BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu strategi wajib yang Indonesia
tetapkan sebagai standar dalam mengembangkan keunggulan pengelolaan
sekolah. Penegasan ini dituangkan dalam USPN Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 51
ayat 1 bahwa pengelolaan satuan pendidikan pendidikan menengah dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah. MBS merupakan model aplikasi manajemen institusional yang
mengintegrasikan seluruh sumber internal dan eksternal dengan
lebih menekankan pada pentingnya menetapkan kebijakan melalui perluasan
otonomi sekolah. Sasarannya adalah mengarahkan perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi kebijakan dalam rangka mencapai tujuan. Spesifikasinya berkenaan
dengan visi, misi, dan tujuan yang dikemas dalam pengembangan kebijakan dan
perencanaan.
MBS
merupakan salah satu strategi meningkatkan keunggulan sekolah dalam mencapai
tujuan melalui usaha mengintegrasikan seluruh kekuatan internal dan eksternal.
Pengintegrasian sumber daya dilakukan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan
sampai pada evaluasi atau kontrol. Strategi penerapannya dikembangkan dengan
didasari asas keterbukaan informasi atau transparansi, meningkatkan
partisipasi, kolaborasi, dan akuntabilitas.
Tantangan
praktisnya adalah bagaimana sekolah meningkatkan efektivitas kinerja secara
kolaboratif melalui pembagian tugas yang jelas antara sekolah dan orang
tua siswa yang didukung dengan sistem distribusi informasi, menghimpun
informasi dan memilih banyak alternatif gagasan dari banyak pihak untuk
mengembangkan mutu kebijakan melalui keputusan bersama.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, didapatkan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi implementasi MBS?
2. Bagaimana model-model MBS?
3. Bagaimana prospek guru dalam MBS?
4. Bagaimanakah keefektifitasan MBS?
5. Bagaimana efisiensi dalam MBS?
6. Bagaimana produktivitas pendidikan dalam MBS?
7. Apa saja langkah-langkah penyusunan MBS ?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui strategi implementasi MBS
2. Mengetahui model-model MBS
3. Mengetahui prospek guru dalam MBS
4. Mengetahui keefektifan MBS
5. Mengetahui keefisiensian MBS.
6. Mengetahui produktivitas pendidikan dalam MBS.
7. Mengetahui langkah-langkah dalam penyusunan MBS.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Strategi Implementasi MBS
Implementasi MBS akan berjalan secara efektif dan efisien apabila didukung
oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana
yang cukup agar sekolah mampu membiayai staf sesuai dengan fungsinya, sarana
dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar, serta
dukungan masyarakat (orang tua) yang tinggi.
Kondisi sekolah-sekolah di Indonesia saat ini sangat bervariasi dilihat
dari segi kualitas (sangat maju sampai dengan sangat ketinggalan), lokasi
sekolah (perkotaan sampai dengan daerah terpencil), dan partisipasi masyarakat
(mulai dari partisipasi yang tinggi, sedang, sampai dengan yang tidak berpartisipasi
sama sekali). Kondisi-kondisi tersebut merupakan permasalahan rumit yang perlu
ditangani antara lain dengan cara mengimplementasikan MBS.
BPPN dan Bank
dunia (1999) telah melakukan berbagai kajian, antara lain telah mengembangkan
strategi pelaksanaan MBS, yang meliputi pengelompokan kepala sekolah
berdasarkan kemampuan manajemen, pentahapan pelaksanaan MBS, dan perangkat
pelaksanaan MBS.
1.
Pengelompokan Sekolah
Mulyasa (2006: 59) mengemukakan bahwa, agar MBS dapat diimplementasikan
secara optimal, perlu adanya pengelompokkan sekolah berdasarkan tingkat
kemampuan manajemen masing-masing sekolah. Hal ini dimaksudkan untuk
mempermudah pihak-pihak terkait dalam memberikan dukungan.
Kelompok Sekolah Dalam MBS
Kemampuan
Sekolah
|
Kepala
sekolah dan guru
|
Partisipasi
Masyarakat
|
Pendapatan
daerah dan orang tua
|
Anggaran
sekolah
|
1.
Sekolah
dengan kemampuan manajemen tinggi
|
Kepala sekolah dan guru berkompetensi tinggi (termasuk
kepemimpinan
|
Partisipasi masyarakat tinggi (termasuk dukungan dana)
|
Pendapatan daerah dan orang tua tinggi
|
Anggaran sekolah di luar anggaran pemerintah besar
|
2.
Sekolah
dengan kemampuan manajemen sedang
|
Kepala sekolah dan guru berkompetensi sedang (termasuk
kepemimpinan)
|
Partisipasi masyarakat sedang (termasuk dukungan dana)
|
Pendapatan daerah dan orang tua sedang
|
Anggaran sekolah di luar anggaran pemerintah sedang
|
3.
Sekolah
dengan kemampuan manajemen rendah
|
Kepala sekolah dan guru berkompetensi rendah (termasuk
kepemimpinan)
|
Partisipasi masyarakat rendah (termasuk dukungan dana)
|
Pendapatan daerah dan orang tua rendah
|
Anggaran sekolah di luar anggaran pemerintah kecil atau tidak ada
|
Pengelompokkan ini
menunjukkan beragamnya kemampuan sekolah dalam melaksanakan manajemen. Usaha
yang harus dilakukan oleh sekolah serta perlakuan pemerintah terhadap sekolah
haruslah berbeda sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh sekolah. Di
sini hendaknya pemerintah melakukan upaya-upaya yang mendukung dan membantu
sekolah-sekolah dengan kemampuan manajemen yang kurang untuk dapat
mempersiapkan dan melaksanakan MBS dengan baik.
2.
Pentahapan Implementasi MBS
Penerapan MBS secara
menyeluruh sebagai realisasi desentralisasi pendidikan memerlukan
perubahan-perubahan tentang aspek-aspek yang menyangkut keuangan, ketenagaan,
kurikulum, sarana dan prasarana, serta partisipasi masyarakat. Hal ini
merupakan permasalahan pendidikan yang rumit yang akan mempengaruhi kecepatan
waktu pelaksanaan MBS. Oleh karena itu, MBS diyakini akan dapat dilaksanakan
paling tidak melalui tiga tahap yaitu :
a. Jangka pendek (tahun pertama sampai dengan tahun ketiga)
b. Jangka menengah (tahun keempat sampai dengan tahun keenam),
c. Jangka panjang (setelah tahun keenam).
Pelaksanaan
jangka pendek diprioritaskan pada kegiatan yang tidak memerlukan perubahan
mendasar terhadap aspek- aspek pendidikan misalnya sosialisasi dan pelatihan
pelaksanaan MBS, sedangkan perubahan- perubahan mendasar tentang aspek- aspek
pendidikan dapat dilakukan sebagai strategi jangka menengah dan panjang.
Fattah (2000) dalam
Mulyasa (2006: 62) mengemukakan bahwa secara garis besar, tahap implementasi
MBS ada tiga, yaitu :
a.
Tahap sosialisasi
Tahap sosialisasi
penting karena mengingat luasnya wilayah nusantara terutama daerah- daerah yang
sulit dijangkau oleh media cetak maupun elektronik
b.
Piloting
Tahap piloting atau tahap uji coba dimaksudkan agar penerapan konsep MBS tidak mengandung resiko. Pada tahap
ini terdapat empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1)
Sumber Daya
Sekolah harus
memiliki fleksibilitas dalam mengelola sumber daya sehingga sesuai dengan
kebutuhan setempat.
2)
Output
yang dihasilkan
Sekolah harus
menghasilkan output yang terukur. Output adalah indikator kinerja sekolah.
Secara garis besar, pencapaian output dibagi menjadi dua yaitu pencapaian
akademik (misalnya nilai UAN), pencapaian non akademik (misalnya prestasi
olahraga).
3)
Proses
Sekolah yang
menerapkan MBS memiliki efektivitas proses belajar mengajar yang tinggi.
Iniditunjukan dengan menekankan pada pemberdayaan peserta didik sumber daya
sekolah.
4)
Inovasi
Inovasi
pendidikan dapat berbentuk ide, program, layanan, proses, perubahan atau
teknologi yang diimplementasikan dalam sistem pendidikan.
c.
Desiminasi
Tahap diseminasi atau tahap memasyarakatkan model MBS yang telah diuji coba
ke berbagai sekolah agar sekolah dapat mengimplementsaikannya secara efektif
dan efisien.
3.
Perangkat Implementasi MBS
Implementasi MBS memerlukan
seperangkat peraturan dan pedoman umum yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam
perencanaan, monitoring dan evaluasi, serta laporan pelaksanaan. Perangkat
implementasi ini perlu diperkenalkan sejak awal, melalui pelatihan- pelatihan
yang diselenggarakan sejak pelaksanaan jangka pendek.
Agar efektif, pelaksanaan MBS
memerlukan perangkat pelaksanaan sebagai berikut :
Perangkat Pelaksanaan MBS
No.
|
Perangkat
|
Bentuk
|
Program Kerja
|
A
|
Kesiapan
sumberdaya manusia yang terkait dengan pelaksanaan MBS
|
1.
Sosialisasi
2.
Pelatihan
3.
Uji Coba
|
1.1 Media
Massa
1.2 Diskusi
dan forum ilmiah
Pelatihan kepala sekolah,
pengawas, guru, dan unsur terkait lainnya.
Dipilih daerah dan sekolah yang
mewakili kriteria sebagai uji coba SBM
|
B
|
Kategori
sekolah dan daerah
|
1. Jenjang
sekolah
2. Kemampuan
manajemen sekolah
3. Kriteria
Daerah
|
1.1 SD/MI:
negeri dan swasta
1.2 SLTP/MTs:
negeri dan swasta
2.1
Sekolah dengan kemampuan manajemen tinggi
2.2 Sekolah dengan kemampuan manajemen sedang
2.3 Sekolah dengan kemampuan manajemen rendah
3.1 Daerah
dengan pendapatan daerah tinggi
3.2 Daerah
dengan pendapatan daerah sedang
3.3 Daerah
dengan pendapatan daerah rendah
|
C
|
Peraturan
/ kebijakan dan pedoman
|
1.
Peraturan dari pusat
2.
Pedoman pelaksanaan SBM
|
Perlu
dirumuskan seperangkat peraturan yang diperlukan untuk pelaksanaan otonomi
pada masing- masing unsur
Pedoman
dari pusat perlu dirumuskan sedemikian rupa meliputi kerangka nasional dan
otonomi sekolah.
|
D
|
Rencana
Sekolah
|
Rencana
sekolah disusun oleh sekolah dengan partisipasi masyarakat yang tergabung
dalam “Dewan Sekolah”. Rencana Sekolah harus mendapat persetujuan dari Dati
II.
|
Rencana
sekolah merupakan program yang akan dilaksanakan sekolah misalnya 3 tahun.
Rencana ini dititikberatkan untuk yang akan dicapai sekolah, misalnya
meningkatkan kualitas belajar.
|
E
|
Rencana
Pembiayaan
|
Rencana
Anggaran Sekolah yang disetujui Dati II
|
Anggaran
di sini termasuk sumber dana dari pemerintah, orang tua, dan masyarakat.
|
F
|
Monitoring
dan evaluasi internal
|
Monitoring
dan evaluasi internal (self assesment)
yang dilakukan oleh diri sendiri.
|
Kegiatan
ini menghasilkan laporan tahunan yang berisi laporan sekolah dan “dewan
sekolah” tentang pelaksanaan kegiatan sekolah berdasarkan perencanaan sekolah
dan anggaran seta kemajuan yang dicapai selama tahun yang bersangkutan.
|
G
|
Monitoring
dan evaluasi eksternal
|
Monitoring
dan evaluasi oleh pihak eksternal
|
Kegiatan
ini dilakukan oleh pengawas, Dati II, Pusat/Dati I. Monitoring dan evaluasi
ini dilakukan berdasarkan rencana sekolahdan angaran. Hasil ini akan
digunakan sebagai tolok ukur apakah sekolah akan memperolah tampbahan dana,
tetap atau pengurangan pada tiga tahun berikutnya.
|
H
|
Laporan
akhir
|
Laporan
akhir disusun oleh “Dewan Sekolah”
|
Sekolah
dan “Dewan Sekolah” bersama sama menyusun laporan akhir. Laporan akhir berisi
laporan pengelolaan sekolah selama 3 tahun yang berisi kemajuan, kegagalan,
dan hambatan yang dihadapi dengan melampirkan baik evaluasi monitoring
internal maupun eksternal
|
B.
Model MBS
1.
Model Australia
Satori (1999)
dalam Mulyasa (2006:71-74) menyajikan model MBS yang telah diimplementasikan di
Australia adalah sebagai berikut:
a)
Konsep Pengembangan
MBS atau School Based Managementmerupakan
refleksi pengelolaan desentralisasi pendidikan di Australia. MBS menempatkan
sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan
menyangkut visi, misi, dan tujuan/sasaran sekolah yang membawa implikasi
terhadap pengembangan kurikulum sekolah dan program-program operatif
lainnya.MBS dibangun dengan memperhatikan kebijakan dan panduan dari pemerintah
Negara bagian dan partisipasi masyarakat melalui school council (SC)
serta parent and community association (P&C).
b)
Ruang Lingkup Kewenangan
Aspek kewenangan dalam MBS meliputi:
· Menyusun serta
mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil
belajar.
· Melakukan
pengelolaan sekolah yang menggambarkan kadar pelaksanaan MBS.
· Membuat
perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban pelaksanaan MBS.
· Menjamin dan
mengusahakan sumber daya.
c)
Jenis Pengorganisasian MBS
Pengorganisasian pengelolaan sekolah
menggambarkan kadar kewenangan yang diberikan kepada sekolah.
· Standar
Flexibility Option (SO)
Dalam hal ini, peran dan dukungan kantor
distrik lebih besar. Kepala sekolah hanya bertanggung jawab terhadap penyusunan
rencana sekolah dan pelaksanaan pelajaran. Kantor distrik bertanggungjawab
terhadap pengesahan dan monitoring serta sebagai penasehat.
· Enchanced
Flexibility Option (EO1)
Peran sekolah bertanggung awab untuk menyusun
rencana strategis sekolah untuk tiga tahun dengan bimbingan dan pengesahan dari
kantor distrik. Kantor distrik berperan dalam (1) memberikan dukungan kepada
kepala sekolah dalam peplaksanaan monitoring internal; (2)
menandatangani/membenarkan isi rencana sekolah.
· Enchanced
Flexibility Option (EO2)
Distrik hanya berperan sebagai lembaga
konsultasi.Kantor distrik hanya membrikan dokumen yang disusun dan disahkan
oleh sekolah bersama school council berupa school planning overview,
school annual playing, dan school annual report. Dalam http://uyunkperduli.webnode.com/news/mbs/ dikemukakan penjelasan-penjelasan beberapa ahli megenai implementasi
berbagai model MBS.
2.
Model
MBS di Kanada
Abu-Duhou, I
(1999:37-55) mengemukakan bahwa Model MBS yang diterapkan di Kanada lebih
dikenal dengan pendelegasian keuangan (financial delegation). Gerakan ke
arah MBS dimulai di Edmonton Public School District, Alberta, dimana pendekatan
yang digunakan dikenal sebagai “School-site decision-making”, yang telah
menghasilkan desentralisasi alokasi sumber daya, baik tenaga pendidik dan
kependidikan, perlengkapan, barang-barang keperluan sekolah. maupun layanan
pendidikan. Langkah awal dimulai pertengahan tahun 1970 dengan tujuh sekolah
rintisan, dan diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan
manajemen-mandiri (self management) secara komprehensif pada tahun
1980-1981, yang pada akhirnya hingga saat ini telah dilembagakan.
Ciri model ini
adalah tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Di tahun 1986,
sekolah rintisan yang melibatkan 14 sekolah, memperluas pendekatan dengan
melibatkan layanan konsultan pusat. Ciri penting di sini adalah model formula-alokasi-sumber
daya.Sekolah menerima alokasi secara “lumpsum” ditambah suplemen yang
menggambarkan biaya layanan konsultan yang secara historis pernah dilakukan,
sesuai dengan tipe sekolah dan tingkat kebutuhan siswa. Alokasi tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam anggaran yang berbasis sekolah (school based
budget). Standar biaya untuk berbagai tipe layanan (service)
kemudian ditentukan.Tagihan pembayaran kepada sekolah pun sesuai dengan layanan
yang dimintanya.Sekolah dapat memilih jenis layanan selain yang disediakan oleh
daerah.Program pengefektifan guru juga diadakan tahun 1981. Pada tahun
1986-1987 program pengembangan profesional guru dengan pendanaan dari “school
based budget” dilakukan setengah hari per minggu. Kegiatan ini menjangkau
sebagian besar sekolah dan mencapai sekitar 50 % guru-guru.
Dalam rangka
menjamin akuntabilitas, proses monitoring dikembangkan. Para siswa pada tahun
ke-3, 6, 9, dan 12, secara reguler diuji untuk semua bidang bidang pada
kurikulum.Benchmark atau standar tingkat kemampuan atau prestasi yang
dicapai, kemudian ditentukan, dan digunakan sesudah tahun 1987 sebagai dasar
perbandingan prestasi siswa pada tahun berikutnya. Setiap tahun, survai
pendapat dilakukan kepada siswa, guru, kepala sekolah, staf daerah, dan orang
tua siswa yang memungkinkan dilakukannya pengklasifikasian tingkat kepuasan
mereka dalam kaitan dengan peran-peran mereka.
Pada tahun
1994, Provinsi Alberta merencanakan untuk memulai restrukturisasi sistem secara
keseluruhan. Restrukturisasi itu berkaitan dengan meng-undang-kan reformasi
yang luas di bidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada Departemen
Pendidikan yang lebih kecil, pengurangan jumlah “school district” secara
drastis dari 140 menjadi 60, serta penyerahan sebagian besarkewenangan kepada
tingkat sekolah. Ciri kunci reformasi ini terletak pada peningkatan
keterlibatan orang tua, masyarakat, dan kalangan bisnis, dengan kewenangan
untuk pengambilan keputusan dalam layanan pendidikan, termasuk penyediaan
sumber daya, dan menentukan hasil yang akan dicapai. Pengenalan “Charter
Schools” dengan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan, juga dituangkan di
dalam perundangan yang baru.
3.
Model MBS di Hongkong
Model MBS di
Hongkong lebih dikenal sebagai School Management Initiative (SMI), yang
menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Lahirnya kebijakan
SMI ini ialah untuk memecahkan beberapa masalah-masalah pendidikan, seperti:
tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan
tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan, menekankan pada kontrol yang
mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta
menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai
uang.
Cheng (1996:
44) menyatakan bahwa munculnya model SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki
mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan,
perbaikan pada input sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar
seperti program remedial, bimbingan siswa, dan beberapa penataran dalam-jabatan
(inservice training). Kebijakan ini mengubah model manajemen yang
sentralistik, serta memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam hal
pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan.
Model SMI
menetapkan peran-peran mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah,
terutama sponsor, “managers” dan kepala sekolah. Hal tersebut memberikan
peluang yang lebih besar bagi guru, orang tua, dan alumni (former students)
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making),
manajemen; mendorong perencanaan dan evaluasi kegiatan sekolah yang lebih
sistematik, serta memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah
dalam hal pemanfaatan sumber daya yang dimiliki.
Prinsip
penyelenggaraan sekolah menekankan pada manajemen bersama (joint management),
serta mendorong partisipasi guru, orang tua, dan siswa dalam penyelenggaraan
sekolah. Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu: (a) peran
dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan; (b) peran baru bagi komite
manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah; (c)
fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah; (d) partisipasi dalam
pengambilan keputusan; serta (5) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas.
Kerangka acuan
akuntabilitas tersebut mencatat dua hal penting, yaitu tingkatan individual dan
tingkatan sekolah secara menyeluruh.
Pertama, sistem
pelaporan atau penilaian direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan
kepada dewan manajemen sekolah, serta memperhatikan penilaian yang dimiliki
oleh Departemen Pendidikan, sebagai langkah awal.
Kedua, akuntabilitas
sekolah sebagai suatu keseluruhan. Setiap sekolah perlu membuat rencana tahunan
sekolah, menetapkan tujuan dan kegiatan yang ingin dicapai pada tahun yang akan
datang, serta mempertanggungjawabkannya. Perencanaan sekolah yang dibuat,
memungkinkan sekolah untuk menentukan prioritas, membuat alokasi anggaran, dan
mengkomunikasikan arah dan tujuan kepada masyarakat. Sekolah juga diminta untuk
membuat profil sekolah tahunan yang memuat kegiatan pada tahun sebelumnya –
yang digunakan untuk memetakan pencapaian pada sejumlah indikator seperti
prestasi belajar siswa pada mata pelajaran utama, kegiatan non-akademis, profil
tenaga kependidikan dengan memberikan gambaran tentang pergantian staf,
kualifikasi, dan kompetensinya.
4.
Model MBS di
Indonesia
Dasar hukum
penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan
sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Sebelumnya,
pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang
pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan
untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi
masyarakat. Sebagai contoh, rintisan program MBS di SD dan MI telah dilakukan
untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Program ini menekankan pada tiga
komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM),
dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga
komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk
mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkannmanajemen berbasis
sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan
memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Pada tahun 1999
dengan bekerjasama serta bantuan dari UNESCO dan UNICEF, program MBS telah
dirintis di 124 SD/MI, yang tersebar di 7 kabupaten pada propinsi Jawa Tengah
(Kabupaten Magelang, Banyumas, dan Wonosobo), Jawa Timur (Kabupaten
Probolinggo), Sulawesi Selatan (Kabupaten Bontang), dan NusaTenggara Timur
(Kota Kupang). Selanjutnya, pada tahun 2002, pemerintah New Zealand membantu
pendanaan untuk memantapkan dan menyebarkan program tersebut di tujuh
kabupaten/kota rintisan serta untuk mendiseminasikan program ke tujuh kabupaten
lainnya di Indonesia Timur, termasuk Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Jumlah SD/MI berkembang menjadi 741 SD/MI. Diseminasi program oleh Unicef di
sejumlah kabupaten di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana
dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank.
Beberapa
bantuan juga diberikan oleh lembaga bantuan Australia (AusAID), sehingga pada
tahun 2004 program tersebut telah berkembang ke 40 kabupaten di 9 propinsi
dengan 1479 SD/MI. Replikasi program juga telah dilaksanakan oleh pemerintah
pusat (Depdiknas) di 30 propinsi di Indonesia di bawah lambang “MBS”. Juga, USAID
– lembaga bantuan dari pemerintah Amerika Serikat juga telah mengembangkan
program MBS sejenis di Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu Managing Basic
Education (MBE), serta pada tahun 2004 model MBS juga dilaksanakan di tiga
kabupaten Jawa Timur dengan dukungan Indonesia – Australia Partnership in
Basic Education (IAPBE). Mulai tahun 2005, USAID juga memberikan bantuan
untuk model MBS ini di 7 propinsi di Indonesia melalui program Decentralized
Basic Education (DBE).
Usaha-usaha
implementasi MBS di Indonesia terus dilakukan dalam kerangka meningkatkan mutu
pendidikan. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih
mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Menurut
Nurcholis (2003:108), sekolah yang menerapkan MBS mempunyai sejumlah ciri,
yaitu memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, bersifat adaptif, antisipatif,
dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab
terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen
dan sumber dayanya dan kondisi kerja, mempunyai komitmen yang tinggi pada
dirinya, menjadikan prestasi sebagai acuan dalam penilaian, memiliki kemampuan
memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, serta meningkatnya
kualitas proses pembelajaran.
C.
Prospek Guru Dalam MBS
Pemerintah
republik Indonesia telah melakukan berbagai kebijakan terhadap guru. Ditetapkannya Undang Undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen merupakan dasar kebijakan untuk memperkuat
eksistensi tenaga kependidikan sebagai tenaga profesional, seperti
profesi-profesi yang lainnya. Kualitas profesi tenaga guru selalu diupayakan, baik melalui ketentuan kualifikasi
pendidikannya maupun kegiatan in-service training, dengan berbagai bentuknya
seperti: pendidikan dan latihan (diklat), penataran dan pelibatan dalam
berbagai seminar untuk meng-update wawasannya dalam kompetensi pedagogi dan
akademik. Pemerintah mulai menyadari betapa strategisnya peran tenaga guru dalam mengantarkan generasi muda untuk menjadi
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan kompetitif sehingga mampu
mewujudkan suatu kesejahteraan bersama. Sejarah peradaban dan kemajuan
bangsa-bangsa di dunia membelajarkan pada kita bahwa bukan sumber daya alam
(SDA) melimpah yang dominan mengantarkan bangsa tersebut menuju pada
kemakmuran, tetapi ketangguhan daya saing dan keunggulan ilmu pengetahuan dan
penguasaan teknologi (ipteks) bangsa tersebutlah yang berperanan untuk meraup
kesejahteraan. Bahkan SDM yang menguasai ipteks cenderung memanfaatkan
teknologinya untuk menguasai SDA bangsa lain.Dinamika perkembangan masyarakat
melaju sangat pesat seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
sehingga menuntut semua pihak untuk beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
dalam di masyarakat.
Dalam
menerapkan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, perlu identifkasi
urusan-urusan yang ditangani pusat dan yang dilimpahkan ke daerah. Hal ini
perlu dilakukan secara bertahap dan selektif dengan mempertimbangkan
kepentingan sebagai berikut:
1. Alokasi jatah guru yang diangkat di tiap daerah berdasarkan formasi
secara nasional sesuai dengan anggaran yang tesedia.
2. Penggajian guru yang bersumber dari RAPBN meengacu pada sistem
penggajian pegawai negeri disertai tunjangan profesionalnya.
3. Mutasi guru antar propinsi.
4. Pembuatan rambu-rambu (guide lines) yang berisi syarat-syarat
minimal tentang kwalifikasi minimal calon guru, sistem rekrutmen, sistem
pembinaan mutu, sistem pengembangan karier, serta penempatan dan mutasi guru
antar propensi.
5. Evaluasi dan monotoring terhadap pelaksanaan standar-standar
nasional oleh daerah beserta sangsinya.
Sedangkan urusan-urusan yang dilimpahkan ke daerah , dengan
berpedoman kepada standar nasional yang disusun oleh pusat, adalah sebagai
berikut:
a.
Rekrutmen dan
seleksi calon guru yang akan diangkat sebagai PNS.
b.
Rekrutmen dan
peningkatan calon guru untuk memenuhi kebutuhan khusus (guru kontrak, guru
bantu, guru pengganti sementara) yang anggarannya menjadi beban daerah atau
proyek-proyek khusus yang didanai oleh pusat.
c.
Penempatan atau
mutasi guru dalam lingkup daerah yang bersangkutan.
d.
Penilaian
kinerja guru dalam rangka kenaikan pangkat, promosi jabatannya, dan pemberian tunjangan atas
dasar prestasinya.
e.
Penetapan
jumlah dan pemberian tunjangan daerah sesuai dengan kemampuan daerah yang
bersangkutan (di luar gaji/ tunjangan sebagai PNS).
f.
Pembinaan mutu
guru melalui pelatihan, penataran serta wahana-wahana lainnya.
D.
Efektifitas MBS
Setiap
orang memaknai ektiektifitas berbeda, sesuai sudut pandang, dan kepentingan
masing-masing. Hal tersebut di akui oleh Chung dan Maginson (1981, dalam Dr.
E.Mulyasa, M.Pd) “ Efektivenes means different to different people.” Dalam
kamus besar bahasa indonesia (1990:219) di kemukakan bahwa efektifitas berarti
ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), manjur atau mujarab, dapat
membawa hasil. Jadi efektifitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang
melaksanakan tugas dengan sasaran yang di tuju. Efektifitas adalah bagaimana
suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaaatkan sumber daya dalam usaha
mewujudkan tujuan operasional.
Berdasarkan
pengertian di atas dapat di kemukakan bahwa efektifitas berkaitan dengan
terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, dan
adanya partisipasi aktif dari anggota. Dengan demikian, efektifitas MBS berarti
bagaimana MBS berhasil melaksanakan semua tugas pokok sekolah, menjalin
partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumberdaya, sumberdana,
dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah.
Masalah
efektifitas biasanya berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat
pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau
perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan. Efektifitas manajemen
berbasis sekolah sebagaimana efektifitas pendidikan pada umumnya dapat dilihat
berdasarkan teori sistem dan dimensi waktu. Berdasarkan teori sistem, kriteria
efektifitas harus mencerminkan keseluruhan siklus input-proses-output, tidak hanya output atau hasil, serta harus
mencerminkan hubungan timbal balik antara manajemen berbasis sekolah dan
lingkungan sekitarnya. Adapun berdasarkan dimensi waktu, efektifitas manajemen
berbasis sekolah dapat diamati dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang.
Kriteria
efektivitas jangka pendek untuk menunjukan hasil kegiatan dalam kurun waktu
sekitar satu tahun, dengan kriteria kepuasan, efisiensi, dan produksi.
Efektivitas jangka menengah dalam waktu sekitar lima tahun, dengan kriteria
perkembangan serta kemampuan beradaptasi dengan lingkungan dan perusahaan.
Sementara kriteria efektifitas jangka panjang adalah untuk menilai waktu yang
akan datang (diatas lima tahun) digunakan kriteria kemampuan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup dan kemampuan membuat perencanaan strategis
bagi kegiatan dimasa depan.
Lipham
dan Hoeh (1987) meninjau efektifitas suatu kegiatan dari faktor pencapaian
tujuan, yang memandang efektifitas berkaitan dengan pencapaian tujuan bersama
bukan pencapaian tujuan pribadi. Suatu organisasi dan lembaga termasuk sekolah,
dikatakan efektif jika tujuan bersama dapat dicapai, dan belum bisa dikatakan
efektif, meskipun tujuan individu yang ada didalamnya dapat dipenuhi. Untuk
menilai efektifitas ukuran perilaku telah memadai, namun harus dihubungkan
dengan harapan-harapan yang harus dicapai melalui peranan yang dimainkannya. Sejalan dengan
itu, Steer (1985) mengungkapkan bahwa efektifitas adalah bagaimana organisasi
melaksanakan seluruh tugas pokoknya atau mencapai sasarannya.
Efektifitas
dapat dijadikan barometer untuk mengukur keberhasilan pendidikan. Dalam upaya
mengukur ini, terdapat dua istilah yang perlu diperhatikan, yaitu validasi dan evaluasi. Rae mengemukakan bahwa validasi dapat dilihat dari dua
sisi, yakni intern dan ekstern.Validasi intern merupakan serangkaian tes dan
penilaian yang dirancang untuk mengetahui secara pasti apakah suatu program
pendidikan telah mencapai sasaran yang telah ditentukan. Adapun validasi
ekstern merupakan serangkaian tes yang dirancang untuk mengetahui secara pasti
apakah sasaran perilaku dari suatu program pendidikan secara intern telah
valid.
Berkaitan
dengan evaluasi, sebagai kata kedua dalam membicarakan evaluasi, firman (1990)
menyebutkan bahwa evaluasi dapat digunakan untuk mengukur tiga tahapan, yakni
perencanaan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan. Selanjutnya ditegaskan bahwa
evaluasi yang baik dilaksanakan hanya apabila didasarkan pada rencana yang baik
pula. Oleh karena itu, kegiatan evaluasi dalam kaitannya dengan efektivitas
harus mengukur untung rugi, tidak hanya mengukur pencapaian sasaran belaka.
Pekerjaan
seseorang dikatakan efektif apabila dapat memberikan hasil sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan, atau sudah mampu mewujudkan tujuan organisasi
dalam aspek yang dikerjakan tersebut. Pada hakikatnya efektivitas organisasi
bukanlah efektivitas pribadi, melainkan efektifitas manajer, dan manajer yang
efektif akan menghasilkan manajemen yang efektif. Lebih lanjut kriteria MBS
yang efektif dapat dilihat dari kemampuannya dalam membuat sesuatu yang benar,
mengkreasikan alternatif-alternatif, mengoptimalkan berbagai sumber belajar dan
meningkatkan keuntungan sekolah.
Engkoswara
(1988) mengemukakan bahwa keberhasilan manajemen pendidikan adalah produktifitas
pendidikan yang dapat dilihat pada prestasi atau efektivitas dan pada
efisiensi. Aspek efektifitas dapat dilihat pada :
1.
Masukan yang
merata
2.
Keluaran yang
banyak dan bermutu tinggi
3.
Ilmu dan
keluaran yang gayut dengan kebutuhan masyarakat yang sedang dibangun
4.
Pendapatan
tamatan dan keluaran yang memadai.
Sejalan
dengan itu, Depdikbud (1988) mengidentifikasikan efektivitas sekolah dalakm dua
kelompok, yaitu efektifitas internal, dan efektifitas eksternal. Efektivitas
internal menunjuk pada keluaran pendidikan
yang tidak diukur secara moneter,
seperti prestasi belajar dan jumlah lulusan. Adapun efektifitas internal
menunjuk pada keluaran pendidikan yang bersifat moneter seperti tingkat
keberhasilan lulusan.
Indikator
dalam efektivitas MBS tidak hanya mengacu pada apa yang ada (input, process,
output dan outcome) tetapi juga apa yang terjadi atau proses.
Indikator-indikator tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Indikator Input; indikator
input ini meliputi karakteristik guru, fasilitas, perlengkapan, dan
perlengkapan dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen.
2.
Indikator process; indikator
proses ini meliputi perilaku administratif, alokasi waktu guru dan alokasi
waktu peserta didik.
3.
Indikator output;
indikator dari output ini berupa hasil-hasil dalam bentuk perolehan peserta
didik dan dinamikanya sistem sekolah,
hasil-hasil yang berhubungan dengan prestasi belajar, dan hasilhasil yang
berhubungan dengan perubahan sikap serta hasil-hasil yang berhubungan dengan
keadilan dan kesesamaan.
4.
Indikator outcome;
indikator ini meliputi jumlah lulusan ke
tingkat pendidikan berikutnya, prestasi belajar sekolah yang lebih tinggi dan
pekerjaan, serta pendapatan.
Kajian
tentang efektifitas pendidikan harus dilihat secara sistematik mulai dari
sistem input, process, output dan
outcome. Dengan indikator yang tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi juga bersifat kualitatif.
EfektifitasMBS
dapat dilihat dari efektifitas kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya yang
oleh Soergeovanni (1987) didefinisikan sebagai berikut:
1.
Produktifitas; bagaimanapeserta
didik, guru, kelompok dan sekolah pada umumnya telah mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
2.
Efisiensi; perbanding
individu dan prestasi sekolah dengan biaya yang dikeluarkan untuk
mencapaiprestasi tersebut.
3.
Kualitas; tingkat dan
kualitas usaha, tujuan, jasa hasil dan kemampuan yang dihasilkan oleh peserta
didik dan sekolah.
4.
Pertumbuhan; perbaikan
kualitas kepedulian dan inovasi, tantangan dan prestasi dibandingkan dengan
kondisi dimasa lalu.
5.
Ketidakhadiran; yang berkaitan
dengan ju mlah waktu dan frekuensi ketidak hadiran peserta didik, guru dan
pegawai sekolah lainnya.
6.
Perpindahan; jumlah
perpindahan dan tetapnya peserta didik, kepala sekolah dan pegawai lainnya.
7.
Kepuasan kerja guru;
bagaimana tingkat kesenangan yang dirasakan guru terhadap berbagaim macam
pekerjaan yang dilakukannya.
8.
Kepuasan peserta didik;
bagaimana peserta didik merasa senang menerima pelajaran untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
9.
Motivasi; kekuatan
kecenderungan dan keinginan guru, peserta didik dan pekerja sekolah untuk
melibatkan diri dalam kegiatan atau pekerjaan sekolah. Hal tersebut bukanlah
perasaan senang yang relatif terhadap hasil berbagai peker jaan sebagaimana
halnya kepuasan, tetapi lebih merupakan sedia atau rela bekerja untuk mencapai
tujuan pekerjaan atau sekolah.
10.
Semangat; perasaan
senang guru, peserta didik dan personil sekolah lain terhadap sekolahnya,
sehingga mereke merasa bahagia menjadi bagian atau anggota sekolah.
11.
Kepaduan; bagaimana
peserta didik dan guru-guru saling menyukai satu sama lain, bekerjasma dengan
baik, berkomunikasi secara penuh dan terbuka serta mengkoordinasikan
usaha-usaha mereka.
12.
Keluasan dan adaptasi;
kemampuan sekolah untuk mengubah prosedur dan cara-cara operasinya dalam
merespon perubahan masyarakat dan lingkungan lainnya.
13.
Perencanaan dan perumusan tujuan;
bagaimana anggota sekolah merencanakan langkah-langkah pada masa yang akan
datang dan menghubungkan dengan perumusan dan pencapaian tujuan.
14.
Konsensus tujuan;
bagaimana anngggota masyarakat, orang tua dan peserta didik menyepakati tujuan
yaang sama disekolah.
15.
Internalisasi tujuan organisasi;
penerimaan terhadap tujuan sekolah dan keyakinan para orang tua, guru dan
peserta didik bahwa tujuan sekolah itu benar dan layak.
16.
Keahlian manajemen dan kepemimpinan; keseluruhan kemampuan kepala sekolah, superfisor dan pimpinan
lainnya dalam melaksanakan tugas-tugas sekolah.
17.
Manajemen informasi dan komunikasi; kelengkapan, efisiensi, penyebaran
dan akurasi dari informasi dipandang penting bagi Befektivitas
sekolah oleh semua bagian yang berkepentingan termasuk guru, orang tua dan masyarakat luas.
18.
Kesiagaan; penilaian
menyeluruh sehibungan dengan kemungkinan bahwa sekolah mampu menyelesaikan
sesuatu tugas khusu untuk mencapai beberapa tujuan khusus dengan baik jika
diminta.
19.
Pemanfaatan lingkungan;
bagaimana sekolah berhasil berinteraksi dengan masyarakat, lingkungannya yang
lain, serta mmeperoleh sumberdaya dan dukungan yang langka dan berharga yang
diperlukan untuk operasi yang efektif.
20.
Penilaian oleh pihak luar;
penilaian yang layak mengenai sekolah oleh individu, organisasi dan kelompok
dalam masyarakat yang berhubungan dengan sekolah.
21.
Stabilitas; kemampuan
sekolah untuk memelihara struktur, fungsi dan sumberdaya, sepanjang waktu,
khususnya dalam periode-periode sulit.
22.
Latihan dan pengembangan;
jumlah usaha dan sumber-sumber daya sekolah yang diperuntukan bagi pengembangan
bakat dan kemampuan guru serta pegawai lainnya.
Disamping
itu efektifitas organisasi termasuk organisasi layanan masyarakat, seperti
lembaga pendidikan, dapat dilihat dari beberapa indikator berikut:
1.
Efektivitas keseluruhan; berhubungan
dengan bagaimana organisasi melaksanakan seluruh tugas pokoknya atau mencapai
semua sasarannya.
2.
Kualitas; menyangkut
jasa atau produk primer yang dihasilkan oleh organisasi.
3.
Produktifitas; menyengkut
volume produk atau jasa pokok yang dihasilkan organisasi. Produktifitas dapat
diukur dari tiga tingkatan, yaitu tingkat individu, kelompok, dan keselurhan
organisasi.
4.
Kesiagaan; berhubngan dengan penilaian menyeluruh
tentang kemungkinan bahwa organisasi mampu menyesuaikan suatu tugas khusus
dengan baik jika diminta.
5.
Efisiensi; mencerminkan
perbandingan beberapa aspek prestasi unit terhadap biaya untuk menghasilkan
prestasi tersebut.
6.
Laba dan penghasilan;
berkaitan dengan penanaman modal yang dipakai untuk menjalankan organisasi
dipandang dari sudut pandang si pemilik.
7.
Pertumbuhan; berkaitan
dengan penambahan, seperti tenaga kerja, fasilitas, harta, penjualan, laba,
bagian pasar, dan penemuan-penemuan baru. Pertumbuhan ini dilihat dari suatu
perbandingan keadaan organisasi sekarang dan keadaan organisasi masa lalu.
8.
Pendayagunaan lingkungan; berkaitan
dengan batas keberhasilan organisasi bergaul dengan lingkungan sekitarnya,
memperoleh sumberdaya yang langka, dan berharga yang diperlukan untuk
kepentingan operasional. Hal ini dipandang dari rencana jangka panjang yang
optimal bukan dalam rencana jangka pendek yang maksimal.
9.
Stabilitas; berkaitan
dengan pemeliharaan struktur, fungsi dan sumberdaya sepanjang waktu, khususnya
dalam periode-periode sulit.
10.
Perputaran atau keluar masuknya pekerjaan; menyangkut frekuensi atau jumlah pekerja yang keluar atas
permintaannya sendiri.
11.
Semangat kerja; berkaitan
dengan kecenderungan aggota organisasi berusaha lebih keras mencapai tujuan dan
sasaran organisasi termasuk perasaan terikat. Semangat kerja adalah gejala
kelompok yang mengakibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan, dan perasaan
memiliki.
12.
Motivasi; berkaitan
dengan kekuatan kecenderungan seseorang individu melibatkan diri dalam kegiatan
dan bersedia atau rela bekerja untuk mencapai tujuan pekerjaan.
13.
Kepuasan; terkait dengan
tingkat kesenangan yang dirasakan seseorang atau peranannya dalam organisasi.
14.
Penerimaan tujuan organisasi; berkaitan
denganditerimanya tujuan oleh setiap pribadi atau unit-unit dalam organisasi
karena mereka percaya bahwa tujuan tersebut benar dan layak.
15.
Keluawesan dan adaptasi;
berkaitan dengan kemampuan organisasi untuk mengubah prosedur standar operasi
jika lingkungan berubah, untuk mencegah kebekuan rangsangan lingkungan.
16.
Penilaian oleh pihak luar;
menyangkut penilaian mengenai organisasi atau unit organisasi oleh mereka (individu atau organisasi) dalam lingkungan, yakni pihak
dengan siapa organisasi ini berhubungan, kesetiaan, kepercayaan, dan dukungan
yang diberikan kepada organisasi oleh kelompok-kelompok, seperti pemasok,
pelanggan, pemegang saham, para petugas, dan masyarakat umum.
Memperhatikan
dan memahami uraian diatas jika dihubungkan dengan efektifitas MBS, barometer
efektifitas dapat dilihat dari kualitas program, ketepatan penyusunan,
kepuasan, keluasan dan adaptasi, semangat kerja, motivasi, ketercapaian tujuan,
ketepatan waktu, serta ketepatan pendayagunaan sarana, prasarana dan sumber
belajar dalam meningkatkan kualitas pendidikan disekolah.
E.
Efisiensi MBS
Efisiensi
merupakan aspek yang sangat penting dalam manajemen sekolah umumnya dihadapkan
pada masalah kelangkaan sumber dana, dan secara langsung berpengaruh terhadap
kegiatan manajemen. Suatu kegiatan dikatakan efisien jika tujuan dapat dicapai
secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang minimal. Keluaran
atau output MBS adalah segala sesuatu yang dikelola dan dihasilkan di sekolah,
yaitu berapa banyak yang dihasilkan dan seberapa baik sekolah dapat
mengelolanya. Keluaran tersebut dapat berupa perubahan perilaku baik dalam
aspek kognitif, psikomotor, maupun afektif, pada pengelola sekolah, baik
peserta didik, kepala sekolah, guru, maupun pegawai serta dapat dilihat
dampaknya terhadap masyarakat lingkungan.
Masukan
atau input pendidikan adalah sumber daya yang digunakan untuk melaksanakan
kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan yang
diinginkan. Secara operasional masukan tersebut adalah peserta didik, guru,
ruang kelas, buku teks, peralatan, kurikulum, dan sarana pendidikan. Untuk
menghitung tingkat efisiensi suatu sekolah dapat dihitung dari banyak tahun
yang dihabiskan peserta didik dalam siklus tertentu untuk menyelesaikan
studinya.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan ”efisien /éfisién/ a 1
tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dng tidak
membuang-buang waktu, tenaga, biaya); 2 mampu menjalankan tugas dng
tepat dan cermat; berdaya guna; tepat guna.” Dharma (1991) dalam mulyasa (2006:
89) mengemukakan bahwa efisiensi mengacu pada perbandingan antara input dengan
output, tenaga dan hasil, perbelanjaan dan masukan, biaya serta kesenangan yang
dihasilkan. Suatu kegiatan dikatakan efisien jika tujuan dapat dicapai secara
optimal dengan penggunaan sumber daya minimal. Sedangkan H.
Emerson dalam http://dansite.wordpress.com/2009/03/28/pengertian-efisiensi/ menerangkan bahwa:
“Efisiensi
adalah perbandingan yang terbaik antara input (masukan) dan output (hasil
antara keuntungan dengan sumber-sumber yang dipergunakan), seperti halnya juga
hasil optimal yang dicapai dengan penggunaan sumber yang terbatas. Dengan kata
lain hubungan antara apa yang telah diselesaikan.”
Dari
beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa secara
umum efisiensi ialah perbandingan antara input dengan output yang mengacu pada
keberdayagunaan atau ketepatgunaan.Jadi efisiensi merupakan aspek yang sangat
penting dalam manajemen sekolah pada masalah kelangkaan sumber dana yang secara
lansung mempengaruhi kegiatan manajemen. Dalam menganalisis efisiensi MBS perlu
diperhatikan input, proses dan output MBS.
F.
Produktivitas MBS
Konsep
produktivitas pada awalnya dikemukakan oleh Queney, seorang ekonom Perancis
pada tahun 1776. Oleh karena itu, wajar jika pengertian produktivitas
senantiasa dikaitkan dengan nilai ekonomis suatu kegiatan, yaitu bagaimana
mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya dan dana
sekesil mungkin.
Produktivitas
dalam dunia pendidikan berkaitan dengan keseluruhan proses penataan dan
penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan
efisien. Dalam konteks produktivitas pendidikan, sumber-sumber pendidikan
dipadukan dengan cara-cara berbeda. Perpaduan tersebut sama halnya dengan upaya
memproduksi pakaian yang menggunakan teknik-teknik yang berbeda-beda dalam
memadukan buruh, modal, dan pengetahuan.
Thomas
dalam Mulyasa (2009:93) mengemukakan bahwa produktivitas pendidikan dapat
ditinjau dari tiga dimensi sebagai berikut:
1.
Meninjau
produktivitas sekolah dari segi keluaran administratif, yaitu seberapa besar
dan seberapa baik layanan yang dapat diberikan dalam suatu proses pendidikan,
baik oleh guru, kepala sekolah, maupun pihak lain yang berkepentingan.
2.
Meninjau
produktivitas dari segi keluaran perubahan perilaku, dengan melihat nilai-nilai
yang diperoleh peserta didik sebagai suatu gambaran dari prestasi akademik yang
telah dicapainya dalam periode belajar tertentu di sekolah.
3.
Melihat
produktivitas sekolah dari keluaran ekonomis yang berkaitan dengan pembiayaan
layanan pendidikan di sekolah. Hal ini mencakup “harga” layanan yang diberikan
(pengorbanan atau cost) dan “perolehan” (earning) yang ditimbulkan oleh layanan
itu atau disebut “peningkatan nilai baik”
Masalah
produktivitas pendidikan ini menjadi semakin kompleks jika hasil pendidikan
yang ingin diukur berupa kemampuan yang dicapai, harapan, dan rasa takut,
situasi sosial dan fisik peserta didik, bahkan menjadi lebih rumit lagi jika
yang diukur itu berupa peningkatan literasi masyarakat. Namun pengukuran setiap
hasil pendidikan mungkin dilakukan jika hasilnya masuk akal.
Perlu
dipahami bahwa produktivitas yang diukur penting digunakan untuk memperoleh
ukuran input pendidikan. Selain itu perlu juga dipertimbangkan fakta bahwa
pengeluaran masyarakat biasanya hanya dianggarkan dalam jangka pendek,
sedangkan pendidikan adalah proses jangka panjang. Oleh karena itu akan sangat
berbahaya mengukur produktivitas pendidikan yang diselenggarakan dalam rentang
waktu relatif panjang dengan menggunakan teknik-teknik pengukuran ekonomi
jangka pendek.
Pengukuran
produktivitas pendidikan, termasuk produktivitas MBS sebagai paradigma baru manajemen pendidikan,
dapat digunakan metode dan teknik berbeda. Sehubungan dengan itu dalam hal ini
dikemukakan kajian yang berkaitan dengan tenaga kerja kependidikan, guru, dan
gaji guru, ahli ekonomi dan sekolah, seta pendidikan dan pertumbuhan ekonomi,
yang diakhiri dengan analisis produktivitas pendidikan.
1.
Tanaga kerja
kependidikan
Pendidikan sebagaimana telah diketahui, sudah menjadi sumber utama
bagi pelatihan keterampilan dan bakat individu. Sebenarnya dari satu titik
pandang, peranan sebagai sumber tersebut merupakan peranan ekonomi pendidkan
kritis. Oleh karena itu perlu ditunjukkan beberapa perhitungan yang dapat
dubuat sebagai dasar bagi perencanan pendidikan. Untuk itu dapat dilihat bahwa
tidak ada derajat yang pasti yang dapat dilakukan. Namun demikian , bukan
berarti tidak ada yang dapat dilakukan untuk memberiakan
konsekuensi-konsekuensi penting pada pendidikan.
Sehubungan dengan hal itu keterbatasan-keterbatasan tertentu dari
setiap metode perhitungan atau peramalan yang dilakukan harus dibahas terlebih
dahulu. Ekonomi membutuhkan suatu spektrum keterampilan yang berentang mulai
dari tenaga kerja manual sederhana hingga kemampuan-kemampuan dalam melakukan
pertimbangan dan pengambilan keputusan. Setiap jenis pendidikan itu
dikembangkan melalui pendidikan, dan melalui pendidikan itu kemampuan tersebut
menjadi memiliki derajat yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Perlu dipahami juga bahwa jarang
terdapat ekuivalen yang tepat antara suatu jabatan dan pendidikan yang
dinutuhkan untuk mengisinya. Dengan kata lain, hubungan antara pendidikan dan
kemampuan sangat erat, tetapi tidak pernah dapat ditentukan secara unik oleh
konsiderasi-konsiderasi teknis. Namun, ada studi kejuruan, yang bersifat umum,
dan masalah definisi kemampuan serta isinya dapat ditangani jika dilakukan
analisis yang cukup luas. Sehubungan dengan hal itu dapat ditegaskan bahwa
jabatan yang seharusnya diduduki oleh mereka yang memiliki keterampilan tingkat
tinggi hendaknya diisi sesuai dengan pertimbangan hukum, dan hanya dapat diisi
atau dijabat oleh mereka yang qualified. Sebagai konsekuensinya, terdapat
hubungan erat antara kebutuhan yang diantisipasi untuk mengisi dan memenuhi
kebutuhan tersebut.
Jadi peramalan kebutuhan akan tenaga kerja dalam konteks ekonomi
pendidikan membutuhkan pengetahuan mengenai kualifikasi kependidikan dan
keterampilan tenaga kerja yang sudah ada. Seiring dengan semakin berkembangnya
ekonomi, adaptabilitas tenaga kerja yang sudah ada menjadi suatu hal yang
penting dipertimbangkan, dan tingkat pendidikan umuum yang tinggi merupakan
suatu prasarat utama bagi banyak perubahan yang terjadi dilingkungan pekerjaan.
Sehingga dalam konteks ini hendaknya dilakukan dengan menggunakan pedoman
ekonomi umum yang membutuhkan perencanaan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
2.
Guru dan gaji
guru
Kemampuan merupakan sumber yang paling langka digunakan dalam
menentukan aspek kuantitas kependidikan. Dalam konteks ini yang paling tepat
dibahas adalah bakat ( kemampuan) untuk dididik. Menurut catatan banyak
pengamat ekonomi pendidikan adalah berkenaan dengan waktu dan tenaga peserta
didik. Namun salah satu kecakapan sangat spesifik yang menuntut banyak dalam
bidang pendidikan bagi para peserta didik adalah pengajarannya sendiri.
Meskipun dalam batas absolut pendidikan dipandang sebagai suatu industri besar,
dalam batas-batas tuntutan untuk menghasilkan warga masyarakat yang terdidik,
usaha kependidikan ini menjadi dapat dipandang sebagai usaha tunggal yang
paling besar.
Masalah urgen yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah sistem
gaji guru. Dalam hal ini prelu dikaji klasifikasi profesi mengajar dibandingkan
dengan profesi-profesi lain, seperti dokter, manager bisnis. Studi tentang gaji
guru dibatasi tidak hanya pada pendapatan guru, tetapi juga menyangkut bayaran
pensiun, bayaran untuk berlibur, dan lain-lain. Dalam batas-batas yang absolut,
dapat dikatakan bahwa sistem penggajian guru sudah lebih baik jika dibandingkan
sebelumnya karena semakin banyak aspek yang diperhitungkan seiring dangan
pandangan bahwa mengajar merupakan suatu profesi.
Namun demikian, jika dikaji dari sudut pandang bahwa mengajar
merupakan suatu profesi, dan dibandingkan dengan sistem bayaran dalam
profesi-profesi lainnya, dapat dinyatakan bahwa ditribusi sistem gaji guru
mengalami kemunduran. Semuanya ini merefleksikan suatu beban yang semakin
tinggi terhadap bakat atau kemampuan untuk dididik dan konsekuensinya terjadi
penurunan kualitas guru. Seperti halnya yang terjadi di Inggris, banyaknya
perubahan yang pernah terjadi dalam struktur gaji guru, sesungguhnya merefleksikan,
selain terjadi dalam struktur gaji guru, sesungguhnya merefleksikan, selain
terjadi perubahan dalam profesi pengajaran juga dalam sistem sosial.
Sistem gaji guru hendaknya dipandang ddengan menggunakan kacamata
konvensi-konvensi sosial, periode lamanya seorang guru mengabdi, juga harus
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan gajinya. Oleh karena itu,
diharapkan agar sistem pembayaran gaji guru tidak dilakukan dengan metode yang
kaku, tetapi sangat dibutuhkan metode-metode baru yang dapat digunakan secara
fleksibel.
3.
Ahli ekonomi
dan sekolah
Pesatnya peruubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
mengakibatkan para ahlli ekonomi cenderung berpikir untuk jangka panjang,
mereka tidak menggunakan pendangan yang statis, tetapi melihat lebih jauh
kedepan dan lebih realistis lagi untuk masa mendatang. Sehubungan dengan hal
tersebut, perlu dianalisis tentang bahan mentah untuk penyelenggaraan
pendidikan misalnya intelegensi. Intelegensi dalam ekonomi pendidikan berkaitan
dengan lahan dalam ekonomi klasik (sumber daya alam yang digunakan untuk
produksi) dan karena itu perlu diketahui apa yang dapat dinyatakan mengenai
keadaan pengetahuan tersebut.
4.
Kurikulum dalam
berbagai jenjang pendidikan dan dikaitkan dengan pemikiran tentang struktur pendidikan.
Namun hal ini merupakan topik berbahaya sebab didalamnya terdapat konten
analisis non ekonomi. Untuk menganalisis sekolah atau persekolahan dari sudut
pandang ekonomi menurut Vaizey perlu mengkaji kembali tentang dasar-dasar
pemikiran Smith, Richardo, Jhon Stuart, dan Alfred Marshal.
Sehubungan dengan hal itu Pool of ability sebenarnya sudah pendidikan. Selain itu dalam pengkajian Pool
of ability tersebut perlu dikaji pengukuran prestasi sebagai cara lain
menimbang kemampuan manusia. Hasilnya, tentu saja banyak dipengaruhi oleh
pengajaran yang baik maupun buruk, lingkungan pengajaran, faktor-faktor
temperamental, dan kecocokan emosional.
Suatu sistem pendidikan harus dinilai kembali secara kontinu,
dengan tujuan untuk melihat relevansi dan efisiensi pengajaranyang
diselenggarakan disekolah. Jika pendidikan dipandang memiliki fungsi utama
untuk mempertahankan tradisi, tentu akan menimbulkan bahaya tertentu bila
keberhasilannya dikaji hanya dari sudut pandang ekonomi. Oleh karena itu untuk
mengkaji situasi kependidikan, pada hakikatnya perlu dilakukan dari berbagai
aspek yang mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan tersebut, mulai dari
ideologi negara dan masyarakat, harapan masyarakat pada pendidikan, sampai
pendidikan guru dan sebagainya.
5.
Pendidikan dan
pertumbuhan ekonomi
Pemikiran tentang ekonomi pendidikan sebagaimana telah disinggung
diatas tidak bisa dilepaskan dari kedudukan pendidikan dalam pertumbuhan
ekonomi. Hal tersebut menjadi semakin
penting jika dikaitkan dengan pengalaman lampau, saat sebagian besar dunia
masih miskin. Kemudian sebagian negara berusaha meningkatkan pendapatannya,
tidak heran jika pendidikan diharapkan dapat memainkan peranan penting dan
secara langsung diharapkan dapat membantu perekonomian negara.
Masalah pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi semakin kompleks, hal
ini dapat dilihat di negara-negara
miskin masalah pendidikan itu berentang mulai dari masyarakat yang
tingkat peradabannya kompleks dan kuno. Di negara ini tingkat pendapatan masih
rendah, dan tingkat konservatismenya juga tinggi. Karena itu, upaya mereka
menemukan alat untuk meningkatkan peradaban terhambat. Dengan kata lain tingkat
pendidikan pada masyarakat tersebut masih tergolong masih rendah, jauh berbeda
dengan pendidikan yang dikembangkan di negara maju. Pendidikan yang
dikembangkan di negara miskin tersebut sering dipandang masyarakatnya,
tradisional dan tidak berhubungan langsung dengan sebagian besar kebutuhan
sosial dan ekonomi masyarakat.
Pendidikan merupakan suatu senjata yang sangat potensial baik untuk
kemajuan untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat maupun untuk kemajuan masyarakat
pada umumnya. Namun keyakinan tersebut hanya dapat berlaku dalam
kondisi-kondisi tertentu, sebab tidak jarang misalnya, sumber yang dibutuhkan
lebih banyak dari pada apa yang dapat dihasilkan. Namun, meskipun sering
ditmukan kondisi-kondisi seperti itu, pendidikan tetap memainkan peranan yang
penting. Karena itu, tujuan-tujuan pendidikan harus dirancang dengan cermat,
namun tetap berkaitan secara erat dengan bagian lain dari program pembangunan
masyarakat. Maksudnya agar penyelenggaraan pendidikan itu bisa menjadi lebih
murah secara finansial, demikian juga dengan sumber-sumbernya. Pada hakikatnya
kemurahan penyelenggaraan pendidikan seperti inilah yang sangat dihrapkan,
namun seecara potensial, pendidikan tetap memiliki kekuatan yang tinggi.
6.
Analisis
Produktivitas pendidikan
Pengukuran produktivitas pendidikan erat kaitannya dengan
pertumbuhan ekonomi, yang sangat bergantung pada akurasi kerangka yang
digunakan dalam analisis dan kualitas data. Dalam konteks ini agaknya tidak
perlu dipersoalkan bagaimana pengukuran peranan pendidikan dalam pertumbuhan
ekonomi sebab umumnya riset mengenai hal ini membuktikan bahwa peranan
pendidikan tetap substansial dalam pertumbuhan ekonomi. Sehubungan dengan hal
itu, untuk mengetahui produktivitas pendidikan, termasuk MBS sebagai paradigma
baru managemen pendidikan, antara lain dapat dilakukan melalui analisis
efektivitas biaya, analisis biaya minimal dan analisis manfaat.
G.
Langkah- langkah Penyusunan MBS
Penerapan MBS sebagai
salah satu model manajemen strategik dalam sistem pengelolaan pendidikan dengan
tujuan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan yang berstandar maka terdapat
beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan sekolah, yaitu:
1. Merumuskan dan
menyepakati standar lulusan yang diharapkan bersama dengan indikator dan target
yang jelas yang merujuk pada standar nasional pendidikan.
2. Menetapkan
strategi yang akan sekolah terapkan untuk menghasilkan lulusan yang diharapkan
dan relevansinya dengan peningkatan kebutuhan kurikulum, kompetensi
pendidik, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, dan pembiayaan.
3. Meningkatan
daya dukung informasi dengan cara memindai kekuatan, kelemahan lingkungan
internal serta memindai peluang dan ancaman lingkungan eksternal. Penyediaan
informasi yang tepat dan terpercaya merupakan bagian penting dalam menunjang
sukses pengambilan keputusan.
4. Meningkatkan
efektivitas komunikasi pihak internal dan eksternal sekolah dalam upaya
meningkatkan pemahaman mengenai tugas dan tanggung jawab masing-masing, serta
dalam membangun dan mengembangkan kerja sama memberikan pelayanan pendidikan
secara optimal kepada siswa.
5. Meningkatkan
daya kolaborasi sekolah dalam menerapkan keputusan bersama ini sebagai bagian
dari upaya melibatkan seluruh warga sekolah agar memiliki daya partisipasi yang
kuat untuk mengubah kebijakan menjadi aksi.
Dalam upaya peningkatan mutu MBS sekolah perlu
meningkatkan standar pengelolaan untuk mendapatkan (1) visi dan misi sekolah
yang diputuskan bersama. (2) menetapkan tujuan terutama merumuskan indikator
dan target mutu lulusan (3) menetapkan strategi yang melibatkan semua pihak
untuk mewujudkan tujuan yang sekolah harapkan yang berporos pada meningkatkan
mutu lulusan (4) Menetapkan kebijakan dan program peningkatan mutu lulusan
dengan menerapkan delapan standar nasional pendidikan sebagai rujukan mutu
termasuk di dalamnya penetapan anggaran untuk menyediakan akses dan kecukupan
standar serta menetapkan keunggulan yang mungkin sekolah wujudkan. Sekolah
yang efektif memiliki dokumen program yang telah disepakati bersama dan
semua pihak yang terlibat memahami tugas masing-masing seperti:.
a.
Melaksanakan kegiatan sesuai dengan program
sesuai dengan standar, melaksanakan anggaran sesuai dengan yang disepakati,
memanfaatkan seluruh sumber daya secara efektif dan efisien, dan memastikan
bahwa seluruh tahap kegiatan yang dilaksanakan seusai dengan rencana.
b.
Sekolah memastikan bahwa proses penyelenggaraan
sekolah mengarah pada tercapainya tujuan dengan indikator dan target yang telah
ditetapkan bersama. Sekolah juga melakukan studi bersama yang melibatkan
seluruh unsur yang bertanggung jawab untuk meningkatkan penjaminan bahwa
penyelenggaraan sekolah mencapai target yang diharapkan. Fokus utama penjaminan
mutu adalah terselenggaranya pembelajaran dan pengelolaan secara efektif.
c.
Melaksanakan kontrol sesuai dengan hasil
kesepakatan bersama dan mengolah hasil evaluasi sebagai bahan perbaikan
selanjutnya.
Untuk mendukung
efektifnya empat tahap kegiatan itu perlu memperhatikan dengan
sungguh-sungguh tentang beberapa hal berikut :
1. Mendeskripsikan
lulusan dengan indikator yang jelas yang diikuti dengan indentifikasi kebutuhan
kurikulum, kompetensi pendidik, sarana, biaya, dan sistem pengelolaan.
2. Meningkatkan
keberdayaan sekolah dalam mengembangkan sistem informasi sebagai bahan
pengambilan keputusan.
3. Menyediakan
infomasi yang perlu dipahami oleh seluruh anggota komunitas agar tiap
orang dipastikan dapat melaksanakan tugasnya secara optimal.
4. Meningkatkan kegiatan sosialisasi program sehingga semua pihak dipastikan
mendapatkan informasi secara transparan dan akuntabel.
5. Meningkatkan kekerapan dan kedalaman komunikasi baik secara langsung maupun komunikasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
6. Mengembangkan
tim pengembang mutu yang akan mengimplementasikan kegiatan yang melibatkan
pihak internal dan eksternal.
7. Mempersiapkan
instrumen pengukuran pencapaian kinerja baik terhadap proses maupun hasil
dengan indikator yang transparan sehingga semua pihak memahami betul ukuran
keberhasilan yang disepakati.
8. Melaksanakan
pertemuan mengembangakan rencana kegiatan, evaluasi kegiatan, dan
evaluasi hasil.
9. Menyusun
pertanggung jawaban program secara transparan dan akuntabel.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Strategi pelaksanaan MBS meliputi pengelompokan
kepala sekolah berdasarkan kemampuan manajemen, pentahapan pelaksanaan MBS, dan
perangkat pelaksanaan MBS.
2.
Ada beberapa model MBS
yang dilaksanakan di negara-negara diantaranya model Australia, model
Kanada, Model Hongkong, Model Indonesia.
3.
Prospek guru dalam
MBS meliputi: alokasi jatah guru yang diangkat di
tiap daerah berdasarkan formasi secara nasional sesuai dengan anggaran yang
tesedia, penggajian guru yang bersumber dari RAPBN meengacu pada sistem penggajian
pegawai negeri disertai tunjangan profesionalnya, mutasi guru antar propinsi, pembuatan
rambu-rambu (guide lines) yang berisi syarat-syarat minimal tentang kwalifikasi
minimal calon guru, sistem rekrutmen, sistem pembinaan mutu, sistem
pengembangan karier, serta penempatan dan mutasi guru antar propensi, evaluasi
dan monotoring terhadap pelaksanaan standar-standar nasional oleh daerah
beserta sangsinya.
4.
Efektifitas
berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan
waktu, dan adanya partisipasi aktif dari anggota. Dengan demikian, efektifitas
MBS berarti bagaimana MBS berhasil melaksanakan semua tugas pokok sekolah,
menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumberdaya,
sumberdana, dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah.
5.
Efisiensi
merupakan aspek yang sangat penting dalam manajemen sekolah umumnya dihadapkan
pada masalah kelangkaan sumber dana, dan secara langsung berpengaruh terhadap
kegiatan manajemen. Suatu kegiatan dikatakan efisien jika tujuan dapat dicapai
secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang minimal.
6.
Produktivitas
dalam dunia pendidikan berkaitan dengan keseluruhan proses penataan dan
penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan
efisien. Dalam konteks produktivitas pendidikan, sumber-sumber pendidikan
dipadukan dengan cara-cara berbeda. Perpaduan tersebut sama halnya dengan upaya
memproduksi pakaian yang menggunakan teknik-teknik yang berbeda-beda dalam
memadukan buruh, modal, dan pengetahuan.
7.
Langkah-langkah penyusunan MBS meliputi:
merumuskan dan menyepakati standar lulusan yang diharapkan , menetapkan
strategi yang akan sekolah terapkan , meningkatan daya dukung informasi dengan
cara memindai kekuatan, kelemahan lingkungan internal serta memindai peluang
dan ancaman lingkungan eksternal, meningkatkan efektivitas komunikasi pihak
internal dan eksternal sekolah, Meningkatkan daya kolaborasi sekolah
dalam menerapkan keputusan bersama
B.
Saran
1.
Agar pelaksanaan MBS dapat
berjalan secara maksimal, maka perlu
memlperhatikan strategi-strategi dalam pelaksanaan MBS.
2.
Untuk menunjang kesuksesan
pelaksanaan MBS maka pilihlah model yang sesuai dengan keadaan sekolah.
3.
Guru/calon guru hendaknya
selalu meningkatkan kompetensinya agar tujuan MBS dapat tercapai sesuai yang
telah ditetapkan
4.
Agar efektifitas MBS dapat
tercapai, maka perlu koordinasi yang baik antar semua komponen sekolah.
5.
Untuk mencapai efesiensi
MBS, keterbukaan/transparansi pihak sekolah dengan masyarakat harus
diperhatikan.
6.
Untuk mencapai produktifitas
MBS, maka efisiensi dan efektifitas MBS harus tercapai dengan baik.
7.
Agar pelaksanaan MBS
dapat berjalan dengan terarah maka
langkah-langkah penyusunan MBS perlu diperhatikan.
Hahah
BalasHapus총판출장샵
BalasHapus총판출장샵
총판출장샵
고고출장샵
심심출장샵
제주출장샵
제주출장샵
제주출장샵
제주출장샵
제주출장샵
Artikel "IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH" sangat inspiratif! Sudah pasti akan membantu banyak individu yang tertarik dengan topik ini. Terima kasih atas informasinya yang bermanfaat dan relevan. Terus berbagi pengetahuan yang berharga!
BalasHapus