BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan
inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem
pendidikan dengan meninggalkan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap
siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa
terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan, dll. Salah
satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa
penyandang cacat. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel
dalam memenuhi keberagaman kebutuhan
siswa untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Pendidikan
inklusi ini memegang
tugas dan tanggung jawab yang penting, karena pada dasarnya pendidikan untuk
semua kalangan tanpa membedakan apapun merupakan kebutuhan
dasar untuk menjamin keberlangsungan hidup agar lebih bermartabat. Karena itu
negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu
kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki
perbedaan.
Pemahaman mengenai pendidikan inklusi juga merupakan
suatu hal yang sangat penting bagi seorang guru. Oleh karena itu, di dalam
makalah ini akan dibahas mengenai latar belakang Pendidikan Inklusi, konsep
Pendidikan Inklusi, kelebihan pendidikan inklusi, dan sejarah pendidikan
inklusi.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa latar belakang Pendidikan Inklusi?
2.
Apa konsep dari pendidikan inklusi?
3.
Apa saja kelebihan dari pendidikan
inklusi?
4.
Bagaimana dengan sejarah pendidikan
inklusi?
C. Tujuan
1.
Mahasiswa
calon guru dapat memahami latar belakang pandidikan inklusi.
2.
Mahasiswa
calon guru dapat memahami konsep pendidikan inklusi.
3.
Mahasiswa
calon guru dapat memahami konsep pendidikan inklusi.
4.
Mahasiswa
calon guru dapat memahami sejarah dari pendidikan inklusi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang / Paradigma
Pendidikan Inklusif
Negara
memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh
layanan pendidikan yang bermutu (UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan UU No.20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Dengan adanya Undang-Undang tersebut
berarti anak berkebutuhan khusus juga memiliki hak yang sama dengan anak normal
lainnya dalam memperoleh layanan pendidikan yang layak dan bermutu.
Sejauh
ini di Indonesia disediakan tiga lembaga layanan pendidikan anak berkebutuhan
khusus, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) / Sekolah Khusus, Sekolah Dasar luar
Biasa (SDLB), dan Sekolah Umum. SDLB
adalah SLB yang menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus untuk
usia SD, dan Sekolah Umum adalah sekolah reguler yang juga menampung anak
berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan
belajar mengajar yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik.
Ternyata
di Indonesia masih banyak ABK yang belum mendapatkan hak dasar pendidikan,
khususnya bagi para ABK yang tinggal di daerah pedesaan dan terpencil. Selain
itu, sebagian besar orang tua para ABK termasuk dalam golongan yang lemah
ekonomi. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah menyediakan program pelayanan
yang mudah diakses oleh para ABK dimanapun mereka berada. Solusinya yaitu, setiap
satuan pendidikan reguler (pendidikan dasar maupun menengah umum dan kejuruan)
didorong untuk dapat menerima ABK dari lingkungan sekitar yang akan
menyelesaikan pendidikannya pada satuan pendidikan tertentu sesuai tingkat
perkembangannya.
Di
dalam Permendiknas tentang pendidikan inklusif pasal 2 ayat (1) secara jelas
dinyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik dari berbagai kondisi
dan latar belakang untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya. Serta dalam ayat (2) yaitu menciptakan sistem
pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua
peserta didik.
Mengingat
bahwa pendidikan inklusif termasuk hal baru, maka perlu segera dibuat pedoman
umum penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal ini sangat perlu karena ABK juga
berhak mendapat kesempatan dan akses yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu, serta sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, sehingga dapat
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
B. Konsep
Pendidikan Inklusi
1. Pengertian
Hambatan
utama anak berkelainan untuk maju termasuk dalam mengakses pendidikan setinggi
mungkin bukan pada kecacatannya, tetapi pada penerimaan sosial masyarakat.
Selama ada alat dan penanganan khusus, maka mereka dapat mengatasi hambatan kelainan
itu. Justru yang sulit dihadapi adalah hambatan sosial. Bahkan, hambatan dalam
diri anak yang berkelainan itupun umumnya juga disebabkan pandangan sosial yang
negatif terhadap dirinya. Untuk itulah,
pendidikan yang terselenggara hendaknya memberikan jaminan bahwa setiap anak
akan mendapatkan pelayanan untuk mengembangkan potensinya secara individual.
Dalam
Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap warganegara
mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa
anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak
lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Pendidikan inklusif dalam beberapa tahun
terakhir ini telah menjadi isu yang sangat menarik dalam sistem pendidikan
nasional. Hal ini dikarenakan, pendidikan inklusif memberikan perhatian pada
pengaturan para siswa yang memiliki kelaian atau kebutuhan khusus untuk bisa
mendapatkan pendidikan pada sekolah-sekolah umum atau regular sebagai kelas
pendidikan khusus part time, pendidikan khusus full time, atau sekolah luar
biasa (segregasi). D.K. Lipsky dan A.D.
gartner (Dalam Abdul Salim Choiri, dkk, 2009, 85) mengatakan: Inclusive education
as: providing to all students, inclualing those with significant disabilities,
equitable opportunities to receive effective educational services, with the
needed suplementaland support service, in age-appropriate classes in their
neighborhood schools, in order to prepare students for productive lives as full
members of society.
Inklusi adalah suatu sistem ideologi dimana secara bersama-sama
tiap-tiap warga sekolah yaitu masyarakat, kepala sekolah, guru, pengurus
yayasan, petugas administrasi sekolah, para siswa dan orang tua menyadari
tanggung jawab bersama dalam mendidik semua siswa sedemikian sehingga mereka berkembang
secara optimal sesuai potnsi mereka. Walaupun dalam pendidikan inklusif berarti
menempatkan siswa berkelainan secara fisik dalam kelas atau sekolah regular,
inklusi bukanlah sekedar memasukkan anak berkelaian sebanyak mungkin dalam lingkungan
belajar siswa normal. Inklusi merupakan suatu sistem yang hanya dapat
diterapkan ketika semua warga
sekolah memahami dan mengadopsinya.
Inklusi menyangkut juga hal-hal
bagaimana orang dewasa dan teman sekelas yang normal menyambut semua siswa
dalam kelas dan mngenali bahwa keanekaragaman siswa tidak mengharuskan
penggunaan pendekatan tunggal untuk seluruh siswa. Dalam perkembangannya,
inklusi juga termasuk para siswa yang dikaruniai keberbakatan, mereka yang
hidup terpinggirkan, memiliki kecatatan, dan kemampuan belajarnya berada di
bawah rata-rata kelompoknya.
Melalui pendidikan inklusif, anak
berkelaian dididik bersama-sama anak lainnya
(normal)
untuk mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di masyarakat
terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat
dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan
peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di
sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat itu perlu dipersiapkan
segala sesuatunya.
Bergabungnya anak-anak berkelainan dalam
lingkungan belajar bersama anak-anak normal dapat dilakukan dengan 3 model,
yaitu: mainstream, integrative, dan
inklusi. Mainstream
adalah suatu sistem pendidikan yang menempatkan anak-anak cacat di
sekolah-sekolah umum, mengikuti kurikulum akademis yang berlaku, dan guru juga
tidak harus melakukan adaptasi kurikulum. Mainstream
kebanyakan diselenggarakan untuk anak-anak yang sakit yang tidak berdampak pada
kemampuan kognitif, seperti epilepsy, asma dan anak-anak dengan kecacatan
sensori (dengan fasilitas peralatan, seperti alat bantu dan buku-buku Braille)
dan anak tunadaksa.
Integrasi berarti menempatkan siswa yang
berkelainan dalam kelas anak-anak normal dimana anak-anak berkelainan hanya
mengikuti pelajaran-pelajaran yang dapat mereka ikuti dari gurunya. Sedangkan
untuk mata pelajaran akademis lainnya, anak-anak berkelainan menerima pelajaran
pengganti di kelas berbeda yang terpisah dari teman-teman mereka. Penempatan
terintegrasi tidak sama dengan integrasi pengajaran dan integrasi sosial,
karena integrasi bergantung pada dukungan yang diberikan sekolah dan dalam
komunitas yang lebih luas.
Sedangkan inklusi mempunyai pengertian
yang beragam. Stainback (Dalam
Abdul Salim Choiri, dkk, 2009, 87) mengemukakan bahwa
sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.
sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Lebih dari itu, sekolah inklusi
juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas
tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota
masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Selanjutnya,
Staub dan Peck (Dalam Abdul
Salim Choiri, dkk, 2009, 87) mengemukakan bahwa pendidikan
inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat
secara penuh di kelas regular. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa kelas regular
merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis
kelainnya dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, Sapon-Shevin (Dalam Abdul Salim Choiri, dkk, 2009, 87)
menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang
mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di seolah-sekolah
terdekat, di kelas regular bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu,
ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang
mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber
belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang
tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusif, anak
berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya (Freiberg
(Dalam Abdul Salim Choiri, dkk, 2009, 87)).
Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal
dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Menurut Permendiknas No. 70 tahun 2009
pendidikan inklusif didefinisikan sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan
dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama
dengan peserta didik pada umumnya.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan
inklusif bertujuan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan
mewujudkan penyelenggaran pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak
diskriminatif kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat
istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai kebutuhan dan kemampuannya.
Dengan demikian, inklusi adalah sebuah
filosofi pendidikan dan sosial. Dalam inklusi, semua orang adalah bagian yang
berharga dalam kebersamaan apapun perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini
berarti bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidakmampuan mereka, latar
belakang sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau
jenis kelamin, menyatu dalam komunitas sekolah yang sama. Pendidikan inklusif
berkenaan dengan aktivitas memberikan respon yang sesuai kepada adanya
perbedaan dari kebutuhan belajar baik. Ia merupakan pendekatan yang memperhatikan bagaimana mentransformasikan sistem
pendidikan sehingga mampu merespon keragaman siswa dan memungkinkan guru dan
siswa untuk merasa nyaman dengan keragaman dan melihatnya lebih sebagai suatu
tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar daripada suatu problem.
Lebih lanjut, inklusi adalah cara
berpikir dan bertindak yang memungkinkan setiap individu merasakan diterima dan
dihargai. Prinsip inklusi mendorong setiap unsur yang terlibat di dalam proses
pembelajaran mengusahakan lingkungan belajar dimana semua siswa dapat belajar
secara efektif bersama-sama. Dengan demikian, tidak ada siswa yang akan ditolak
atau dikeluarkan dari sekolahnya sebab tidak mampu memenuhi standar akademis
yang ditetapkan. Walaupun,
pada sisi yang lain beberapa orang tua merasa khawatir kalau anak-anak mereka
yang memiliki kecacatan tersebut akan menjadi bahan ejekan atau digoda
orang-orang di sekitarnya.
2. Prinsip-Prinsip
a.
Prinsip-prinsip pendidikan
Berdasarkan
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 4, dinyatakan bahwa prinsip-
prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah :
1) Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, kultural dan kemajemukan bangsa.
2) Pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka
dan multi makna.
3) Pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat.
4) Membangun kemauan dan mengembangkan
kreatifitas siswa dalam proses pembelajaran.
5) Pendidikan
diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan menghitung
bagi segenap warga masyarakat.
6) Pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran
serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
b. Prinsip-Prinsip
Pendidikan Inklusif
1) Setiap
anak berhak memperoleh pendidikan yang lebih baik.
2) Setiap
anak berhak memperoleh layanan pendidikan pada sekolah yang ada di sekitarnya.
3) Setiap
anak mamiliki potensi, bakat dan irama perkembangan masing- masing yang harus
diberikan secara tepat.
4) Pendekatan
pembelajaran bersifat fleksibel, kooperatif, dan berdayaguna.
5) Sekolah
adalah integral dari masyarakat.
6) Dalam
pembelajaran sekolah berkolaborasi dengan profesional lain yang terkait.
7) Sekolah
responsif terhadap kebutuhan khusus semua anak sesuai dengan tingkat kesiapan
SDM dan sarana prasarananya.
8) Sekolah
berkewajiban mengembangkan potensi anak secara maksimal.
9) Kurikulum
yang bersifat adaptif dan fleksibel.
10) Penekanan
pada pemerataan dan peningkatan kualitas.
11) Penekanan
pada etos keberhasilan untuk menggantikan sindrom kegagalan.
12) Penekanan
pada pendekatan pembelajaran yang lebih humanis, demokratis, kooperatif,
kolaboratif dan disiplin untuk setiap anak.
13) Bagi
anak yang telah memiliki kecakapan komunikasi sosial dan edukatif memadai duduk
dalam kelas yang sama dengan teman seusianya.
14) Sistem
kenaikan kelas terjadi secara alami dengan mempertimbangkan aspek usia dan
kematatngan sosialpsikologis anak.
15) Siswa
belajar sesuai dengan potensi kemampuannya dari kurikulum yang telah ada.
16) Siswa
belajar mengmbangkan sikap toleran sesuai dengan tatakrama yang berlaku di
lingkungannya.
17) Siswa
belajar menumbuhkan sikap percaya diri.
18) Siswa
belajar menghargai eksistensi sendiri.
19) Siswa
merasa menjadi bagian dari kelas dan menganggapnya sebagai milik bersama.
20) Siswa
dibiasakan untuk bekerjasama.
21) Siswa
memiliki pengalaman berhasil.
22) Siswa
belajar menemukan dan menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri secara
alami.
23) Guru mempertimbangkan perbedaan antar siswa
dalam kelasnya.
24) Guru
menyiapkan tugas yang berbeda untuk siswa.
25) Guru
berkolaborasi dengan tenaga ahli lain
secara intensif dalam melaksanakan tugasnya.
26) Guru
mengembangkan komunikasi interpersonal dengan siswa.
27) Guru
mendorong terjadinya interaksi promotif antar siswa.
28) Guru
menyesuaikan cara belajar siswa.
29) Guru
melibatkan orang tua dalam pembelajaran.
30) Guru
menjadikan sekolah menarik bagi anak.
31) Guru
membuat siswa aktif dan tekun.
32) Guru
aktif, kreatif, fleksibel dan disiplin.
33) Guru
reguler dan guru khusus saling berbagi pengalaman.
34) Kepala
sekolah berkolaborasi dengan lembaga lain yang lebih luas.
35) Kepala
sekolah memotifasi guru agar selalu belajar dan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilannya.
36) Kepala
sekolah terlibat aktif dalam kegiatan sosial setempat.
37) Kepala sekolah mengkondisikan terjadinya
iklim sekolah yang ramah bagi semua.
38) Kepala
sekolah mengoptimalkan peran orang tua terhadap sekolah.
Secara umum prinsip penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Prinsip
pemerataan dan peningkatan
mutu
Pemerintah
mempunyai tanggung jawab untuk menyusun strategi upaya pemerataan kesempatan
memperoleh layanan pendidikan dan peningkatan mutu. Pendidikan inklusif
merupakan salah satu strategi upaya pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan, karena lembaga pendidikan inklusi dapat menampung semua anak yang
belum terjangkau oleh layanan pendidikan lainnya. Pendidikan inklusif juga merupakan
strategi peningkatan mutu, karena model pembelajaran inklusif menggunakan
metodologi pembelajaran bervariasi yang bisa menyentuh pada semua anak dan
menghargai perbedaan.
b. Prinsip
kebutuhan individual
Setiap
anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda, oleh karena itu pendidikan
harus diusahakan untuk disesuaikan dengan kondisi anak.
c. Prinsip
kebermaknaan
Pendidikan
inklusif harus menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang ramah, menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaa.
d. Prinsip
berkelanjutan
Pendidikan
inklusif diselenggarakan secara berkelanjutan pada semua jenjang pendidikan.
e. Prinsip
keterlibatan
Penyelenggaraan
pendidikan inklusif harus melibatkan seluruh komponen pendidikan terkait.
C.
Kelebihan
Pendidikan
Inklusif
1.
Membangun
kesadaran dan consensus pentingnya Pendidikan Inklusif sekaligus menghilangkan
sikap dan nilai yang diskriminatif
2.
Melibatkan
dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal
dan mengumpulkan informasi
3.
Semua
anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alas an mengapa mereka tidak
sekolah
4.
Mengidentifikasi
hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya terhadap
akses dan pembelajaran
5.
Melibatkan
masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi
semua anak
D.
Sejarah
Perkembangan Pendidikan Inklusif
Perkembangan
pendidikan inklusif di dunia awalnya diprakarsai oleh negara-negara Scandinavia (Denmark,
Norwegia, dan Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun 1960-an oleh Presiden
Kennedy mengirimkan pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk
mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang
ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris
dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif
dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan
khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak
diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi
dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi “education for all”. Implikasi dari
statement ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa
kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan
secara memadai.
Sebagai
tidak lanjut Deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi
pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif
yang selanjutnya dikenal dengan “the
Salamanca statement on inclusive education”. Sejalan dengan kecenderungan
tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun
2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung
dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.
Untuk
memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan
simposium Internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi
Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan
program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak
benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Berdasarkan
pengembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah
Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan
inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang
sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi
kemudian kurang berkembang dan baru mulai tahun 2000 dimnculkan kembali dengan
mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan inklusif yang kini sedang marak
dibicarakan, mencoba membantu memberikan hak dasar pendidikan yang sama bagi
Anak Berkebutuhan Khusus dengan anak normal lainnya untuk
memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Melalui pendidikan inklusif, anak berkelaian
dididik bersama-sama anak lainnya
(normal)
untuk mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya.
Bergabungnya
anak-anak berkelainan dalam lingkungan belajar bersama anak-anak normal dapat
dilakukan dengan 3 model, yaitu: mainstream,
integrative, dan inklusi.
Dalam
pelaksanaannya, pendidikan inklusif bertujuan untuk memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaran pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi
kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
sesuai kebutuhan dan kemmpuannya.
Prinsip
inklusi mendorong setiap unsur yang terlibat di dalam proses pembelajaran
mengusahakan lingkungan belajar dimana semua siswa dapat belajar secara efektif
bersama-sama. Secara
umum prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia antara lain: (a) prinsip pemerataan dan
peningkatan
mutu, (b) prinsip
kebutuhan individual, (c) prinsip
kebermaknaan, (d) prinsip keberlanjutan, dan (e) prinsip keterlibatan.
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif diawali oleh
Negara Scandinavia. Yang dilanjutkan dengan konvensi dunia tentang hak anak
pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok.
Lebih lanjut, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca
Spanyol. Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan
menghasilkan Deklarasi Bandung. Pada tahun 2005 diadakan simposium Internasional
di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi
DAFTAR
PUSTAKA
Choiri, Abdul Salim. dkk.
2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
secara Inklusif.
Bamper. 2011. http://bamperxii.blogspot.com/2008/12/pendidikan-iklusif.html diakses pada tanggal 2 Maret 2012
Ifdlali. 2010. http://smanj.sch.id/index.php/arsip-tulisan-bebas/40-artikel/115-pendidikan
inklusi-pendidikan-terhadap-anak-berkebutuhan-khusus di akses pada tanggal 3 Maret 2012
Kamalfuadi.2011. http://fuadinotkamal.wordpress.com/2011/04/12/pendidikan-inklusif/ diakses pada tanggal 3 Maret 2012
Tarmansyah. 2009. http://pendidikankhusus.blogspot.com/2009/05/konsep-pendidikan-inklusi_17.html diakses pada tanggal 3 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar