BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Dalam mengupayakan penyelenggaraan pendidikan
dalam dunia pendidikan, pemerintah telah mengadakan dan memberdayakan sekolah
dengan melalui pemberian otonomi kepada
sekolah yaitu dengan program Manajemen Berbasis Sekolah.
MBS mengacu dalam pemberian wewenang sepenuhnya
kepada sekolah. sehingga sekolah dapat mengelola segala kebutuhan yang ada di
lingkungan sekitar sesuai dengan kebutuhan peserta didik, terutama dalam dunia
pembelajaran agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan.
Penerapan MBS sudah diselenggarakan dari
berbagai sekolah. sekolah telah berupaya bagaimana untuk menyukseskan program
MBS. Upaya MBS juga merupakan salah satu kunci keberhasilan sekolah dalam dunia pendidikan. Kunci keberhasilan MBS di
sekolah juga tergantung dari proses bagaimana input menjadi output yang
mempunyai daya saing.
Dalam kenyataannya, sekolah MBS masih belum
bisa mengupayakan atau belum merencanakan tonggak-tonggak keberhasilan MBS di
sekolah. serta masih ada kepala sekolah dan tenaga pendidikan yang masih belum
memahami bagaimana upaya atau cara dalam menentukan keberhasilan MBS.
Untuk itu, pemimpin dan tenaga kependidikan
perlu mengetahui dalam hal untuk merencanakan dan memahami berbagai
tonggak-tonggak kunci keberhasilan MBS di sekolah. sehingga, sekolah memiliki
tolak ukur dan target dalam hal mengupayakan keberhasilan MBS.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa saja
kriteria keberhasilan Manajemen Berbasis
Sekolah?
2. Apa
kunci kerberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah?
3. Apa
faktor-faktor penghambat keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah?
4. Bagaimana
tonggak-tonggak keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah?
C. Tujuan
Pembelajaran
1. Mengetahui kriteria keberhasilan Manajemen
Berbasis Sekolah.
2. Mengetahui kunci kerberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah.
3. Memahami faktor-faktor penghambat
keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah.
4. Memahami tonggak-tonggak keberhasilan
Manajemen Berbasis Sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kriteria
Keberhasilan MBS
Kriteria merupakan ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu. Kriteria keberhasilan MBS adalah ukuran yang dapat dijadikan dasar penilaian atau penetapan ketercapian suatu program MBS. Reynolds (dalam Nurkolis, 2003) menyatakan bahwa keberhasilan
pendidikan harus didefinisikan ulang, bukan semata-mata pada ukuran standar
prestasi siswa, melainkan dalam konteks
yang lebih luas. Akan tetapi,
pencapain suatu keberhasilan pendidikan tergantung pada kualitas program pendidikan
dan pelayanan yang diberikan. Oleh
karena itu, menurut Nurkolis (2003) ukuran-ukuran keberhasilan implementasi MBS
di Indonesia dapat dinilai dari sembilan
kritria, yaitu:
1.
MBS dianggap berhasil
apabila jumlah siswa yang mendapat pelayanan pendidikan semakin meningkat.
Apabila masalah
siswa yang tidak bisa mendaftar pendidikan karena masalah ekonomi akan
dipecahkan secara bersama-sama oleh warga sekolah melalui subsidi silang dari
mereka yang ekonominya lebih mampu, demikian pula dengan keberadaan masyarakat
pedalaman dan daerah terpencil, mereka akan mendapatkan layanan pendidikan setelah
adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan.
2.
MBS dianggap berhasil
apabila kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik.
Karena layanan pendidikan tersebut
berkualitas mengakibatkan prestasi akademik dan nonakademik siswa juga
meningkat. Secara keseluruhan kulitas pendidikan akan meningkat yang
selanjutnya jumlah pengangguran bisa ditekan, intensitas kriminalitas dapat
diturunkan dan rasa tanggungjawab sebagai warga negara semakin besar.
3. Tingkat tinggal kelas
menurun dan produktivitas sekolah semakin baik dalam arti rasio antara jumlah
siswa yang mendaftar dengan jumlah siswa yang lulus menjadi semakin besar.
Tingkat
tinggal kelas menurun karena siswa semakin bersemangat untuk datang ke sekolah
dan belajar dirumah dengan dukungan orang tua dan lingkunganya. Pembelajaran di
sekolah semakin meningkat karena kemampuan guru mengajar menjadi lebih menarik
dan menyenangkan. Selain itu terjadi peningkatan efisiensi dan penggunaan
berbagai sumber daya di sekolah. Ditambah lagi terjadi peningkatan efektivitas
dengan tercapainya berbagai tujuan pendidikan yang ditetapkan . Inilah yang
selanjutnya dapat menciptakan sekolah yang efektif.
4. Relevansi
penyelenggaraan pendidikan semakin baik.
Program-program
yang diselenggarakan di sekolah baik kurikulum maupun sarana prasarana sekolah
disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan lingkungan masyarakat sehingga relevansi penyelenggaraan pendidikan semakin baik.
5. Adanya
keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Terjadinya keadilan dalam penyelenggaraan
pendidikan karena penentuan biaya pendidikan tidak dilakukan secara pukul rata,
tetapi didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Atas
kesepakatan bersama seluruh warga sekolah dan warga masyarakat, keadilan dalam
penyelanggaraan pendidikan ini bisa tercipta.
6. Meningkatnya keterlibatan stakeholders.
Semakin meningkatnya keterlibatan orang
tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah baik yang menyangkut
keputusan intruksional maupun organisasional. Dengan demikian, orang tua siswa
dan masyarakat akan semakin peduli dan memiliki rasa memiliki yang lebih besar
pada sekolah. Bila hal ini terjadi maka masyarakat dengan sukarela akan
menyumbangkan tenaga dan hartanya untuk sekolah.
7. Semakin baiknya iklim
dan budaya kerja di sekolah.
Semakin baiknya iklim dan budaya kerja di
sekolah akan
meningkatkan kualitas pendidikan,
sehingga sekolah akan berubah dan berkembang
lebih baik. Setiap personel sekolah akan merasa aman dan nyaman dalam
melaksanakan tugasnya sehari-hari.
8. Kesejahteraan guru dan
staf sekolah membaik
Kesejahteraan guru dan staf sekolah
membaik antara
lain karena sumbangan pikiran, tenaga, dan dukungan dari masyarakat luas.
Sehingga guru akan lebih fokus melaksanakan tugasnya disekolah, dan karena
masyarakat ikut peduli menyebabkan guru memiliki tanggungjawab moral untuk
mengelola sekolahnya dengan sebaik-baiknya.
9. Demokratisasi dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Apabila semua kemajuan pendidikan telah
tercapai maka dampak selanjutnya adalah akan terjadi demokratisasi dalam penyelenggaraan
pendidikan. Indikator keberhasilan implementasi berupa tercapainya
demokratisasi pendidikan diletakkan pada posisi terakhir karena sasaran ini
jangka panjang dan paling jauh dari jangkauan.
Menurut
Taruna dalam Nurkolis. 2003:145, ada enam tolak ukur keberhasilan MBS, yaitu:
1. Berkurang
sebanyak mungkin angka tinggal kelas terutama dikelas rendah.
2. Berkurang
sebanyak mungkin angka putus sekolah
3. Semakin
berkembangnya otonomi kepala sekolah dan guru-guru di sekolahnya sendiri.
4. Semakin
seringnya BP3 rapat memikirkan peningkatan mutu partisipasi orang tua murid dan
masyarakat.
5. Semakin
banyaknya dukungan (bukan pengawasan) oleh pihak aparat kecamatan dan kabupaten
kepada sekolah.
6. Semakin
terciptanya kegiatan belajar mengajar yang aktif-menyenangkan di semua kelas
sepanjang hari.
Dari kriteria di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa sekolah yang berhasil dalam menerapkan MBS:
1.
MBS dianggap berhasil
apabila jumlah siswa yang mendapat pelayanan pendidikan semakin meningkat.
2. Semakin
terciptanya kegiatan belajar mengajar yang aktif-menyenangkan di semua kelas
sepanjang hari.
3.
MBS dianggap berhasil
apabila kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik.
4. Tingkat tinggal kelas
menurun dan produktivitas sekolah semakin baik dalam arti rasio antara jumlah
siswa yang mendaftar dengan jumlah siswa yang lulus menjadi semakin besar.
5. Relevansi
penyelenggaraan pendidikan semakin baik.
6. Adanya keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan.
7. Meningkatnya keterlibatan stakeholders.
8. Semakin baiknya iklim
dan budaya kerja di sekolah.
9. Kesejahteraan guru dan
staf sekolah membaik
10.
Demokratisasi
dalam penyelenggaraan pendidikan.
B. KUNCI
KEBERHASILAN MBS
Menurut
Reynolds dalam Nurkolis. 2003:145, mengemukakan bahwa terdapat sembilan kunci yang
mendukung keberhasilan implementasi MBS di sekolah, yaitu:
1. Mengadopsi
suatu perspektif yang lebih luas akan suatu sistem.
Sistem pendidikan adalah keseluuhan yang terpadu dari satuan kegiatan pendidikan yang berkaiatan satu sama lain untuk mencapai tujuan pendidikan.
2. Memahami
konteks perubahan.
Perubahan merupakan pergeseran dari
keadaan sekarang suatu organisasi menuju pada keadaan yang diinginkan dimasa
datang. Proses perubahan harus dikelola secara terampil, agar perubahan
tersebut terjadi secara efektif demi kepentingan organisasi. Cara yang pasti
untuk mengelola perubahan yaitu dengan manajemen perubahan yaitu suatu proses
yang mengandung unsur-unsur perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pemantauan, evaluasi dan hasil serta dampak. Menurut Raymond terdapat langkah-langkah
dalam mengelola peruubahan, yaitu:
a. Menetapkan kebutuhan untuk melakukan
perubahan
b. Mengenali hal-hal potensial yang dapat
menghambat proses perubahan
c. Melaksanakan perubahan
d. Mengevaluasi perubahan.
Dunia pendidikan
pun memerlukan suatu perubahan yang signifikan dikarenakan semakin
berkembanganya ilmu pengetahuan maka pendidikan pun akan mengalami perubahan
yang signifikan. Oleh karena itu memerlukan suatu adanya perubahan pula dalam
pendidikan dikarenakan masalah yang komplek seiring dengan era globalisasi yang
serba maju dan canggih. Contohnya yakni MBS atau Manajemen Berbasis Sekolah
dimana sekolah diberikan kekuasaan atau wewenang dalam mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri atau otonomi sekolah.
3. Mengembangkan
perspektif dan keterampilan tentang kepemimpinan.
Pemimpin diperlukan sedikitnya terdapat
empat alasan, yaitu karena banyak orang yang memerlukan figure pemimpin, dalam
beberapa situasi seorang pemimpin perlu tampil mewakili kelompoknya, sebagai
tempat pengambilalihan resiko bila terjadi tekanan terhadap kelompoknya, dan
sebagai tempat untuk meletakan kekuasaan.
4. Menciptakan
visi bersama.
Visi pendidikan adalah pendidikan yang
mengutamakan kemandirian menuju keunggulan untuk meraih kemajuan dan kemakmuran
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Pendidikan nasional diharapkan mampu
menghasilkan manusia yang demokratis-religius yang berjiwa mandiri,
bermartabat, menjujung tinggi harkat manusia, dan menekankan keunggulan
sehingga tercapai kemajuan dan kemakmuran.
Visi pendidikan nasional mensyaratkan kepedulian
keluarga,masyarakat, bersama-sama dengan organisasi dan institusi pendidikan
nasional yang mandiri dan mampu untuk melakukan inovasi pendidikan menuju ke sistem pendidikan yang
unggul. Dalam visi pemberdayaan, pemerintah tidak
seharusnya memonopoli penyelenggaraan pendidikan tetapi harus membantu dan
memfasilitasi masyarakat dalam menyelenggarakan pelayanan pendidikan melalui subsidi sesuai
kemampuan masyarat.
5. Pengembangan
keterampilan strategi perencanaan
pembelajaan.
Strategi – strategi perencanaan yang
akan diambil haruslah sesuai dengan tujuan yang sudah dicapai, sehingga perlu
keterampilan dan kompetensi yang memadai dalam pembuatan perencanaan tersebut.
6. Tenaga pendidik mampu mendefinisikan
peran baru.
Tenaga pendidik di sekolah yang
temasuknya kepala sekolah dan guru harus mampu menyadari akan peran barunya
dalam dunia pendidikan, yang tidak hanya berperan sebagai transfer pengetahuan (tansfer of knowlage) dalam mendidik siswanya
tatapi lebih dari itu kepala sekolah dan guru harus menyediakan iklim yang
kondusif di sekolah sehingga diperlukan manajemen sekolah yang mendukung.
7. Memperbaiki
lingkungan kerja.
Tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan
kerja yang aman, nyaman, dan harmonis akan dapat meningkatkan hasil kerja
penghuninya. Sebaliknya lingkungan kerja yang penuh konflik akan menghambat dan
menurunkan gairah bekerja.
8. Pemahaman
akan dinamika kelompok
Kepala sekolah, guru dan staf sekolah
merupakan suatu kelompok yang harus berjalan bersamaan dalam keadaan yang
harmonis. Semua komponen sekolah harus menyadari bahwa mereka adalah tim yang
akan membawa kemana sekolah itu kedepannya,
maka dalam kerja tim tersebut harus ada rasa saling menghargai, saling membantu
dan tidak menang sendiri. Walaupun tetap harus ada pemimpin yang mengkoordinir
kerja tim tersebut yaitu kepala sekolah.
9. Memperjelas
akuntabilitas.
Pada era desentaralisasi, semua pihak sepakat bahwa otonomi dan akuntabilitas
publik itu penting. Dengan demikian lembaga, institusi pendidikan dan lembaga
yang terkait dengan pelayanan publik juga dituntut untuk memiliki
akuntabilitas. Menurut deputi V Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Bidang Akuntabilitas Aparatur, Soemidiharjo dalam Nurkolis 2003:146, bahwa
dalam era otonomi daerah masing-masing istitusi harus membangun akuntabilitas
peran dan fungsinya untuk dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Selanjutnya, Soemiharjo dalam Nurkolis
(2003:146) menyatakan bahwa terdapat tiga pilat utama yang menjadi prasyarat
terbangunya akuntabilitas. Pertama, adanya transparansi dalam menetapkan
kebijakan dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai institusi. Kedua,
adanya standar kinerja yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan
wewenang. Ketiga, adanya partisipasi untuk saling menciptaka suasana
kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah,
biaya yang murah, dan pelayanan yang cepat. Tiga pilar akuntabilitas tersebut
juga penting untuk dimiliki lembaga penyelenggara pendidikan sehingga pelayanan
pendidikan bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas.
Akhirnya lembaga pendidikan yang
akuntabel dengan didukung oleh personel, proses, dan isi yang akuntabel akan
menghasilkan siswa yang akuntabel sehingga tercapai tujuan pendidikan yang
dicita-citakan. Bila institusi pendidikan telah memiliki akuntabilitas, tidak
perlu diributkan terjadinya jual beli gelar. Pemerintah tidak perlu repot
menertibkan lembaga pendidikan jadi-jadian yang tidak jelas penanggung
jawabnya.
C. FAKTOR
PENGHAMBAT KEBERHASILAN MBS
Dalam
implementasi MBS juga dihadapi beberapa masalah seperti berbagai pihak terkait
harus bekerja lebih banyak dari pada sebelumnya, kurang efisien (dalam jangka
pendek karena salah satu tujuan MBS adalah terjadinya efisiensi pendidikan),
kinerja sekolah yang tidak merata, meningkatnya kebutuhan pengembangan staf,
terjadinya kebingungan karena peran dan tanggung jawab baru, kesulitan dalam
melakukan koordinasi dan masalah akuntabilitas.
Masalah
lain yang sering muncul adalah pada otoritas pengambilan keputusan. Sekolah
menginginkan dimilikinya otoritas dalam pengambilan keputusan, namun pemerintah
pusat atau daerah seringkali tetap menginginkan otoritas keputusan berada
dipihaknya.
Penghambat
lain yang sering muncul adalah kurangnya pengetahuan berbagai pihak tentang
bagaimana MBS dapat bekerja dengan baik. Juga masalah kurangnya keterampilan
untuk mengambil keputusan, ketidak mampuan dalam berkomunikasi, kurangnya
kepercayaan antar pihak, ketidakjelasan peraturan tentang keterlibatan antar
masing-masing pihak, dan keengganan para administrator dan guru untuk
memberikan kepercayaan kepada pihak lain dalam mengambil keputusan.
Wohlstetter
dan Mohtman (1996) dalam Nurkolis (2003:142-143) menyatakan terdapat empat
macam kegagalan implementasi MBS, yaitu:
1.
Penerapan MBS hanya
sekedar mengadopsi model apa adanya tanpa upaya kreatif. MBS bukanlah model
yang mati dan tidak ada satu model baku yang bias diterapkan di semua sekolah
dan semua daerah, sekolah harus mengadopsi model MBS sesuai dengan kondisi
sekolah dan lingunganya masing-masing.
2.
Kepala sekolah bekerja
berdasarkan agendanya sendiri tanpa memperhatikan aspirasi seluruh anggota
dewan sekolah. Sekolah arus mengajak seluruh anggota dewan dan stakeholder
untuk membuat agenda. Kesepakatan atas agenda yang akan dijalankan ini harus
menjadi pegangan utama kepala sekolah dalam menjalankan dan menerapkan MBS.
3.
Kekuasaan pengambilan
keputusan berpusat pada satu pihak dan cenderung semena-mena. Tidak ada satu
pihak yang memiliki kekuasaan lebih dibanding pihak lain dalam pengambilan
keputusan model MBS ini. Yang ada adalah saling memperhatikan
kepentingan-kepentingan masing-masing pihak sehingga keputusan yang diambil
bias seimbang dan adil.
4.
Menganggap bahwa MBS
adalah hal biasa dengan tanpa usaha yang serius akan berhasil dengan
sendirinya. Padahal dalam kenyataanya implementasi MBS memakan waktu, tenaga
dan pikiran secara besar-besaran. Pengalaman berbagai Negara menunjukkan MBS akan
bisa dinilai hasilnya setelah lebih dari empat tahun berjalan.
Faktor lain penghambat keberhasilan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) antara lain:
1.
Tidak berminat untuk terlibat.
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2.
Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3.
Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4.
Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5.
Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru.
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6.
Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah
dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah
ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup
tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang
diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang
terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang
dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
keberhasilan MBS akan terhambat jika seluruh komponen sekolah tidak bias
bekerja sama untuk mewujudkan tujuan sekolah, selain itu tingkat pengetahuan
terhadap implementasi MBS ini juga sangat berpengaruh, serta peran kepala
sekolah sebagai sentral di sekolah tidak maksimal dan kepala sekolah tidak bias
mengelola anggota organisasinya.
D.
Tonggak-Tonggak
Keberhasilan MBS
Program MBS yang telah dilaksanakan perlu diadakan
evaluasi untuk mengetahui apakah program MBS yang telah dilaksanakan sudah
berhasil atau belum. Dalam rangka mengevaluasi keberhasilan MBS,
sekolah-sekolah yang melaksanakan MBS harus membuat tonggak-tonggak kunci
keberhasilan untuk kurun waktu tertentu.
Tonggak-tonggak
kunci keberhasilan MBS merupakan target-target hasil MBS yang akan dicapai
dalam jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1 tahun). Target-target
tersebut bersumber dari:
1. Pemerataan
pendidikan (kesamaan kesempatan antara siswa-siswa baik desa maupun kota,
miskin maupun kaya, laki-laki maupun perempuan, dsb).
Pemerataan pendidikan
dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi
masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang.
Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan
mempunyai peran berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan
education for all.
Pemerataan pendidikan
mencakup dua aspek penting yaitu Equality
dan Equity. Equality atau persamaan mengandungn arti persamaan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan , sedangkan equity
bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara
berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata
berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan,
sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa
menikmati pendidikan secara sama.
Coleman dalam bukunya Equality of educational opportunity mengemukakan
secara konsepsional konsep pemerataan yakni : pemerataan aktif dan pemerataan
pasif. Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan
memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif
bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid terdaptar agar
memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya. Dalam pemahaman seperti ini
pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam
memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus
diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang
dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.
2. Kualitas
pendidikan (input, proses, output).
Arti dasar dari kata
kualitas dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia adalah “kualitet”: “mutu”;
baik buruknya barang” seperti halnya yang dikutip oleh
Quraish Shihab yang mengartikan kualitas sebagai tingkat baik buruk sesuatu
atau mutu sesuai. Secara etimologi, mutu atau kualitas
diartikan dengan kenaikan tingkatan menuju suatu perbaikan atau kemapanan.
Sebab kualitas mengandung makna bobot atau tinggi rendahnya sesuatu. Jadi dalam
hal ini kualitas pendidikan adalah pelaksanaan pendidikan disuatu lembaga,
sampai dimana pendidikan di lembaga tersebut telah mencapai suatu keberhasilan.
Di dalam konteks
pendidikan, pengertian kualitas atau mutu dalam hal ini mengacu pada proses
pendidikan dan hasil pendidikan. Dari konteks “proses” pendidikan yang
berkualitas terlibat berbagai input (seperti bahan ajar: kognitif, afektif dan,
psikomotorik), metodologi (yang bervariasi sesuai dengan kemampuan guru),
sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya
lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.
Dengan adanya manajemen
sekolah, dukungan kelas berfungsi mensingkronkan berbagai input tersebut atau
mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar, baik
antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas atau di luar kelas, baik dalam
konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkungan substansi yang
akademis maupun yang non akademis dalam suasana yang mendukung proses belajar
pembelajaran.
Kualitas dalam konteks
“hasil” pendidikan mengacu pada hasil atau prestasi yang dicapai oleh sekolah
pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun
atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student
achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis, misalnya ulangan
umum, EBTA atau UAN. Dapat pula prestasi dibidang lain seperti di suatu cabang
olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu. Bahkan prestasi sekolah
dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti
suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan dan sebagainya.
Selain itu kualitas
pendidikan merupakan kemampuan sistem pendidikan dasar, baik dari segi
pengelolaan maupun dari segi proses pendidikan, yang diarahkan secara efektif
untuk meningkatkan nilai tambah dan factor-faktor input agar menghasilkan
output yang setinggi-tingginya.
Jadi pendidikan yang
berkualitas adalah pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang memiliki
kemampuan dasar untuk belajar, sehingga dapat mengikuti bahkan menjadi pelopor
dalam pembaharuan dan perubahan dengan cara memberdayakan sumber-sumber
pendidikan secara optimal melalui pembelajaran yang baik dan kondusif.
3. Efektifitas
dan efisiensi pendidikan (angka kenaikan kelas, angka kelulusan, angka putus
sekolah, dsb).
Salah satu masalah
pendidikan adalah efisiensi dan efektifitas pendidikan. Permasalahan efisiensi
pendidikan dipandang dari segi internal pendidikan. Efisiensi pendidikan
adalah sasaran dalam bidang pendidikan
yang dapat dicapai secara efisien atau berdaya guna. Artinya pendidikan akan
dapat memberikan hasil yang baik dengan tidak menghamburkan sumberdaya yang
ada, seperti uang, waktu, tenaga dan sebagainya. Pelaksanaan proses pendidikan
yang efisien adalah apabila pendayagunaan sumber daya seperti waktu, tenaga dan
biaya tepat sasaran, dengan lulusan dan produktifitas pendidikan yang optimal.
Pendidikan yang efektif
adalah pelaksanaan pendidikan dimana hasil yang dicapai sesuai dengan rencana
atau program yang telah ditetapkan sebelumnya. Jika rencana belajar yang telah
direncanakan tidak terlaksana dengan sempurna, maka pelaksanaan pendidikan
tersebut tidak efektif. Tujuan dari pelaksanaan pendidikan adalah untuk
mengembangkan kualitas SDM sedini mungkin, terarah, terpadu dan menyeluruh
melalui berbagai upaya. Ketidakefektifan pelaksanaan pendidikan tidak akan
mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Melainkan akan menghasilkan lulusan
yang tidak diharapkan. Keadaan ini akan menghasilkan masalah lain seperti
pengangguran.
Penanggulangan masalah
pendidikan ini dapat dilakukan dengan peningkatan kulitas tenaga pengajar. Jika
kualitas tenaga pengajar baik, bukan tidak mungkin akan meghasilkan lulusan
atau produk pendidikan yang siap untuk mengahadapi dunia kerja. Selain itu,
pemantauan penggunaan dana pendidikan dapat mendukung pelaksanaan pendidikan
yang efektif dan efisien. Pelaksanaan pendidikan yang lebih terorganisir dengan
baik juga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pendidikan. Pelaksanaan
kegiatan pendidikan seperti ini akan lebih bermanfaat dalam usaha penghematan
waktu dan tenaga.
4. Tata
pengelolaan sekolah yang baik (good
goverment)
Dalam
MBS, sekolah diberi kewenangan (authority) dan tanggung jawab (responsibility) yang lebih besar dalam era otonomi pendidikan.
Kewenagan dan tanggung jawab yang lebih besar ini hanya dapat diselenggarakan
dengan baik apabila sekolah didukung oleh penyelenggaraan tata kelola yang
baik, meliputi partisipasi, transparasi, tanggungjawab, akuntabilitas, wawasan
kedepan, penegakan hukum, keadilan, demokrasi, prediktif, kepekaan,
profesionalisme, efektifitas dan efisiensi, dan kepastian jaminan hukum.
Dari
sekian banyak tata kelola tersebut, terdapat tiga jenis tata kelola yang paling
penting yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Tata kelola yang
lain bukan berarti tidak penting, tetapi tiga hal ini yaitu partisipasi,
transparansi, dan akuntabilitas meupakan prioritas yang harus dimiliki oleh
sekolah dalam kerangka untuk melaksanakan MBS dengan baik.
a. Partisipasi
Partisipasi
adalah proses dimana stakeholders (warga
sekolah dan masyarakat) terlibat aktifbaik secara individual maupun kolektif,
secara langsung maupun tidak langsung, dalam pengambilan keputusan, pembuatan
kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/ pengevaluasian pendidikan di
sekolah.
Pengggalakkan
partisipasi dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi,
maka semakin besar rasa memiliki; maikin besar rasa memiliki, maka semakin
besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, maka makin
besar pula tingkat dedikasi atau kontribusinya.
b. Transparansi
Transparansi
sekolah adalah keadaan dimana setiap orang yang terkait dengan kepentingan
pendidikan dapat megetahui proses dan hasil pengambilan keputusan serta
kebijakan sekolah. Transparansi menjamin bahwa data sekolah yang dilaporkan
sesuai dengan realitas.
c. Akuntabilitas
Akuntabilitas
adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan
menerangkan kinerja dan tidakan penyelenggara organisasi kepada pihak yang
memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau
pertanggungjawaban. Pertanggungjawabab penyelenggara sekolah merupakan akumulasi
dari keseluruhan peleksanaan tugas-tugas pokok dan fungsi sekolah yang perlu
disampaikan kepada publik/stakeholders.
Sekolah
dikatakan memiliki akuntabilitas tinggi jika proses dan hasil kinerja sekolah
dianggap benar dan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Kriteria Keberhasilan MBS meliputi:
a.
MBS dianggap berhasil
apabila jumlah siswa yang mendapat pelayanan pendidikan semakin meningkat.
b. Semakin
terciptanya kegiatan belajar mengajar yang aktif-menyenangkan di semua kelas
sepanjang hari.
c.
MBS dianggap berhasil
apabila kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik.
d. Tingkat tinggal kelas
menurun dan produktivitas sekolah semakin baik dalam arti rasio antara jumlah
siswa yang mendaftar dengan jumlah siswa yang lulus menjadi semakin besar.
e. Relevansi
penyelenggaraan pendidikan semakin baik.
f. Adanya keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan.
g. Meningkatnya keterlibatan stakeholders.
h. Semakin baiknya iklim
dan budaya kerja di sekolah.
i. Kesejahteraan guru dan
staf sekolah membaik
j.
Demokratisasi
dalam penyelenggaraan pendidikan.
2.
Kunci Keberhasilan MBS
a. Mengadopsi
suatu perspektif yang lebih luas akan suatu sistem.
b. Memahami
konteks perubahan.
c. Mengembangkan
perspektif dan keterampilan tentang kepemimpinan.
d. Menciptakan
visi bersama.
e. Pengembangan
keterampilan strategi perencanaan
pembelajaan.
f. Tenaga pendidik mampu mendefinisikan
peran baru.
g. Memperbaiki
lingkungan kerja.
h. Pemahaman
akan dinamika kelompok
i. Memperjelas
akuntabilitas.
3.
Faktor penghambat keberhasilan MBS
a.
Tidak berminat untuk terlibat.
b.
Tidak efisien.
c.
Pikian kelompok.
d.
Memerlukan pelatihan.
e.
kebingungan atas peran dan tanggung jawab
baru.
f.
Kesulitan koordinasi.
4.
Tonggak-tonggak keberhasilan MBS:
a.
Pemerataan pendidikan
(kesamaan kesempatan antara siswa-siswa baik desa maupun kota, miskin maupun
kaya, laki-laki maupun perempuan, dsb).
b.
Kualitas pendidikan (input,
proses, output).
c.
Efektifitas dan
efisiensi pendidikan (angka kenaikan kelas, angka kelulusan, angka putus
sekolah, dsb).
d.
Tata pengelolaan
sekolah yang baik (good goverment)
B.
Saran
Kunci keberhasilan MBS merupakan tanggung jawab semua pihak sekolah beserta seluruh stakeholders. Untuk
itu, semua pihak sekolah dan pihak stakeholdes diharapkan dapat mengemban tanggung jawabnya masing-masing
sesuai dengan perannya, sehingga dapat mewujudkan tercapainya kebehasilan suatu program MBS yang telah dicanangkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional.
2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Nurkolis. 2003. Manajemen
Berbasis Sekolah (teori, model, dan aplikasi). Jakarta: PT Gramedia
Widiasara Indonesia.
Isjoni. 2006. Membangun Visi
Bersama, As[ek-aspek Penting dalam Reformasi Pendidikan. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar