sebagai pemimpin harus
kreatif mencari sektor pendanaan. Lembaga pesantren akan lebih bagus lagi jika
memiliki unit usaha kerja yang bisa mendatangkan income rutin setiap
bulan.
N.
Kelebihan dan
Kelemahan Pendidikan Pesantren
1.
Kelebihan-kelebihan pesantren
tradisional antara lain:
a.
Kemampuan menciptakan sikap hidup
universal yang merata, dengan dilandasi oleh tata nilai religiusitas
tinggi yang terlepas dari acuan-acuan subkultural yang ada dalam susunan
kehidupan diluar pesantren.
b.
Kemampuan memelihara subkulturnya.
Hingga terus teraplikasikan dalam segala aspek kehidupan di sepanjang
perjalanan.
2.
Kelemahan-kelemahan
pesantren tradisional antara lain:
a.
Tidak adanya perancangan terperinci
dan rasional atas jalannya pendidikan, kalaupun ada hanya sangat terbatas,
tidak meliputi hubungan antara berbagai sistem pendidikan yang akan
dikembangkan dengan jenjangnya masing-masing.
b.
Tidak adanya keharusan membuat
kurikulum dalam susunan yang lebih mudah di cerna dan dikuasai oleh santri.
c.
Tidak mempunyai standar khusus yang
membedakan antara hal-hal yang diperlukan dalam pendidikan dan yang tidak
diperlukan. Pedoman yang digunakan adalah mengajarkan penerapan hokum syara’
dalam kehidupan sehari-hari dengan mengabaikan nilai-nilai pendidikan, akibatnya
tidak ada filsafat pendidikan yang jelas dan lengkap.
STUDI KASUS
Kasus teror
dan terorisme di Indonesia menjadi isu hangat yang tak pernah sepi dibicarakan.
Sejak kemunculan kasus peledakan bom Bali satu pada tahun 2002 dan bom Bali
dua pada tahun 2005. Setelah
ditelusuri lebih dalam, ternyata kasus peledakan bom yang terjadi adalah kasus bom bunuh diri. Jika memperhatikan latar
belakang para pelaku, sebagian besar merupakan alumni pondok pesantren yang
sejatinya paham akan nilai-nilai luhur agama dan kitab suci. Demikian pula
beberapa pelaku pengeboman Bali juga melibatkan mereka yang pernah belajar di
pesantren. Di kalangan
masyarakat mulai muncul asumsi yang mengatakan bahwa pesantren sebagai
basis terorisme.
Bagaimana upaya
mengubah stigma pesantren sebagai gudang terorisme dan radikalisme?
1.
Meningkatkan prestasi santri pondok
pesantren dalam bidang akademik maupun non akademik untuk mengharumkan nama
pesantren.
2.
Menerapkan pendidikan
multikulturalisme agar terbentuk watak santri yang menghargai perbedaan dan
toleransi.
3.
Melibatkan kementrian luar negeri
untuk mensosialisasikan kegiatan-kegiatan pesantren yang positif. Nantinya,
para kementrian luar negeri ini mensosialisasikan kepada negaranya sehingga
akan mengubah pandangan bahwa pesantren bukanlah merupakan gudang teroris.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
pendidikan pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam untuk mendalami dan menyebarkan ilmu-ilmu keislaman
dan menekankan pada moral keagamaan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Secara umum ada 3 landasan yang digunakan
pesantren dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pendidikan, yaitu dasar ideologis, konstitusional dan teologis.
2.
Karakteristik atau ciri-ciri umum
pondok pesantren adalah adanya kiai, adanya santri, adanya masjid, adanya pondok atau asrama, dan pengajaran Kitab-kitab Klasik. Sedangkan ciri-ciri khusus pendidikan pesantren
adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu
sintaksis Arab, morfologi arab,hukum islam, tafsir Hadis, tafsir Al-Qur’an dan
lain-lain.
3.
unsur-unsur pesantren menjadi tiga, yakni:
a.
Aktor atau pelaku, meliputi: kyai, ustadz, santri dan pengurus.
b.
Sarana perangkat keras, meliputi: masjid, rumah kyai, rumah dan asrama ustadz/guru, pondok atau asrama santri,
sarana dan prasarana fisik lainnya.
c.
Sarana perangkat lunak, meliputi: tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, cara pengajaran,
perpustakaan, pusat dokumentasi dan penerangan, keterampilan dan alat-alat pendidikan lainnya.
4.
Tujuan pendidikan pesantren secara umum adalah menciptakan dan menyiapkan para kader yang berkepribadian
muslim yang selalu menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup sehari-hari namun tidak meninggalkan peran ilmu pengetahuan. Selain itu pesantren memiliki itikad untuk tidak
hanya memberikan penjelasan-penjelasan dalam rangka memperkaya pengetahuan para santri, namun untuk meninggikan moral kehidupan
bermasyarakat, menghargai harkat dan martabat sesama manusia, mengajarkan bagaimana cara berperilaku dan memiliki akhlak yang baik dan
yang paling utama adalah mengajarkan pada santri untuk tetap hidup sederhana.
5.
Secara umum, tipe pondok pesantren yang berkembang di masyarakat,
yaitu pondok pesantren Salafiah/pesantren tradisional dan pondok pesantren
khalafiah. Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang
berkembang dalam masyarakat,
meliputi pondok pesantren tradisional, pondok pesantren moder, pondok pesantren komprehensif.
6.
Pola
pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren erat kaitannya dengan tipologi pondok pesantren. Metode pembelajaran yang terdapat
dalam pembelajaran di pondok pesantren adalah Metode
Sorogan, Metode
Bandongan, Metode
Musyawarah, Metode
Pengajian Pasaran, Metode Hapalan (Muhafadzah), Metode
Demonstrasi/Praktek Ibadah, Metode Rihlah Ilmiyah, Metode
Muhawarah/Muhadatsah, Metode Mudzakarah, dan Metode
Riyadhah.
7.
Istilah “kurikulum”
dalam pendidikan pesantren dapat mengalami perluasan atau pengembangan makna,
sejalan dengan dinamika pesantren di tengah-tengah proses transformasi
masyarakat yang bergerak dari pola kehidupan tradisional menuju masyarakat
modern (maju).
8.
Pola pengajaran beberapa pesantren di
Indonesia mengajarkan mata aji yang sama yang dikenal dengan ilmu-ilmu
keislaman yang meliputi Aqidah (Tauhid), Tajwid (Baca al-Qur’an), Akhlak (Tasawuf), Bahasa Arab, Fiqh, Ushul Fiqh, Al-Qur’an (Tafsir), Ilmu Tafsir, Hadist, Ilmu Hadists, dan Tarikh (Sejarah Islam).
9.
Strategi pengembangan
pesantren antara lain peningkatan layanan pendidikan, perluasan dan pemerataan
pendidikan, peningkatan mutu dan layanan pendidikan, pengembangan sistem dan
manajemen pendidikan, pemberdayaan kelembagaan. Strateginya adalah dengan menggunakan analisis SWOT.
10. Kelebihan-kelebihan
pesantren tradisional yaitu kemampuan
menciptakan sikap hidup universal yang merata, dengan dilandasi oleh tata nilai
religiusitas tinggi yang terlepas dari acuan-acuan subkultural yang ada
dalam susunan kehidupan diluar pesantren dan kemampuan
memelihara subkulturnya. Hingga terus teraplikasikan dalam segala aspek
kehidupan di sepanjang perjalanan.
11. Kelemahan-kelemahan pesantren tradisional yaitu tidak adanya perancangan terperinci
dan rasional atas jalannya pendidikan, kalaupun ada hanya sangat terbatas,
tidak meliputi hubungan antara berbagai sistem pendidikan yang akan
dikembangkan dengan jenjangnya masing-masing, tidak adanya
keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah di cerna dan
dikuasai oleh santri, dan tidak
mempunyai standar khusus yang membedakan antara hal-hal yang diperlukan dalam
pendidikan dan yang tidak diperlukan. Pedoman yang digunakan adalah mengajarkan
penerapan hokum syara’ dalam kehidupan sehari-hari dengan mengabaikan
nilai-nilai pendidikan, akibatnya tidak ada filsafat pendidikan yang jelas dan lengkap.
B.
Saran
Pesantren hendaknya lebih memperhatikan sistem kurikulumnya, sarana dan prasarana serta memberikan kebebasan para santri untuk mengembangkan talenta yang dimilikinya.
1.
Membuat kurikulum terpadu, gradual,
sistematik, dan egaliter.
2.
Melengkapi sarana penunjang proses
pembelajaran, seperti perpustakaan kitab-kitab klasik maupun kontemporer,
majalah, sarana organisasi, sarana olah raga dan sebagainya.
3.
Memberi kebebasan kepada santri yang
ingin mengembangkan talenta masing-masing, baik pemikiran, teknologi, ilmu
pengetahuan maupun kewirauasahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Naufal Ramzy. 2012. Prospek Dan Strategi Sistem Pendidikan Pesantren Pada Era Otonomi Daerah. KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012.
Nurhasanah Bakhtiar. 2009. Pola
Pendidikan Pesantren: Studi Terhadap Pesantren se-Kota
Pekanbaru. Diakses dari alamat http://uinsuska.info/tarbiyah/images/jurnal/2009/nurhasanah_pola.pdf pada tanggal 27
Mei 2013.
Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu
dan Aplikasi Pendidikan. Jakarta: PT. Imtima
Untuk membantu me-manage ponpes, sekarang sdh ada Inovasi baru untuk pondok pesantren. Program atau Aplikasi Tata Usaha, Keuangan, Kesantrian, Tahfizh dan Manajemen terintegrasi yang digunakan di Ponpes, Boardingschool atau Sekolah Islam. Mendukung transaksi non-tunai, Virtual account, dan lainnya. Dijalankan secara Realtime, bekerja dan melihat laporan kapan saja dan dimana saja. Juga dilengkapi Aplikasi Bagi Orang Tua Untuk Mengetahui Perkembangan Anaknya. coba saja buka www.sipond.com
BalasHapus